KETIK, SURABAYA – Perayaan Hari Santri Nasional resmi diperingati setiap tanggal 22 Oktober.
Ini sesuai dengan Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 22 tahun 2015 tentang Hari Santri sebagai bentuk penghargaan atas peran besar para santri dalam merebut kemerdekaan di masa penjajahan.
Berbeda dengan sebelumnya, tahun ini Hari Santri Nasional mengangkat tema Menyambung Juang Merengkuh Masa Depan.
Sebuah tema yang mengajak para santri untuk tetap mewarisi semangat juang masa lampau sembari siap menghadapi tantangan zaman.
Seperti yang diungkapkan Dosen Ilmu Tafsir Pascasarjana Perguruan Tinggi Ilmu Al-Qur'an Jakarta, Nyai Dr. Nur Rofiah, Bil. Uzm.
Kepada Ketik.co.id, Nur Rofiah menjelaskan bahwa tema tersebut memiliki makna para santri tidak boleh putus dari perjuangan masa lampau.
Dengan kata lain, para santri harus tetap menjaga tradisi sekaligus terbuka dengan bentuk-bentuk kemaslahatan (kebaikan) baru.
"Kalau dalam kaidah yang biasa dipakai NU itu kan al-muhafadhotu 'ala qodimis sholihin. Jadi, perjuangan itu tetap memperhatikan capaian-capaian kemaslahatan yang sudah lama, sama merengkuhnya itu wal akhdzu bil jadidil ashlah, terbuka pada kemaslahatan baru," terangnya baru-baru ini.
Lebih lanjut, anggota Kongres Ulama Perempuan Indonesia (KUPI) itu berpendapat maksud dari menjaga tradisi bukanlah bersikap saklek tidak mau melihat perubahan. Melainkan, semua itu harus dijadikan pijakan untuk menyikapi perubahan-perubahan baru sesuai tantangan zaman.
"Termasuk tradisi keilmuan klasik, nusantara dan lain-lain. Itu kan terwujud karena perjuangan. Cuma jangan saklek dengan itu. Semua itu jadi pijakan untuk menyikapi perubahan yang ada, sehingga santri tidak kehilangan jati diri tapi tidak terjebak sikap ekstrem terhadap tradisi itu," imbuhnya.
Baginya, dari sini penting bagi para santri memiliki sikap moderat. Artinya, para santri harus bisa menyikapi tradisi dan modernitas secara proposional dan berkesinambungan.
"Tidak memusuhi tradisi, tidak memusuhi modernitas, tidak ekstrem pada tradisi, tidak ekstrem pada modernitas," tegasnya.
Semua ini, lanjut Nur Rofiah, demi mewujudkan kemaslahatan bersama yang menjadi mandat manusia di muka bumi sebagai khalifah fil ard (khalifah di bumi).
"Kenapa harus disikapi secara proposional? karena itu didudukan sebagai wasilah (perantara). Perantara untuk apa? untuk mewujudkan kemaslahatan bersama baik internal maupun eksternal. Ini menjadi mandat manusia sebagai khalifah," pungkasnya.(*)