KETIK, SIMEULUE – Krisis obat dan keuangan melanda Rumah Sakit Umum Daerah (RSUD) Kabupaten Simeulue, Aceh. Rumah sakit tipe C ini mengalami kekosongan stok obat dan keterbatasan anggaran operasional.
Pihak RSUD Simeulue telah berulang kali menyampaikan permasalahan ini kepada Pemerintah Daerah Kabupaten Simeulue. Namun, hingga kini belum ada solusi konkret.
Anggaran yang bersumber dari Badan Layanan Umum Daerah (BLUD) masih mengalami keterbatasan signifikan, berdasarkan laporan keuangan RSUD Simeulue, kebutuhan biaya untuk pengadaan obat-obatan mencapai lebih dari Rp1,5 miliar per bulan. Sayangnya, anggaran yang tersedia masih jauh dari jumlah tersebut. Kondisi itu yang menyebabkan keterlambatan pembayaran kepada distributor farmasi dan mengakibatkan penghentian suplai obat sejak November 2024.
“Dalam keadaan sulit ini, kami terus berupaya memberikan pelayanan terbaik kepada masyarakat Simeulue. Namun, dengan anggaran yang sangat terbatas, kami terpaksa berutang kepada distributor farmasi yang menyuplai obat-obatan, menunggu pencairan anggaran klaim dari BPJS setiap bulannya. Meskipun kami harus terus berutang, kami berusaha menjaga ketersediaan obat di rumah sakit selama ini,” kata Direktur RSUD Simeulue, dr. Effie Masyithah Siregar, Sp.OG, pada Minggu 23 Februari 2025.
Dijelaskannya, bahwa selama tiga bulan cuti dan jabatan direktur dipegang oleh Plt. direktur sementara. Namun ternyata utang obat yang ada sebelumnya tidak dilunasi.
“Ia hanya membayar harga obat selama masa jabatannya, sementara anggaran yang seharusnya digunakan untuk melunasi tunggakan obat malah dialokasikan ke tempat lain. Salah satunya adalah pembelian lemari pembeku mayat, yang menurut kami belum menjadi prioritas kebutuhan rumah sakit ini,” jelasnya.
“Saya tidak bermaksud menyalahkan siapapun, namun ini yang terjadi selama saya cuti. Sangat disayangkan, dana BLUD justru digunakan untuk pengadaan barang yang tidak sesuai standar dan prioritas kebutuhan rumah sakit,” imbuh Effie.
Seharusnya, lanjut dia, RSUD lebih menghemat anggaran dan memprioritaskan mana kebutuhan penting pasien. Akibatnya, utang semakin menumpuk dan distributor pun menghentikan suplai obat hingga tunggakan dilunasi.
“Menurut laporan dari gudang farmasi RSUD Simeulue yang saya terima, kekosongan obat mulai terjadi sejak bulan November lalu,” katanya.
Akibatnya, saat ini rumah sakit mengalami krisis obat dan masyarakat pun turut menerima dampaknya.
“Pada akhirnya, saya sebagai Direktur definitif dipersalahkan seakan-akan tidak mampu melaksanakan tugas dengan baik,” ungkap Direktur RSUD Simeulue, dr. Effie Masyithah Siregar.
Lebih lanjut, dr. Effie menjelaskan bahwa biaya perawatan alat kesehatan, fasilitas rumah sakit, serta operasional harian sangat bergantung pada anggaran BLUD yang terbatas. Selain itu, BPJS Kesehatan tidak menjamin semua biaya pengobatan pasien, bahkan banyak klaim yang ditolak sehingga pihak rumah sakit terpaksa menutupinya dengan dana BLUD. Beban operasional lainnya mencakup biaya pemeliharaan peralatan medis, fasilitas rumah sakit, serta kebutuhan logistik lainnya, yang semuanya membutuhkan dana besar.
“Menyangkut pembatasan penanganan pasien di UGD, itu merupakan aturan dari Permenkes RI, bukan kebijakan yang kami buat sendiri. Namun, bagi masyarakat awam, kami kerap dipandang mempersulit keadaan. Padahal, kami hanya mengikuti mekanisme yang ada. UGD berfungsi untuk menangani pasien dengan kondisi benar-benar darurat dan membutuhkan perawatan inap. Di luar kriteria tersebut, BPJS tidak menjamin biaya pengobatan. Kami berharap masyarakat Simeulue dapat memahami kondisi ini,” jelas dr. Effie.
Dalam situasi yang semakin kritis ini, Pemerintah Kabupaten Simeulue dan DPRK Simeulue harus segera mengambil langkah strategis untuk memastikan RSUD Simeulue dapat terus beroperasi dan memberikan layanan kesehatan yang layak bagi masyarakat.
Dibutuhkan kebijakan yang tepat agar rumah sakit ini tidak semakin terpuruk. Sebagai pusat layanan kesehatan utama di wilayah ini, RSUD Simeulue memegang peran vital dalam menjaga kesehatan masyarakat dan sudah sepatutnya mendapatkan dukungan penuh dari pemerintah daerah. Tanpa intervensi segera, layanan kesehatan masyarakat di Simeulue terancam terganggu secara serius. (*)