KETIK, PEMALANG – Ketua Organisasi Angkutan Darat (Organda) Kabupaten Pemalang, Andi Rustono, menyoroti kebijakan pelarangan truk bersumbu tiga atau lebih melintas di jalur Pantura dari Traffic Light Gandulan hingga Exit Tol Kandeman Batang.
Ia menduga adanya kepentingan tersembunyi di balik aturan tersebut, termasuk dugaan konspirasi untuk menghidupkan jalur tol yang sepi.
“Saya menduga ini bukan murni kebijakan teknis, melainkan ada konspirasi antara pihak tertentu dengan operator jalan tol. Jalur Brebes ke timur itu sepi, dan ini bisa jadi cara untuk meramaikannya dengan mengalihkan truk-truk besar,” ujar Andi kepada ketik.co.id, Senin, 2 Juni 2025.
Menurutnya, kebijakan pengalihan arus kendaraan berat seharusnya didasarkan pada analisis lalu lintas yang matang. Ia menyoroti bahwa hingga kini belum ada kajian menyeluruh terkait kapasitas jalan, tingkat pelayanan, dan dampak sosial ekonomi dari kebijakan tersebut.
“Dalam pengaturan lalu lintas itu ada yang namanya contra flow. Tapi sebelum diberlakukan, harus ada data dan evaluasi yang akurat, bukan hanya opini atau tekanan politik,” tambahnya.
Soroti Dampak Ekonomi & Lingkungan
Andi juga membantah argumen yang menyebut truk-truk besar sebagai penyebab utama polusi debu yang membuat toko-toko di pinggir jalan tutup. Ia menilai, kendaraan pribadi, motor, dan bus justru lebih mendominasi arus lalu lintas dan juga menghasilkan polusi.
“Kalau alasannya karena asap dan debu, kenapa mobil pribadi dan motor tidak dipermasalahkan? Warga di pinggir Pantura itu sudah tahu risikonya sejak dulu,” katanya.
Ia juga menyoroti dampak ekonomi akibat sepinya lalu lintas truk di Pantura. Menurutnya, banyak warung makan, tambal ban, dan bengkel yang kehilangan pelanggan karena arus kendaraan berat dialihkan ke jalan tol.
“Warung-warung sepanjang Pantura itu menggantungkan hidup dari lalu lintas. Kalau semuanya pindah ke tol, ekonomi lokal mati pelan-pelan,” tegasnya.
Tolak Larangan 24 Jam, Ajak Dialog
Organda menyatakan keberatan dengan kebijakan pelarangan penuh selama 24 jam. Andi menyarankan agar kebijakan ini diberlakukan secara terbatas dan melibatkan semua pihak terkait, termasuk Organda dan asosiasi pengusaha truk.
“Kami sudah menyampaikan bahwa jika memang harus diberlakukan, jangan 24 jam. Buat waktu khusus, dan ajak semua pihak duduk bersama. Sampai hari ini, Organda belum pernah diajak rapat soal ini,” ungkapnya.
Surat keberatan pun sudah dilayangkan oleh Asosiasi Pengusaha Truk Indonesia (Aptrindo), termasuk ke beberapa Dinas Perhubungan. Bahkan, menurut Andi, pengusaha truk siap melakukan aksi besar-besaran sebagai bentuk protes jika suara mereka tak didengar.
Sindiran untuk Pemerintah
Menutup pernyataannya, Andi juga menyindir beberapa tokoh yang dianggap ikut mendorong kebijakan ini tanpa mempertimbangkan aspek teknis secara menyeluruh. Ia bahkan menyinggung nama tokoh agama nasional, Habib Luthfi bin Yahya, yang disebut-sebut ikut memberikan masukan.
“Saya menduga ini bukan murni keputusan pemerintah pusat. Ini ide dari salah satu anggota DPR RI Komisi VI, Rizal Bawasir, yang terkesan memaksakan kebijakan tanpa dasar analisis yang jelas,” ujar Andi.
“Kebijakan publik itu harus berbasis data dan analisis, bukan hanya berdasarkan masukan sepihak. Apalagi kalau sudah bicara soal keselamatan dan ekonomi masyarakat luas,” pungkasnya.(*)