KETIK, TRENGGALEK – Tampil kurang menyakinkan di dua laga awal Challenge Series 2025, peluang Timnas Indonesia U-20 lolos Piala Dunia U-20 di Cili tahun ini, terasa berat. Menghadapi dua tim dari Timur Tengah, yakni Jordania dan Suriah, Indonesia tidak bisa berbuat banyak.
Kalah 0-1 atas Jordania, padahal Jordania hanya bermain dengan 10 pemain dan kalah 0-2 dari Suriah.
Secara level permainan, Jordania dan Suriah masih dibawah Iran dan Uzbekistan. Iran dan Uzbekisatan adalah lawan Indonesia di putaran final Piala Asia 2025 di China.
Miskin Kreatifitas dan Tidak Punya Gol Getter
Taktik Indra Sjafri saat melawan Jordania, khususnya pada babak kedua memang menjadi perdebatan. Menghadapi lawan yang hanya bermain dengan 10 pemain, anak asuhnya begitu keteteran. Baik sisi kiri dan kanan pertahanan sering dieksploitasi lawan. Padahal hanya dengan counter attack. Sehingga, banyak peluang tercipta. Boro-boro mau menyamakan kedudukan, tidak kebobolan saja sudah beruntung.
Setidaknya ada sekitar 4 kali tendangan penjuru secara terus menerus. Ini semakin mempertegas begitu rapuhnya pertahanan Indonesia. Ironisnya, Jordania hanya butuh dua atau tiga pemain untuk memporak-porandakan Indonesia.
Di sisi lain, Indonesia berusaha menguasai jalannya pertandingan dibabak kedua. Meskipun pola permaianannya terkesan monoton. Organisasi peramainan juga tidak rapi. Tak terkecuali komunikasi antar pemain juga tidak berjalan dengan baik.
Pendeknya, pemain bingung antara mau passing atau melepaskan tembakan. Karena, pertahanan Jordania cukup rapi dan transisi antar pemain lumayan bagus. Ini yang mungkin menyulitkan para pemain Indonesia.
Level Semakin Tertinggal Saat Melawan Suriah
Pada laga kedua Challenge Series 2025, Indonesia berhadapan dengan salah satu tim kuat sekaligus peserta putaran final Piala Asia, Suriah. Pola permain dengan taktik sepak bola modern seakan menjadi alarm bagi coach Indra, betapa permainan Suriah cukup terorganisir, rapi, efektif dan efisien.
Tak hanya kalah di lini tengah, para pemain Indonesia begitu agak gugup saat mendapat pressing ketat dari lawan. Sehingga begitu sulit mengembangkan permainan. Belum lagi kecepatan dan postur tubuh para pemain Suriah benar-benar menjadi pembeda.
Proses golnya pun terlihat cukup indah. Mulai dari sundulan kepala hingga tendangan. Selain sulit mengimbangi permainan, Doni Tri Pamungkas cs memang kalah kelas dari sisi permaianan, taktik hingga kematangan tim.
Ini artinya, Indra Sjafri harus memutar otak untuk mempersiapkan tim yang benar-benar bisa bersaing di putaran final Piala Asia China 2025.
Tanpa bermaksud pesimis, penulis membayangkan, ini baru level Suriah dan Jordania. Bagaimana jika harus berhadapan dengan tim Timur Tengah lainnya, sebut saja Iran.
Belum lagi tim dari Asia Timur, seperti Jepang, Korsel, dan tuan rumah China. Tentu ini akan menjadi problem besar jika melihat penampilan anak asuh Indra Sjafri di dua laga awal Challenge Series 2025.
Mampukah Indra Sjafri Melakukan Perubahan Signifikan?
Jika melihat gelaran turnamen yang kurang dari satu bulan, tentu sesuatu yang sulit untuk meningkatkan level permainan. Meskipun peluang lolos dan menang di fase grup masih terbuka lebar.
Namun demikian, Indra Sjafri tetaplah Indra Sjafri. Selain bertangan dingin, pelatih asal Sumbar ini punya banyak pengalaman di pertandingan internasional. Salah satunya sukses mengalahkan Argentina pada sebuah turnamen di Korsel 2024.
Paling tidak, kedekatan Indra Sjafri dengan para pemain bisa menjadi modal penting untuk memotivasi anak asuhnya sekaligus untuk meningkatkan level permainan pada saat turnamen yang sesungguhnya.
Indra Sjafri punya cara, Indra Sjafri punya gaya permainan yang mungkin saja diluar perkiraan para pecinta sepak bola tanah air. Artinya, bisa saja penampilan pada Challenge Series 2025 adalah sebuah taktik untuk mengelabui lawan, semoga (*)