Akhirnya peraturan desa paling baru termaktub dalam Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 3 Tahun 2024 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 Tentang Desa (UU No. 3/2024). Namun sorotan utama tertuju pada pengaturan tunjangan purna tugas yang diperoleh oleh Kepala Desa, Perangkat Desa, dan anggota Badan Permusyawaratan Desa.
Selain itu, lama jabatan total delapan belas tahun menjadi enam belas tahun juga menjadi perhatian karena berfokus pada per jabatan yaitu delapan tahun.
Tentu terjadi hal yang bertentangan dengan landasan filosofis UU No. 3/2024 bahwa desa memiliki hak asal usul dan hak tradisional dalam mengatur dan mengurus kepentingan setempat dan berperan mewujudkan cita-cita kemerdekaan berdasarkan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
Desa yang sebelumnya kurang mendapatkan tempat dalam ketatanegaraan, menjadi lebih menarik saat ini. Misalnya hibah-hibah perguruan tinggi yang salah satu syaratnya berkolaborasi dengan desa.
Dalam perspektif hermeneutika hukum sebagai salah satu cara untuk memahami undang-undang maka keberadaan desa adalah bagian terutama dalam bernegara.
Desa tidak lagi menjadi penerus kehidupan bermasyarakat melainkan entitas yang harus dijaga sehingga menghasilkan luaran untuk bangsa Indonesia.
Majas demikian tidak mengada-ngada karena apabila kita melihat lagi penjelasan umum undang-undang ini termaktub “Di dalam perjalanan ketatanegaraan Republik lndonesia, Desa telah berkembang dalam berbagai bentuk sehingga perlu dilindungi dan diberdayakan agar menjadi kuat, maju, mandiri, dan demokratis sehingga dapat menciptakan landasan yang kuat dalam melaksanakan pemerintahan dan pembangunan menuju masyarakat yang adil, makmur, dan sejahtera”.
Definisi menarik diberikan Bryan A Garner bahwa desa adalah “traditionally, a population center consisting of a modest assemblage of houses and buildings for dwellings and businesses” – bisnis menjadi bagian penting yang itu juga dibutuhkan dalam skala kota besar.
Sebetulnya undang-undang baru ini ingin memberikan kejelasan bahwa perhatian negara pada desa sangatlah besar namun ketika dibaca secara lengkap maka muncul kekaburan dan pertentangan norma. Niat baik negara ibarat negara penjaga malam yang hanya bertindak ketika siapapun terlelap.
Tentu saja esensi demokrasi khas Indonesia yang mengarah pada deliberatif menjadi ajang tidak adil lagi. Kegiatan musyawarah tidak menjadi bagian utama dalam menghasilkan keputusan.
Artinya ketika desa menjadi yang terutama maka perlakuan khusus dengan syarat khusus adalah hal utama juga. Tanpa menegasikan pendidikan tinggi maka salah satunya dalam Pasal 33 huruf d UU No. 3/2024 bahwa Calon Kepala Desa wajib memenuhi persyaratan berpendidikan paling rendah tamat sekolah menengah pertama atau sederajat.
Dualisme demikian sebetulnya memberikan kepercayaan pada desa namun kepercayaan tersebut pada akhirnya bisa mengubah paradigma hierarki sesudahnya dalam melaksanakan ketatanegaraan di Indonesia. Contoh lainnya Kepala Desa berhak mengajukan rancangan dan menetapkan Peraturan Desa.
Hal ini adalah sikap untuk menerapkan peraturan perundang-undangan diatasnya. Walaupun demikian, UU No. 3/2024 harus dimaknai sebagai kesatuan akan kebaruan yang diberikan oleh negara. Kekhawatiran yang muncul yaitu adanya pengujian materiil ke Mahkamah Konstitusi yang hanya sebatas penyesuaian teks sehingga tujuan hukum berupa keadilan hukum tidak tercapai optimal.
Beberapa waktu lalu terjadi penolakan akan masa jabatan kepala desa yang melebihi jabatan presiden. Terjadi “pergeseran kekuasaan” dimana kepala desa lebih memiliki kewenangan daripada presiden. Dalam pemikiran trias politika, hal tersebut mengaburkan pemisahan kekuasaan yang tujuan utamanya menjaga legalitas kedaulatan masyarakat.
Bagian akhir yaitu kepala desa berkewajiban melaksanakan kehidupan demokrasi dan berkeadilan gender. Di undang-undang sebelumnya juga telah dimuat namun ketika pengaturan ini diulang lagi maka gender sebetulnya belum terlaksana dengan baik.
Walaupun saya pernah menjumpai kepada desa bergender wanita namun pria lebih mendominasi. Dominasi demikian juga dipengaruhi adat misalnya dari turunan pria atau patrilinealisme namun setidaknya Indonesia pernah memiliki Megawati Soekarnoputri sebagai Presiden. Hal tersebut menjadikan perempuan kedudukannya sama dengan pria.
Dengan peraturan demikian maka UU No. 3/2024 kemungkinan mengalami perubahan minimal di tahun 2040 atau mendekati tahun tersebut. Sementara keberlakuan undang-undang sebaiknya tidak boleh terlalu lama dan tidak boleh terlalu singkat karena keadaan masyarakat yang dinamis.
Sedangkan di tahun 2045 Indonesia harus menjadi emas dimana poinnya adalah mewujudkan transformasi sosial; mewujudkan transformasi ekonomi; mewujudkan transformasi tata kelola; memantapkan supremasi hukum, stabilitas dan kepemimpinan Indonesia; memantapkan ketahanan sosial budaya dan ekologi; mewujudkan pembangunan kewilayahan yang merata dan berkeadilan; mewujudkan sarana dan prasarana yang berkualitas dan ramah lingkungan; mewujudkan kesinambungan pembangunan. Tentu semuanya harus tercapai yang didukung dengan seluruh jenis peraturan perundang-undangan.
Kekhawatiran terakhir saya yaitu dengan adanya UU No. 3/2024 ini sebetulnya ingin memajukan desa atau ingin menghilangkan desa? Ketika memajukan desa maka keberadaan desa lama-lama bisa tergantikan dengan kota yang tidak ada lagi penyebutan masyarakat desa melainkan masyarakat kota modern. Seolah-olah terjadi “pemberian kekuasaan” berlebih dari negara dan masyarakat desa yang harus menghadapinya. Ini seperti halnya sistem bebek lemah dalam kekuasaan eksekutif dan kekuasaan legislatif.
Tentu saja kehilangan desa jangan sampai terjadi karena cita-cita kemerdekaan Indonesia bermula dari sana. Hanya saja perlu dipahami bahwa negara penjaga malam era Eropa berbeda dengan Majapahit. Malam menurut Majapahit adalah pelaksanaan hukuman yang berbeda dengan siang hari.
Malam hari identik dengan istirahatnya masyarakat dari beraktivitas seharian, sehingga ketika terjadi kejahatan pada malam hari maka itu merupakan perhatian serius dari negara. Semoga saja UU No. 3/2024 bisa menarik peneliti ilmu hukum untuk mendukung kebenarannya sehingga peraturan pelaksananya nanti bisa meminimalisir terjadinya ketidakadilan hukum.
*) Tomy Michael adalah Dosen FH Universitas 17 Agustus 1945 Surabaya
**) Isi tulisan di atas menjadi tanggung jawab penulis
***) Karikatur by Rihad Humala/Ketik.co.id
****) Ketentuan pengiriman naskah opini:
- Naskah dikirim ke alamat email redaksi@ketik.co.id.
- Berikan keterangan OPINI di kolom subjek
- Panjang naskah maksimal 800 kata
- Sertakan identitas diri, foto, dan nomor HP
- Hak muat redaksi.(*)