KETIK, SURABAYA – Media sosial tengah diramaikan dengan tren otter atau berang-berang yang dijadikan hewan peliharaan. Banyak video yang menampilkan kelucuan otter saat bermain di rumah, berenang di bak mandi, hingga tidur di pangkuan pemiliknya.
Namun, di balik tren ini, para ahli satwa liar justru memperingatkan bahwa otter adalah hewan liar yang tidak seharusnya dipelihara manusia.
Dosen Satwa Liar Kedokteran Hewan FIKKIA Unair, Aditya Yudhana drh MSi menjelaskan bahwa otter sering disebut sebagai berang-berang dan termasuk dalam kelompok mamalia semi-akuatik yang hidup sekitar aliran sungai atau rawa. Secara taksonomi, terdapat dua kelompok berang-berang yang berbeda.
Pertama adalah otter dari ordo karnivora. Mamalia yang bergantung pada konsumsi daging sebagai sumber utama nutrisi.
Kedua yaitu beaver dari ordo rodentia sebagai herbivora dengan pola makan berbasis tumbuhan. Namun, tidak ada populasi beaver yang memiliki habitat di Indonesia.
“Otter di Indonesia berhabitat alami berada di tepi aliran air sebagai hewan semi akuatik. Otter akan mencari makan ikan, crustacea, udang, maupun kepiting,” katanya melalui keterangan tertulis pada Kamis 6 Maret 2025.
Di Indonesia terdapat empat jenis otter. Hanya ada satu jenis tanpa status dilindungi oleh pemerintah melalui Peraturan Menteri LHK Nomor P.106 tahun 2018. Jenis tersebut adalah berang-berang cakar kecil (Aonyx cinereus).
Dosen Satwa Liar Kedokteran Hewan FIKKIA Unair, Aditya Yudhana drh MSi. (Foto: Humas Unair)
Populasi spesies tersebut mengalami penurunan akibat eksploitasi yang tidak bertanggung jawab. Bahkan kini telah masuk daftar merah International Union for Conservation of Nature (IUCN).
“Perdagangan hewan eksotik di Indonesia bukanlah 100 persen hasil budi daya. Mayoritas penjual mendapatkan hewan tersebut dari alam. Jangan sampai terjadi eksploitasi untuk hobi yang tidak bertanggung jawab,” ungkapnya.
Dengan asumsi tersebut, tangkapan otter dewasa langsung dari alam tentu tidak dapat jinak secara menyeluruh.
Naluri liar masih dominan dapat memunculkan serangan berupa cakaran maupun gigitan.
Risiko transmisi zoonosis akibat penjualan tanpa melakukan skrining status kesehatan hewan dapat terjadi. Berupa potensi rabies, bakteri, parasit, dan fungi.
“Jika otter berasal habitat alami dan sudah dewasa maka tidak dapat jinak sepenuhnya. Berbeda dengan hasil dari penangkaran ek-situ yang mungkin menurunkan sifat liar menjadi jinak,” tuturnya.
Aditya menyebut masyarakat perlu mengetahui pola hidup dari otter yang terbiasa hidup mengeksplorasi alam.
"Jangan sampai membuat hewan stres yang berujung membahayakan pemilik sebab ketidaktahuan akan jenis zoonosis yang akan muncul jika hewan liar tersebut sakit," ujarnya.
Lebih lanjut, Adit menambahkan bahwa stres juga akan meningkatkan emosional hewan.
Adit juga mendukung upaya konservasi ek-situ dalam tujuan penyelamatan, pemeliharaan dan peningkatan populasi meskipun status belum dilindungi.
Peran serta dokter hewan dalam meriset dan mengidentifikasi status kesehatan otter yang kini semakin meningkat sebagai hewan peliharaan eksotik.
“Masih jarang riset pada otter menjadi tantangan yang concern skrining, identifikasi, sampai surveilans yang belum ada data detail hingga kini,” tutupnya.(*)