KETIK, SURABAYA – Pagi yang cerah di Kampung Edukasi Sampah RT 23 RW 07, Kelurahan Sekardangan, Kecamatan Sidoarjo, disambut semangat gotong royong.
Puluhan warga dari berbagai usia berkumpul dalam suasana kebersamaan, bergotong royong memanen kompos dari sumur resapan yang telah dioptimalkan sebagai tempat pengolahan sampah organik.
Kegiatan ini bukan sekadar kerja bakti biasa. Di balik tumpukan daun dan ranting yang berubah menjadi kompos, tersimpan sebuah inovasi sederhana namun berdampak besar yaitu pemanfaatan sumur resapan multifungsi yang tak hanya mempercepat resapan air hujan, tetapi juga mengolah sampah organik menjadi pupuk alami.
Kampung Edukasi Sampah memang dikenal sebagai pelopor gerakan lingkungan berbasis masyarakat. Dengan mengusung konsep 3R (Reduce, Reuse, Recycle), kampung ini menjadi contoh nyata bahwa perubahan bisa dimulai dari tingkat RT.
Andi Hariyadi, Ketua RT 23 ditengah-tengah kegiatan menjelaskan bahwa program ini lahir dari kesadaran kolektif warga akan pentingnya menjaga lingkungan.
“Kami ingin menjadikan lingkungan sebagai ruang belajar bersama. Sumur resapan yang dulunya hanya untuk mencegah banjir, kini berfungsi ganda sebagai pengomposan. Hasilnya kami manfaatkan untuk taman warga, kebun sayur, bahkan sebagai media belajar anak-anak tentang daur ulang,” ujarnya.
Panen kompos ini dilakukan secara berkala, setiap dua hingga tiga bulan. Melalui proses fermentasi dan pelapukan alami, daun dan ranting yang semula dianggap sampah berubah menjadi kompos berkualitas yang memperkaya tanah dan menyuburkan tanaman warga.
Edi Priyanto, pegiat lingkungan sekaligus penggagas Kampung Edukasi Sampah, menekankan bahwa kekuatan utama dari gerakan ini terletak pada kolaborasi.
“Inovasi ini bukan sekadar soal teknis pengomposan, tapi soal membangun budaya peduli lingkungan dari hal kecil. Ini bentuk edukasi yang hidup di mana warga, kader lingkungan, dan anak-anak muda terlibat aktif. Pengelolaan sampah bukan hanya tanggung jawab pemerintah, tapi bagian dari tanggung jawab sosial kita bersama,” tegasnya.
Warga kompak, memanen kompos yang sengaja dibuat dari buangan sisa sampah organik rumah tangga di kampung tersebut (Foto: Dok RT. 23 RW. 07, Sekardangan, Kec Sidoarjo, Kab Sidoarjo)
Menariknya, pendekatan sederhana namun efektif ini telah menarik perhatian dari berbagai daerah di luar Provinsi Jawa Timur. Rombongan camat, lurah, hingga komunitas dari provinsi Bali, Jambi, dan Kalimantan telah datang langsung untuk melakukan studi tiru di kampung ini.
Mereka ingin melihat dari dekat bagaimana inovasi lingkungan bisa tumbuh dari skala mikro dan dilakukan secara swadaya.
“Kami senang bisa berbagi praktik baik. Mungkin apa yang kami lakukan terlihat sederhana, tapi ketika dijalankan dengan konsistensi dan partisipasi warga, hasilnya bisa berdampak luas. Kami percaya, perubahan besar bisa dimulai dari lorong-lorong kampung,” tambah Edi.
Kini, Kampung Edukasi Sampah tak hanya menjadi pusat pengelolaan lingkungan, tapi juga laboratorium sosial dan ruang edukasi terbuka. Siswa, mahasiswa, komunitas lingkungan, hingga instansi pemerintahan rutin berkunjung untuk belajar langsung. Kampung ini menghidupkan slogan : “Belajar dari Sampah, Membangun Perubahan.”
Kampung Edukasi Sampah adalah inisiatif warga RT 23 RW 07 Kelurahan Sekardangan, Kecamatan Sidoarjo, yang berfokus pada edukasi dan pengelolaan sampah rumah tangga.
Mengusung pendekatan partisipatif, kampung ini mengembangkan berbagai program seperti pemilahan sampah, daur ulang, pengomposan berbasis sumur resapan, hingga kegiatan kreatif dari bahan bekas. Kampung ini telah menjadi salah satu tujuan studi tiru tingkat nasional dalam upaya penguatan gerakan lingkungan berbasis komunitas. (*)