KETIK, SIDOARJO – Keharusan puskesmas-puskesmas di Sidoarjo mengembalikan dana kapitasi BPJS Kesehatan mengundang perhatian Komisi D DPRD Sidoarjo. Temuan BPK tentang keharusan pengembalian itu memerlukan solusi. Pendataan dan validasi data harus akurat.
Wakil Ketua Komisi D DPRD Sidoarjo Bangun Winarso menyatakan, temuan BPK itu sudah dibahas dalam rapat Badan Anggaran DPRD Sidoarjo beberapa bulan lalu. Salah satunya soal prosedur pengembaliannya. Total ada temuan Rp 995 juta untuk Program Bantuan Iuran Jaminan Kesehatan (PBI JK) dan PBD (Program Bantuan Daerah) Rp 10 juta.
Menurut Bangun, Peraturan Presiden telah mengatur prosedur pengembalian. Identifikasi dan verifikasi penerima bantuan iuran jaminan kesehatan yang sudah meninggal diwajibkan kepada BPJS Kesehatan. Itu yang harus dilakukan.
"Njenengan (BPJS) juga harus punya data sebelum mengembalikan seperti yang dimaksudkan data," kata legislator PAN tersebut dalam hearing di DPRD Sidoarjo pada Kamis (19 Desember 2024).
Dokumen yang dibutuhkan adalah laporan kematian dan identitas pasien. Sebelum mengembalikan seperti temuan BPK itu, puskesmas-puskesmas bisa minta data dari BPJS Kesehatan. Apalagi, ada sanksi administratif dan finansial jika tidak melakukan pengembalian.
"Ada tiga hal yang perlu diperbaiki di sini," kata Bangun Winarso.
Apa saja? Pertama, bagaimana agar ada sistem yang bisa mendata dengan cepat penerima bantuan iuran yang sudah meninggal atau pindah. Kedua, sistem verifikasi dan validasi data yang akurat sangat perlu. Ketiga, menggunakan instrumen Sistem Layanan Rujukan Terpadu (SLRT), pemerintah desa, RT, dan RW. Semuanya perlu disinkronkan dan dioptimalkan.
Anggota Komisi D DPRD Sidoarjo Pratama Yudhiarto berpendapat. Dalam soal pengembalian dana kapitasi ini, yang jadi korban sebenarnya adalah puskesmas-puskesmas dan BPJS Kesehatan Cabang Sidoarjo. BPJS Kesehatan dituntut Pemerintah Pusat. Puskesmas dituntut oleh BPJS Kesehatan. Keduanya sama-sama korban. Padahal, yang seharusnya ikut bertanggung jawab sebenarnya mulai dari RT setempat.
Menurut Pratama, setiap ada warga yang meninggal, perangkat RT/RW setempat seharusnya otomatis melapor ke desa. Sehingga, tidak sampai terjadi sudah berbulan-bulan, bahkan bertahun-tahun warga meninggal, laporannya baru sekarang. Legislator muda Partai Gerindra itu menambahkan, ada RT yang belum paham cara mengurus akte kematian. Warga sudah 3 tahun meninggal, suratnya baru diurus sekarang untuk uang pensiun.
"Yang seperti ini kan BPJS-nya ditagih 3 tahun," ungkapnya.
Pratama menekankan pentingnya langkah-langkah dan kiat-kiat untuk update data penduduk ini. Berbagai lembaga terkait selalu mengecek data penduduk desa. Berapa yang meninggal dan berapa yang pindah tempat tinggal. Apalagi, mengurus akta kematian, misalnya, sangat mudah. Cukup KTP dan surat kematian dari desa.
"Kalau kita cuma mengharapkan RT, susah sekali. Loyo kalau untuk kepentingan sosial," tambahnya.
Anggota Komis D DPRD Sidoarjo Tarkit Erdianto menyatakan tidak bisa bicara nasional. Lebih baik bicara Kabupaten Sidoarjo. Bagaimana agar kasus tidak update-nya data terkait BPJS ini tidak terulang. Puskesmas mengeluh karena harus mengembalikan dana kapitasi. Uangnya dari mana.
"Kalau perlu, laporan kematian di desa seminggu sekali dicek," katanya.
Ketua Komisi D DPRD Sidoarjo Dhamroni Chudlori menpersilakan berbagai pihak merumuskan tindak lanjut dan solusi persoalan ini bagaimana. Dia mencontohkan data Puskesmas Krembung. Data penerima iuran PBI JK yang kapitasinya harus dikembalikan ternyata banyak ketidaksesuaian. Masih segar bugar disebutkan sudah meninggal. Salah satu sebab ketidaksesuaian data adalah ketidaksinkronan. Antara petugas PKH, operator desa, serta petugas kecamatan dan desa lain yang terlibat.
Kepala Puskesmas Krembung dr Joko Setijono menyebutkan ada 1.600 data penerima PBI JK yang disebut sudah meninggal. Padahal, setelah ditelusuri ke desa-desa, ternyata banyak yang masih hidup. Data mereka sudah dicek dan ditandai.
"Kami minta waktu untuk klarifikasi data dulu. Jangan sampai nanti terjadi anggaran bolak-balik," ungkap dr Joko.
Sebelumnya diberitakan, Kepala BPJS Kesehatan Cabang Sidoarjo Munaqib menjelaskan, angka Rp 995 juta itu merupakan temuan BPK RI. Pihaknya menagih ke Dinas Kesehatan (Dinkes) Sidoarjo itu berdasar data dari BPK. BPJS Sidoarjo tidak punya data tersendiri untuk itu. Ini tidak hanya terjadi di Kabupaten Sidoarjo.
"Total sekitar 96 juta nama di seluruh Indonesia," katanya.
Munaqib mencontohkan, peserta penerima bantuan PBI JK yang sudah meninggal ternyata tidak dilaporkan. Jadi, iurannya masih dibayar oleh BPJS Kesehatan. Misalnya sudah meninggal 5 bulan lalu dan baru dilaporkan sekarang. BPJS Kesehatan masih membayarnya. Maka, BPJS Kesehatan wajib mengembalikan. Karena ini temuan BPK RI, BPJS Kesehatan mau tidak mau harus mengembalikan.
Untuk Sidoarjo, pengembalian ini relatif hampir selesai. Baik puskesmas-puskesmas maupun beberapa dokter. Untuk puskesmas, sistemnya dicicil. Pengembalian Oktober dan November sudah selesai. Tinggal Desember.
"Sudah hampir selesai ya," ungkap Munaqib.
Kepala Dinas Keseharan Sidoarjo dr Lhaksmie Herawati Yuantina mengatakan, karena ini menjadi kewajiban, dinkes dan puskesmas akan mengembalikan apa yang menjadi tanggung jawab. Tapi, karena masih harus validasi data, dirinya mohon waktu. Jika data sudah valid berapa yang harus dikembalikan, akan dikembalikan.
"Dalam beberapa bulan terakhir dan ada pertemuan lagi, kita sampaikan data-data yang valid," katanya. (*).