KETIK, JAKARTA – Peduli terhadap kemajuan pariwisata daerah, Badan Usaha Legislasi Daerah (BULD) DPD RI menggelar Rapat Dengar Pendapat Umum (RDPU) dengan mengundang pakar kebijakan pariwisata dari Universitas Indonesia (UI) dan Direktur Eksekutif Pemantauan Pelaksanaan Otonomi Daerah (Otda).
Acara ini diadakan guna membahas regulasi kebijakan pariwisata daerah dan tata kelolanya yang berlangsung selama ini.
"Posisi pemerintah daerah menjadi lemah dan tidak otonom. Hal ini tercermin dari banyaknya peraturan pemerintah sebagai norma delegasi untuk mengatur lebih lanjut terkait Norma, Standar, Prosedur, dan Kriteria (NSPK) yang ditetapkan oleh pusat, daerah harus tunduk pada NSPK tersebut," kata Wakil Ketua BULD DPD RI Eni Sumarni pada Rapat Dengar Pendapat Umum di Ruang Mataram, Gedung B, Lantai II, Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Kamis (13/6/2024).
Senator asal Provinsi Jawa Barat ini menambahkan, sering dirinya menjumpai kebersihan fasilitas umum daerah yang kurang dijaga dengan baik. Serta kekhasan budaya dan latar belakang historis setiap daerah yang belum cermat dinarasikan ke dalam aset-aset wisata untuk meningkatkan potensi pariwisatanya.
"Jika demikian, apakah Rencana Induk Pengembangan Pariwisata Daerah (RIPPARDA) yang sudah ada sudah cukup mampu menjadikan daerah mengelola kepariwisataannya dengan optimal?" tanya Eni.
Pakar Pariwisata UI, Poeti Nazura menyampaikan bahwa faktor Intervensi pemerintah pusat langsung ke level desa tanpa melalui pemerintah daerah mengakibatkan banyak pembangunan fisik infrastruktur pariwisata yang kurang tepat sasaran.
"Salah satunya yang terjadi di Desa Wisata Borobudur. Pembangunan penyediaan homestay dan balkondes dalam jumlah yang cukup banyak dan homogen di setiap desa. Namun, tidak memperhitungkan tingkat okupansi, kunjungan, serta karakteristik wisatawan di destinasi sehingga banyak homestay dan balkondes yang terbengkalai karena tidak optimal menjaring wisatawan," sambung Poeti.
Sementara itu, Direktur Eksekutif Pemantauan Pelaksanaan Otda, Herman Suparman mengatakan, hambatan dalam pengembangan investasi pariwisata di daerah di dominasi masalah kebijakan yang belum solid antara pusat dan daerah serta tata kelola yang meliputi tingginya pajak dan retiribusi daerah serta ketidakpastian hukum dan tata ruang.
"Ketidakpastian hukum dan tata ruang yang mana ini membuat pelaku usaha enggan menginvestasikan ke sektor pariwisata," jelasnya.
Belum lagi, dia menambahkan, masih banyak tempat wisata di daerah yang tidak memiliki Rencana Detail Tata Ruang (RDTR).
Ada juga faktor ketidaksiapan transportasi dan infrastruktur yang belum memadai untuk menuju tempat pariwisata. Itu seperti jalan, listrik dan air.
Semua itu juga mempengaruhi ketertarikan investor berinvestasi dan wisatawan untuk mengunjungi tempat pariwisata tersebut, lanjut Herman.
Anggota DPD RI asal Kepulauan Riau, Haripinto Tanuwidjaja beranggapan, pengenaan pajak dan retiribusi daerah di angka maksimal sehingga cukup menakuti investor. Dirinya juga menyayangkan peran pemerintah yang belum maksimal dalam mengatur harga transportasi wisata domestik.
"Sangat disayangkan, harga tiket pesawat ke luar negeri lebih murah daripada harga tiket pesawat ke wisata dalam negeri yang secara potensi tidak kalah bagus, di Kepulauan Riau misalnya," tutur Haripinto. (*)