Kita sering lupa. Bahwa aturan dan tatanan alam semesta ini diciptakan untuk menjaga kesimbangan. Rekayasa yang berlebihan malah riskan merusak. Karena itu, kita juga selalu diingatkan. Kekuasaan ada batasnya. Ada akhirnya.
Keseimbangan alam semesta perlu dijaga. Keseimbangan pemerintahan penting untuk dipertahankan. Para pendiri bangsa kita saja bekerja begitu keras saat merumuskan sendi-sendi kebangsaan ini. dan Sangat berhati-hati. Demi kesetaraan, keseimbangan, harmoni.
Pemikiran jiwa dikorbankan. Ego agama, kesukuan, lebih-lebih ambisi politik, dikesampingkan. Semua pengorbanan heroik itu menghasilkan keseimbangan dalam bernegara. Menata pemerintahan.
Dalam memimpin pemerintahan, pemikiran progresif bisa sangat strategis. Sikap revolusioner menjanjikan harapan. Berani perlu. Nyali tinggi pun penting. Sekali-sekali nekat juga asyik.
Tapi, ingatlah aturan! Harus tetap cermat dan berhati-hati. Sing nanggung risikone iki wong akeh. Akhlak dan sopan santun wajib dijaga. Perasaan orang lain tak bisa diabaikan. Adab tinggi di atas segalanya. Birokrasi bukan drama Game of Thrones yang selalu bicara tahta. Memimpin pemerintahan tidak bisa dilakukan seakan-akan sedang bermain Free Fire.
Birokrasi punya normanya sendiri. Keseimbangan ekosistem sendiri. Mutasi aparat pemerintah pun memiliki tata aturan sendiri. Langkah yang tidak terkontrol rawan merusak harmoni. Menggores luka di atas luka. Hati dan jiwa abdi negara.
Meningkatkan kualitas sangat bagus. Mendongkrak kinerja sangat penting. Mendorong raihan prestasi sangat membanggakan. Tapi, menaati aturan itu harus. Menjunjung etika itu wajib. Menjaga marwah lembaga pemerintah dan citra aparatnya itu fardlu ain.
Menerabas prosedur dan aturan penataan birokrasi akan mencerabut marwah aparatur pemerintah. Bisa menghancurkan harmoni dan ekosistem yang sudah lama dibangun para pendahulu. Yang sudah terbukti mengukir berbagai prestasi. Yang disegani dan dihormati di seluruh Indonesia.
Tindakan mem-bypass aturan dan prosedur demi kepentingan sesaat akan melahirkan banyak korban. Bibit-bibit unggul mati dini. Lama-lama penerabas aturan itu juga akan kehilangan respek. Dalam jangka panjang, justru dapat meruntuhkan kepercayaan. Kekuasaan yang tidak terkendali juga berpotensi membunuh dirinya sendiri. Lewat lubang korupsi, misalnya.
”Power tends to corrupt, and absolute power corrupt absolutely.” (Kekuasaan itu cenderung korup, dan kekuasaan yang absolut cenderung korup secara absolut).”
Begitulah hakikat pernyataan Lord Acton, guru besar sejarah modern di Universitas Cambridge, Inggris, pada abad ke-19. Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) pun menegaskan dalam laman artikel resminya.
”Korupsi dan kekuasaan ibarat dua sisi dari satu mata uang. Korupsi selalu mengiringi perjalanan kekuasaan. Dan, sebaliknya, kekuasaan merupakan pintu masuk bagi tindak korupsi.”
Sudah sedemikian jelas bahwa seorang pemegang kekuasaan tidak boleh dibiarkan berkuasa mutlak. Harus selalu diawasi. Internal maupun eksternal.
Empat pilar demokrasi menempati fungsi-fungsinya secara jelas. Lembaga eksekutif, legislatif, yudikatif, memiliki power untuk saling mengingatkan. Awas-mengawasi. Begitu pula media pers. Seharusnya punya kaca mata dengan sudut pandang paling objektif.
Jika kekuatan kekuasaan memusat di satu pilar, hasilnya bisa runyam. Inilah yang terjadi. Saat lembaga eksekutif mematuhi aturan hukum dan etika moral, legislatif mendukung. Eksekutif mendukung. Pers wajib mendukung.
Tapi, bagaimana sikap lembaga legislatif bila eksekutif melanggar aturan dan etika moral? Apakah tetap mendukung? Yudikatif juga mendukung? Pers, apalagi, sangat mendukung? Aturan disiasati agar sesuai kebutuhan. Yang penting lobi-lobi.
Apakah sah? Ya sah. Apakah patut? Embuh. Apakah produktif? Mungkin, tapi menurut siapa? Apakah tidak melahirkan masalah di kemudian hari? Kita lihat saja nanti.
Yang terjadi, kekuatan eksekutif mungkin sudah tidak tertandingi. Absolut. Semau-maunya diturut. Seakan tidak ada lagi yang berani mengkritisi. Padahal, ujung-ujungnya bisa mengarah pada terjadinya dugaan tindak pidana korupsi.
Contohnya perkara pemotongan insentif pegawai negeri yang di Badan Pelayanan Pajak Daerah (BPPD) Sidoarjo. Siapa yang berani menolak? Tidak ada. Mungkin cuma 1 orang.
Yang membela malah banyak. Bahkan, meski sudah terjadi operasi tangkap tangan (OTT) oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) pun, tetap ada pembela yang berargumentasi begini.
”Uang itu kan sudah diterimakan kepada ASN. Setelah itu baru dipotong. Jadi, itu sudah uang pribadi, bukan uang negara lagi. Tidak bisa dikategorikan sebagai korupsi.”
Terus, apakah berarti pemotongan itu benar? Pelakunya tidak melakukan kesalahan? Ini patut menjadi renungan. Percaya atau tidak, silakan. Ada satu pertanyaan yang diajukan penyidik KPK kepada saksi-saksi ASN BPPD Sidoarjo yang insentifnya dipotong.
”Anda ikhlas atau tidak insentif dipotong?”
Jawabannya rata-rata. ”Tidak ikhlas.”
Artinya, uang hasil pemotongan insentif itu tidak sah versi hukum negara. Haram menurut syariat agama. Siapa saja yang menerima, kecipratan, memanfaatkan, kedelehan, atau apa pun istilahnya, perlu melakukan refleksi.
Setelah tahu bahwa uang hasil pemotongan insentif itu tidak sah dan haram, apa yang harus dilakukan? Diam. Pura-pura mengerti. Tidak peduli. Mencari alibi. Menyesali diri.
Siapa saja penikmat dana pemotongan insentif itu?
Konon, disebut-sebut ada lebih dari 40 penerima aliran dana tersebut. Ada perorangan atau pribadi. Adakah pengurus partai politik? Organisasi, komunitas, LSM, instansi, lembaga keagamaan, dan sebagainya. Mungkin kita? Dia? Mereka? Saya? Anda, iya Anda? Wallahu a’lam bishawab.
Kita tunggu saja saat persidangan di Pengadilan Tipikor Surabaya tiba. Tidak lama lagi. (*)