Sosok Pemimpin Pasca Jokowi Harus Piawai Atasi Jeratan Utang China

Jurnalis: Shinta Miranda
Editor: Moana

3 Maret 2023 04:04 3 Mar 2023 04:04

Thumbnail Sosok Pemimpin Pasca Jokowi Harus Piawai Atasi Jeratan Utang China Watermark Ketik
Ilustrasi jeratan hutang China.(Pixabay)

KETIK, JAKARTA – Sabuk dan Jalan China, Belt and Road Initiative (BRI) atau dikenal dengan istilah One Belt, One Road (OBOR) adalah proyek infrastruktur global yang telah diumumkan oleh pemerintah China pada tahun 2013. 

Proyek ini bertujuan untuk meningkatkan konektivitas infrastruktur antar negara dengan membangun jaringan transportasi, energi, dan telekomunikasi yang lebih baik di seluruh Asia, Eropa, dan Afrika.

OBOR menawarkan pinjaman besar kepada banyak negara di seluruh dunia untuk membiayai proyek-proyek infrastruktur yang dibutuhkan. 

Menurut data Kementerian Keuangan Indonesia, hingga akhir tahun 2020, total utang Indonesia dari China sebesar 40,7 miliar USD, termasuk utang yang diberikan melalui Inisiatif Sabuk dan Jalan China (BRI) atau OBOR. Namun, tidak ada data yang spesifik mengenai berapa persentase dari total utang tersebut berasal dari OBOR.

Pemerintah menyatakan bahwa utang tersebut telah digunakan untuk membiayai berbagai proyek infrastruktur di Indonesia, termasuk jalan tol, pembangkit listrik, dan kereta api, yang diharapkan dapat meningkatkan konektivitas dan mempercepat pertumbuhan ekonomi di Indonesia. 

"Atas pinjaman itu beberapa pihak telah memperingatkan tentang risiko tersebut dan perlunya kehati-hatian dalam pengelolaannya," terang Agusto Sulistio, Pegiat Sosial Media, Jumat (3/2/2023). 

Agus menyebut salah satu tokoh yang selalu mengingatkan risiko itu adalah ekonom senior dan mantan Menteri Koordinator Perekonomian Indonesia, Dr Rizal Ramli. 

Rizal memang kerap memberikan peringatan tentang dampak panjang pinjaman utang Indonesia dari Inisiatif Sabuk dan Jalan China. Ia tak segan mengkritik pemerintah karena mengambil terlalu banyak pinjaman dari China dengan suku bunga yang tinggi dan beresiko. 

"Rizal Ramli juga menyatakan kekhawatirannya tentang kondisi-kondisi yang terkait dengan pinjaman tersebut, seperti penggunaan tenaga kerja China, impor bahan baku dari China, dan penggunaan teknologi China yang mungkin tidak cocok dengan kebutuhan Indonesia," kata Agusto. 

Bahkan, lanjutnya, Rizal juga menyatakan bahwa Indonesia seharusnya tidak terlalu tergantung pada China dan seharusnya mencari alternatif pinjaman dari sumber lain yang lebih murah dan lebih aman. 

Bank Dunia sendiri telah mengumumkan bahwa pada tahun 2018 telah dikeluarkan sebuah laporan yang menyoroti risiko utang Indonesia dari China dan memperingatkan tentang kemungkinan ketergantungan yang meningkat terhadap China. 

Kemudian, tambah Agus, Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) pun  ikut menyoroti risiko serupa. 

"Dalam beberapa laporan auditnya di tahun 2019, BPK menemukan bahwa Indonesia berisiko terjebak dalam jeratan utang luar negeri yang berlebihan jika tidak dikelola dengan baik," tegasnya. 

Namun, di sisi lain, ada juga pihak yang berpendapat bahwa investasi dari China melalui OBOR dapat memberikan manfaat ekonomi yang besar bagi Indonesia, terutama dalam hal meningkatkan konektivitas infrastruktur dan membuka akses ke pasar baru.

Risiko Terburuk Indonesia

Agus lantas mengutip berbagai sumber terpercaya salah satunya Dr Rizal Ramli dan berbagai sumber lain.

Risiko terburuk dari pinjaman Indonesia kepada OBOR atau BRI adalah kemungkinan terjebak dalam jeratan utang yang berlebihan dan tidak dapat dikendalikan. 

Risiko terburuk tersebut antara lain suku bunga yang tinggi. Pinjaman OBOR sering kali memiliki suku bunga yang lebih tinggi dibandingkan dengan sumber pinjaman lainnya, seperti pinjaman dari Bank Dunia atau Asian Development Bank.  

"Bunga ini dapat memperburuk kondisi keuangan Indonesia, apalagi jika perekonomian kita mengalami tekanan," tandasnya. 

Risiko kedua adalah ketergantungan pada China, Pinjaman OBOR dapat membuat Indonesia semakin tergantung pada China sebagai pemberi pinjaman utama. 

"Ini dapat memperkuat pengaruh politik dan ekonomi China di Indonesia, serta menimbulkan ketidakpastian dalam jangka panjang," terang Agusto. 

Risiko ketiga adalah kondisi yang mengikat. Agus mengatakan, jika ada kemungkinan pinjaman OBOR dilengkapi dengan kondisi yang mengikat, seperti penggunaan tenaga kerja atau teknologi dari China. Sehingga hal ini dapat mengurangi nilai tambah dalam perekonomian Indonesia dan dapat menghambat.

Risiko keempat yaitu mengenai pembayaran. Pinjaman BRI seringkali diberikan dalam bentuk proyek infrastruktur yang dapat menimbulkan risiko pembayaran yang tinggi jika proyek tersebut tidak menghasilkan pendapatan sesuai harapan. 

Negara yang Terjebak Utang China

Secara garis besar data, terdapat sejumlah negara yang terjebak utang China. Srilanka, Pakistan, Djibouti, Montenegro dan Malaysia. 

Sri Lanka menjadi sorotan dunia setelah mengalami kesulitan keuangan dan terpaksa menyerahkan pelabuhan Hambantota kepada China sebagai bagian dari restrukturisasi utangnya kepada China.

Pakistan telah mengambil lebih dari $ 50 miliar pinjaman dari China melalui BRI/OBOR, dan menghadapi risiko tinggi terhadap ketergantungan pada China, serta ketidakpastian ekonomi dalam jangka panjang.

Djibouti sebagai negara kecil di Afrika ini mengambil pinjaman untuk pembangunan pelabuhan, namun menghadapi kesulitan keuangan dan terpaksa menjual sebagian saham pelabuhan kepada China.

Sedangkan negara kecil Montenegro ini mengambil pinjaman besar dari China untuk membangun jalan tol yang dianggap sangat penting, tetapi mengalami kesulitan keuangan dan terpaksa merestrukturisasi utangnya.

Malaysia telah membatalkan beberapa proyek BRI/OBOR yang dianggap terlalu mahal, termasuk kereta cepat yang dijanjikan oleh China, setelah mengalami perubahan pemerintahan pada tahun 2018.

Tantangan Pemimpin ke Depan Setelah Jokowi 

Lantas bagaimana dengan Indonesia dan proyeksi ke depan pasca kepemimpinan Jokowi berakhir? 

Agus menyatakan, tantangan bagi presiden selanjutnya setelah Jokowi terkait dengan hutang dari Inisiatif Sabuk dan Jalan China (OBOR) adalah untuk menjaga keberlanjutan pembangunan infrastruktur tanpa membebani keuangan negara secara berlebihan. 

"Presiden yang akan datang perlu memastikan bahwa kebijakan pinjaman yang diambil sesuai dengan kebutuhan dan kemampuan negara, serta memperhatikan risiko dan manfaat dari setiap sumber pendanaan yang digunakan," kata dia. 

Pengganti Jokowi juga diharapkan miliki pengalaman dan rekam jejak positif dalam atasi keadaan krisis ekonomi, menghadapi tantangan ekonomi dan sosial yang ada, terutama terkait dampak krisis ekonomi dalam negeri maupun dunia dan dampak pasca pandemi Covid-19 pada perekonomian Indonesia. 

"Salah satu tugas utamanya adalah memulihkan perekonomian dengan mempercepat pengamanan ekonomi dasar rakyat, pembangunan infrastruktur atau menghentikan proyek yang dinilai merugikan bangsa negara, serta program-program ekonomi yang berkelanjutan dengan mempertimbangkan perkembangan keadaan faktual bangsa dan negara," jelasnya. 

Menurut Agus, kriteria sosok pengganti Jokowi yang tepat untuk menghadapi tantangan ini adalah seseorang yang memiliki pengalaman ekonomi khususnya dalam persoalan atau krisis ekonomi nasional, keahlian dalam manajemen keuangan dan ekonomi, mampu menjembatani kepentingan rakyat, negara dan pemodal atau investor dengan tetap mengedepankan kepentingan rakyat, komitmen kuat untuk membangun infrastruktur dan ekonomi yang berkelanjutan dengan mempertimbangkan keadaan ekonomi dalam negeri. 

Selain itu, seorang pemimpin yang jujur, transparan, dan akuntabel serta terbukti keberpihakannya kepada rakyat saat berada dalam pemerintahan maupun ketika berada diluar pemerintah. 

"Hal ini sangat diperlukan dan diperhatikan guna menjamin pemimpin yang konsisten, komitmen, sehingga minim terjadinya sikap inkonsistensi terhadap visi, misi dan janji kepada rakyat," ucapnya. 

Kriteria itu sangat penting dimiliki oleh pemimpin pengganti Jokowi untuk memastikan penggunaan dana negara yang tepat dan efisien. Serta jiwa kepemimpinan yang juga mampu menjalin hubungan yang baik dengan negara-negara lain, termasuk dengan China, juga sangat penting untuk menjaga kepentingan nasional Indonesia dalam hubungan internasional.

"Tanpa menyebut nama orang tersebut, tentu di antara kita telah mengetahui sosok pemimpin dengan kreteria itu,," ujar Agus seraya meminta berpikir logis terhadap tokoh yang berhasil mengatasi berbagai utang negara ini. 

Harus Mampu Tekuk Utang Negara

Siapakah sosok yang disebut-sebut oleh Agusto dalam pandangannya tersebut? Bisa jadi ia adalah Dr Rizal Ramli.

Dalam beberapa catatan sejarah kesekretariatan negara maupun pemberitaan media-media besar nasional maupun internasional, sepak terjang dan kecerdasan Rizal Ramli tidak main-main.

Ide-ide Rizal Ramli dinilai banyak kalangan selalu tepat sasaran dan berpihak pada kepentingan rakyat. 

Ia bahkan mendapat julukan Sang Penerobos. Rizal juga sempat menduduki sejumlah jabatan penting dalam pemerintahan. 

Mulai Kepala Badan Urusan Logistik (Bulog), Menteri Koordinator bidang Perekonomian, serta Menteri Keuangan Indonesia pada Kabinet Persatuan Nasional pada masa pemerintahan Presiden Abdurrahman Wahid (Gus Dur) dan Menteri Koordinator bidang Kemaritiman di era Kabinet Jokowi. 

Rizal Ramli ditunjuk oleh Presiden Abdurahman Wahid menjadi Kepala Bulog pada tahun 2000. ia hanya memimpin selama 15 bulan, namun berhasil membawa keuntungan bagi Bulog. 

Terobosan Rizal Ramli telah mendongkrak nilai perekonomian Bulog hanya dalam kurun waktu enam bulan. Kebijakan penting yang dilakukannya pada periode ini adalah penghapusan rekening off-budget menjadi on-budget yang mengakibatkan angka surplus yang cukup tinggi bagi Bulog. 

Ia juga melakukan penyederhanaan dan konsolidasi rekening-rekening Bulog yang sebelumnya berjumlah 117 rekening menjadi hanya 9 rekening saja.

Kemudian melakukan proses restrukturisasi untuk mempersiapkan Bulog menjadi Perusahaan Umum (Perum), melakukan rotasi pejabat Bulog dengan menukar posisi pejabat yang sebelumnya berdinas di 'tempat basah' dipindahkan ke wilayah yang dianggap 'kering' dan sebaliknya.

Hidupkan 'Saklar' Ekonomi PLN

Presiden Gus Dur kemudian mengangkat Rizal Ramli sebagai Menteri Koordinator Bidang Perekonomian pada Agustus 2000 menggantikan Kwik Kian Gie.

Rizal Ramli lalu mencanangkan 10 Program Percepatan Pemulihan Ekonomi. Menciptakan stabilitas di sektor finansial, meningkatkan kesejahteraan rakyat di pedesaan untuk memperkuat stabilitas sosial-politik, memacu pengembangan usaha skala mikro dan usaha kecil menengah (UKM) dan meningkatkan produktivitas serta kesejahteraan petani. 

Lulusan Universitas Boston ini juga mengutamakan pemulihan ekonomi berlandaskan investasi daripada berlandaskan pinjaman, memacu peningkatan ekspor, menjalankan privatisasi bernilai tambah, melaksanakan desentralisasi ekonomi dengan tetap menjaga keseimbangan fiskal, mengoptimalkan pemanfaatan sumber daya alam dan mempercepat restrukturisasi perbankan. 

Mantan Dosen Program Magister Manajemen Fakultas Pasca Sarjana UI tersebut juga membuat terobosan lain pada Mei 2001.

Rizal Ramli mendorong penghapusan cross-ownership dan cross-management antara PT Telkom dan PT Indosat. Langkah ini dimaksudkan untuk meningkatkan kompetisi dan mendorong kedua operator telekomunikasi nasional tersebut menjadi full service operators. 

Lewat terobosannya tersebut, banyak pihak menilai bahwa langkah yang dilakukan Rizal adalah langkah yang tepat sehingga dapat memberikan keuntungan bagi negara. 

Rizal Ramli juga pernah menyelamatkan Perusahaan Listrik Negara (PLN) dari kebangkrutan tanpa menyuntik uang tetapi melalui revaluasi asset, sehingga modal yang dari minus Rp9 triliun melonjak menjadi surplus Rp119,4 triliun. 

Rizal juga pernah dipercaya sebagai anggota tim panel penasihat ekonomi Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) bersama beberapa tokoh ekonom dari berbagai negara lainnya. 

Karena ingin fokus mengabdi pada negara dan bangsa Indonesia, Rizal pernah menolak jabatan internasional sebagai Sekretaris Jenderal (Sekjen) Economic & Social Commission of Asia and Pacific (ESCAP) yang ditawarkan PBB pada November 2013.

Menko Kemaritiman Sikat Mafia Pelabuhan

Agustus 2015. Presiden Joko Widodo meminta Rizal Ramli menjadi Menteri Koordinator bidang Kemaritiman dan Sumber Daya. 

Rizal Ramli meluncurkan strategi dan kebijakan penting. Antara lain Paket Kebijakan V demi mempercepat pemulihan ekonomi kala itu. 

Kebijakan tersebut berupa insentif pajak untuk revaluasi aset dan penghilangan pajak berganda pada REIT (Real Estate Investment Trust) atau atas Kontrak Investasi Kolektif. Dana Investasi Real Estate. 

Aksi ini merupakan langkah besar pemerintah. Langkah terobosan yang akan mempercepat pemulihan ekonomi Indonesia. 

Rizal Ramli memberikan contoh yang telah dilakukan saat ia menjadi Menko Perekonomian di masa pemerintahan Presiden Abdurrahman Wahid (Gus Dur). 

Pada saat menjadi Menko Perekonomian, PLN nyaris bangkrut. Modal minus Rp9 triliun. Sedangkan aset hanya Rp50 triliun. PLN kemudian meminta suntikan modal dari negara.

"Kami tidak bersedia, tapi minta revaluasi aset, kami perintahkan, hasilnya asetnya naik dari Rp50 triliun menjadi empat kalinya yaitu Rp200 triliun. Selisih dari revaluasi aset kami masukan modal, PLN yang modalnya minus Rp90 triliun nyaris bangkrut, naik modalnya Rp104 triliun sehat kembali," papar Rizal.

Dengan jabatan Menko Kemaritiman dan Sumber Daya tersebut, Rizal Ramli juga menelurkan langkah-langkah pemangkasan waktu dwelling time (bongkar muat). 

Ia ingin mewujudkan target memangkas masa dwelling time dari 7-8 hari menjadi 3-4 hari. Rizal Ramli bertekad menyederhanakan proses perijinan dan menyikat habis mafia-mafia pelabuhan. Peraturan menteri yang menghambat impor dan ekspor dikurangi menjadi sepertiga. 

Untuk mewujudkan langkah tersebut, Rizal Ramli kembali menghidupkan sistem Jalur Hijau dan Jalur Merah, di mana importir yang bonafid, teratur, tidak aneh-aneh, masuk jalur tersebut nyaris tanpa pemeriksaan. Hanya ada sedikit post audit

Namun bagi importir kurang bonafid atau masih banyak pertanyaan, masuk Jalur Merah guna pemeriksaan fisik.

Rizal saat itu meminta Bea Cukai agar melakukan verifikasi kembali agar importir Jalur Merah yang sudah terkualifikasi dimasukkan ke Jalur Hijau sehingga membantu meningkatkan kecepatan pemeriksaan. 

Selain itu, Rizal juga memerintahkan agar biaya storage container di Tanjung Priok dinaikkan. Langkah ini diharapkan akan mendorong importir menarik barangnya keluar secepat mungkin dari Tanjung Priok.

Tak hanya itu saja. Rizal Ramli juga sudah mempertimbangkan segi teknologi dengan berupaya mendorong pembenahan sistem komputer atau internet yang belum terintegrasi lewat satu single window, sehingga semua data informasi terintegrasi. 

Pihaknya juga meminta pemeriksaan barang-barang berbahaya seperti ternak yang membawa penyakit-penyakit dipindahkan ke buffer zone sehingga tidak menghambat flow daripada aliran barang. Terakhir, tegas Rizal, siapa pun yang mau mengocok-ngocok di pelabuhan, mafia kecil atau mafia besar, akan disikat.

Pasang Target Datangkan 20 Juta Turis
   
Rizal Ramli juga mengoordinasikan sektor pariwisata mendatangkan 10 juta wisatawan, dan dalam 5 tahun bisa meningkatkan menjadi 20 juta wisatawan.

Untuk mencapai target tersebut, ia mencanangkan beberapa program. Antara lain Nusa Dua Tourism Authority dan Toba Tourism Authority guna mengembangkan Danau Toba dan sekitarnya menjadi Monaco-nya Asia. 

Gebrakan lain adalah mendorong pemerintah melakukan investasi pada bidang  security guna memastikan keamanan dan kenyamanan wisatawan, inisiasi investasi dalam bidang infrastruktur pendukung sektor pariwisata dan teknologi. 

Walau sudah berada dalam pemerintahan, sikap kritis Rizal tidak berubah. Ia sering melontarkan kritik pedas terhadap segala sesuatu yang dianggapnya tidak berpihak pada kepentingan bangsa dan negara. Begawan ekonomi tersebut dinilai banyak tokoh sebagai figur yang mampu menyelesaikan permasalahan hutang negara dengan cerdas.(*) 

Tombol Google News

Tags:

Jeratan Hutang China OBOR One Belt One Road Belt and Road Initiative Hutang Indonesia Jokowi Rizal Ramli