KETIK, JEMBER – Kasus kenakalan remaja di Kabupaten Jember, Jawa Timur semakin meningkat dan meresahkan, khususnya pergaulan bebas. Hal itu mengundang keprihatinan dari berbagai kalangan dalam Focus Group Discussion (FGD) yang digelar Majelis Ulama Islam (MUI) setempat.
FGD digelar di Kantor Sekretariat MUI Jember pada Rabu (12/7/2023) lalu, yang dihadiri kalangan pemerintah, pengadilan agama, organisasi masyarakat, aktivis gender, hingga instansi perguruan tinggi.
"FGD sebagai tahap awal untuk mencari solusi konkret. Nantinya akan ada tindakan lanjutan antara lain menyusun naskah akademik untuk kami usulkan kepada pemerintah daerah," ujar Ketua Umum MUI Kabupaten Jember, Dr KH Abdul Haris dalam keterangan tertulisnya,Jumat (14/7/2023).
Untuk mewujudkan naskah akademik tersebut, Majelis Ulama Indonesia (MUI) Jember memandang perlu mengajak semua pihak yang memiliki kepentingan dan kewenangan untuk menyelesaikan masalah itu secara bersama-sama.
"Harapannya, bisa dilahirkan solusi konkret seperti regulasi yang mencegah kasus-kasus kenakalan remaja," ujar Abdul.
Salah satu yang juga disorot dalam diskusi antara lain masih tingginya kasus pernikahan dini di Jember. Perwakilan Pengadilan Agama (PA) Jember menyebut, sejak awal tahun hingga bulan Juni 2023 ini, tercatat ada lebih dari 1.600 dispensasi kawin (diska) di PA Jember.
Angka tersebut diyakini akan terus bertambah hingga akhir tahun nanti. Tahun lalu, Jember menduduki peringkat ketiga angka diska.
Memang diska tidak selalu terkait dengan kenakalan remaja, namun usia perkawinan yang terlalu dini dikhawatirkan bisa menimbulkan permasalahan lain.
Sementara untuk kasus pergaulan bebas, Dinas Pendidikan Nasional (Diknas) Kabupaten Jember melalui Fattah menyampaikan upaya penindakan dan pencegahan yang sudah dilakukan. Salah satunya dengan memberikan materi penyuluhan tentang pendidikan seks remaja kepada peserta didik.
Bekerjasama dengan pihak LSM Suara, Diknas Jember sudah pernah menginstruksikan pihak sekolah untuk memberikan alokasi waktu yang diisi dengan penyuluhan pendidikan seks remaja. Tujuannya agar para pelajar bisa mengetahui organ reproduksinya dan tidak terjebak pada pergaulan bebas.
Semula, upaya itu sempat mendapat tentangan dari beberapa pihak. Sebab ada penggunaan kata "seks" dalam kegiatan itu yang menimbulkan kesalahpahaman. Namun setelah kegiatan penyuluhan diganti namanya dengan materi terkait reproduksi remaja, dapat dipahami para guru dan orang tua.
Inisiatif Diknas Jember itu mendapat apresiasi positif dari Farha Ciciek, pegiat kelompok Tanoker di Ledokombo. Menurutnya, perlu ada modifikasi nama untuk menghilangkan kesalahpahaman edukasi reproduksi remaja.
Menurut Farha Ciciek, kondisi saat ini membutuhkan perhatian serius dari berbagai pihak. Sebab banyak kasus, mereka yang seharusnya menjadi pelindung anak justru menjadi predator anak.
"Bagaimana memasukkan kesadaran untuk bersama-sama mengatasi masalah ini, dimulai dari pencegahan," papar Farha Ciciek yang juga program fokus pada pendampingan anak-anak buruh migran.(*)