KETIK, MALANG – Desain lampu yang diusung di Alun-Alun Tugu menuai kontroversi terkait kesesuaiannya dengan nilai historis Kota Malang.
Sejak lampu tersebut pertama kali terpasang di Koridor Kayutangan Heritage, banyak masyarakat mulai membandingkan dengan lampu yang ada di Malioboro, Yogyakarta.
Jika diperhatikan, warna lampu hias Tugu Kota Malang didominasi warna hijau. Dimana, warna hijau tidak mencerminkan warna khas atau ikonik Malang yang lebih dekat dengan warna biru.
Lampu hias di Alun-Alun Tugu Kota Malang didominasi warna hijau. (Foto: Lutfia/Ketik.co.id)
Sekretaris Tim Ahli Cagar Budaya (TACB) Kota Malang Rakai Hino Galeswangi menegaskan desain tersebut tidak memiliki akar historis yang kuat.
Dilihat lebih dekat, terdapat simbol dua singa di bagian ornamen atas lampu. Kedua singa tersebut disinyalir berasal dari lambang Gementee Malang awal yang memiliki motto 'Malang Nominor Sursum Moveor' atau 'Malang Kotaku Maju Tujuanku.'
Namun memadukan simbol tersebut dalam ornamen lampu untuk menciptakan kesan heritage rupanya cara yang keliru.
"Jadi kalau ditanya sesuai tema sejarah, tepat atau tidak, ya sangat amat tidak tepat alias ngawur dan risetnya kurang. Untuk mencari indikator yang akan ditaruh di situ juga tidak sesuai kaidah ilmiah atau penelitian historiografi. Jika memang tema yang diambil adalah latar belakang historisnya," ujar Rakai pada Kamis (5/10/2023).
Menurutnya, apabila Pemerintah Kota Malang ingin memunculkan kesan heritage dalam tata kota khususnya di Kayutangan Heritage hingga Alun-Alun Tugu, diperlukan pemilihan periodesasi sejarah yang tepat.
Sehingga penataan Alun-Alun Tugu dapat lebih terarah dengan meninjau sumber-sumber foto dan video Kota Malang pada periode tersebut.
"Oleh Dinas Lingkungan Hidup (DLH) Kota Malang hanya dikasih tahu sesuai tema historis karena ingin membangkitkan memori kolektif masyarakat terkait sejarah. Saya sempat tekankan skala waktu mana yang diambil. Kita cari referensi lampu-lampu di foto atau video yang disimpan di KITLV atau library Leiden jadi tidak terkesan ngawur," tegasnya.
Lampu hias tugu Malang memiki design yang menyerupai lampu hias di Jalan Malioboro Yogyakarta. (Foto: Dok. Ketik.co.id)
Rakai menegaskan bahwa desain lampu tersebut belum pernah ditemukan di berbagai referensi tentang sejarah Kota Malang pada zaman dahulu. Jika Pemkot Malang ingin menguatkan kesan heritage, mereka dapat menggunakan desain lampu yang saat ini ada di Jembatan Majapahit dan Kahuripan.
"Sepintas saya lihat, desain lampu itu memunculkan ikon singa. Mencoba memunculkan warna yang sesuai tema, tapi menurut saya tidak. Karena kita tidak pernah menemukan model seperti itu di lingkup historis manapun," jelasnya.
Dia memberikan contoh bahwa model lampu yang cocok untuk Alun-Alun Tugu bisa mengacu pada periode tertentu dalam sejarah Kota Malang. Seperti masa kolonial Hindia Belanda, masa pendudukan Jepang, agresi militer Belanda II, masa pergolakan 1965, atau masa kemerdekaan Indonesia. Pemilihan periode ini harus disesuaikan dengan penelitian yang matang disertai konsultasi dengan ahli di bidangnya.
Sebelum proses revitalisasi Alun-Alun Tugu, DLH Kota Malang sebagai dinas pengampu taman sekitar monumen Tugu memang sempat melibatkan TACB. Namun Rakai menyayangkan bahwa hasil yang ditunjukkan tidak sesuai dengan tema yang dibicarakan.
"Untuk memunculkan sesuatu hal itu risetnya harus matang, benar-benar konsultasi kepada tenaga ahli di bidangnya. Jangan sampai mau membranding heritage, namun konsultasi ke orang orang dengan keahlian yang tidak nyambung," tandasnya.(*)