KETIK, SURABAYA – Di tengah naik-turunnya pasar kripto, satu hal tetap konstan: teknologi blockchain yang menopang dunia crypto terus berkembang dan menyusup ke berbagai lini industri. Namun, di antara ribuan koin dan token yang bermunculan setiap tahunnya, hanya segelintir yang benar-benar bertahan dan memiliki nilai jangka panjang.
"Yang membuat crypto bertahan bukan hanya teknologi, tapi komunitas dan visi di baliknya."
— Ujar Vitalik Buterin, Co-Founder Ethereum
Buterin adalah sosok muda yang menciptakan Ethereum(ETH) di usia 19 tahun. Ia tak hanya dikenal karena kecerdasan teknisnya, tetapi juga karena dorongannya terhadap konsep "smart contract" — kontrak otomatis yang bisa menggantikan banyak fungsi legal dan perantara di dunia nyata. Ethereum, yang lahir sebagai alternatif dari Bitcoin(BTC), kini menjadi salah satu blockchain terbesar yang mendukung ribuan aplikasi terdesentralisasi (dApps).
CZ adalah pengusaha crypto yang paling berpengaruh, terutama sejak mendirikan Binance—platform pertukaran crypto terbesar di dunia. Dia melihat bahwa banyak proyek kripto hanya menumpang tren dan tidak memiliki produk yang benar-benar digunakan oleh masyarakat.
"Hanya proyek yang menawarkan solusi nyata yang akan bertahan dalam jangka panjang."
—Pesan dari Changpeng Zhao (CZ), Pendiri dan CEO Binance
Sementara itu, Bitcoin tetap memegang gelar sebagai “emas digital”, tetapi ekosistemnya yang terbatas dalam pengembangan teknologi membuat beberapa investor mencari alternatif. Di sinilah muncul persaingan antara jaringan-jaringan seperti Solana, Cardano, Avalanche, hingga stablecoin seperti USDC dan USDT yang menargetkan kestabilan nilai.
Dalam beberapa tahun terakhir, runtuhnya proyek seperti LUNA/Terra, serta skandal FTX yang mengguncang pasar, menjadi bukti bahwa popularitas tidak menjamin kelangsungan.
Kini, investor semakin selektif. Mereka tak lagi hanya mengejar koin yang sedang viral, melainkan memperhatikan utility (kegunaan), roadmap, dan tim pengembang di baliknya.
Jadi, siapa yang akan bertahan?
Crypto adalah masa depan, tapi hanya mereka yang membangun dengan visi dan transparansi yang bisa bertahan menghadapi waktu.
Di Indonesia sendiri, minat terhadap aset kripto terus menunjukkan tren positif, meskipun diiringi dengan fluktuasi pasar yang cukup ekstrem. Berdasarkan data dari Bappebti (Badan Pengawas Perdagangan Berjangka Komoditi), jumlah investor aset kripto di Indonesia mencapai lebih dari 18 juta orang pada awal 2025. Angka ini melonjak tajam dibandingkan beberapa tahun sebelumnya, menandakan antusiasme yang terus tumbuh di kalangan generasi muda.
Sebagian besar transaksi kripto di Indonesia masih didominasi oleh aset populer seperti BTC dan ETH, disusul oleh koin-koin lokal maupun token proyek baru yang banyak diperjualbelikan lewat platform exchange resmi seperti Tokocrypto, Indodax, dan Pintu. Namun, edukasi yang rendah dan tren FOMO (fear of missing out) masih menjadi tantangan, di mana banyak investor ritel berinvestasi tanpa pemahaman mendalam.
Pemerintah sendiri saat ini masih mengklasifikasikan kripto sebagai komoditas, bukan alat pembayaran yang sah. Namun diskusi mengenai potensi penggunaan rupiah digital sebagai bentuk Central Bank Digital Currency (CBDC) terus berjalan. Bank Indonesia bahkan sudah melakukan uji coba tahap awal untuk mengkaji bagaimana teknologi blockchain bisa diadopsi secara nasional.
Meski adopsi teknologi kripto di Indonesia belum secepat negara-negara besar, pergerakannya tetap menjanjikan. Edukasi publik, regulasi yang lebih jelas, dan penguatan keamanan transaksi menjadi kunci agar pasar kripto Indonesia tidak hanya ramai, tapi juga sehat dan berkelanjutan.
Menurut Oscar Darmawan, CEO dari platform pertukaran aset digital Indodax, edukasi menjadi hal paling krusial agar masyarakat Indonesia tidak hanya menjadi korban trend semata.
"Crypto bukan hanya untuk investasi, tapi juga teknologi masa depan. Masyarakat harus paham cara kerjanya agar bisa ambil keputusan bijak."
— Ujarnya Oscar Darmawan, CEO Indodax
“Jika negara sebesar AS mulai membangun cadangan bitcoin, maka ini bisa menjadi tren global. Negara lain, termasuk Indonesia, perlu mempertimbangkan langkah strategis serupa agar tidak tertinggal dalam perkembangan ekonomi digital,” Imbuhnya
Sementara itu, Teguh Kurniawan Harmanda, COO Tokocrypto, menilai bahwa regulasi yang jelas dari pemerintah sangat penting untuk menjaga kepercayaan pasar dan mendorong adopsi yang sehat.
"Dengan regulasi yang tepat, kita bisa menciptakan ekosistem kripto yang tidak hanya aman, tapi juga inovatif dan kompetitif secara global."
— Pesan dari Teguh Kurniawan Harmanda, COO Tokocrypto
Kedua tokoh ini percaya bahwa Indonesia memiliki potensi besar dalam dunia blockchain dan aset digital, terutama dengan jumlah penduduk muda yang tinggi dan tingkat adopsi teknologi yang terus meningkat.(*)