Suatu pagi di sebuah pasar. Bu Guru Prani Siswoyo meluapkan kekesalannya terhadap seorang lelaki. Pria berkaus gambar elang itu menyerobot antrean pembeli kue putu. Marah-marah pula. Keduanya berdebat sengit. Si lelaki bersilat lidah dengan begitu lihai.
Bu Prani pun berkata, ”Ah, suwi.”
Dia lalu pergi karena terburu waktu. Siapa sangka seorang pria asing merekam adegan tersebut. Lantas, mengunggahnya di media sosial. Ucapan Bu Prani berubah.
Kata-katanya pun bukan lagi, ”Ah suwi”, melainkan ”Asu wi."
Lawan bicaranya menjadi nenek penjual kue putu, bukan lelaki tadi. Ibu Guru yang dikenal sebagai pendidik legendaris di sebuah SMP itu pun dituduh memaki-maki nenek pedagang kue putu Mbok Rahayu itu. Viral.
Medsos menciptakan gempa bagi keluarga Bu Prani. Content creator merekayasa peristiwa dan faktanya menjadi pundi-pundi donasi. Demi cuan, cuan, dan cuan. Bu Prani dicaci-maki. Jadi korban cyberbulliying yang begitu sadis. Keluarganya dihakimi.
Itulah sekelumit cuplikan adegan film Budi Pekerti. Film yang berhasil meraih 17 nominasi di antara 20 penghargaan Festival Film Indonesia 2023. Budi Pekerti juga sukses menjadi-satunya film Asia Tenggara yang terpilih di kategori utama di The International Film Festival of India 2023 (IFFI).
Bagi kita, film Budi Pekerti mengajarkan hikmah. Bahwa kehidupan normal nan indah bisa saja menjadi kacau-balau akibat media sosial. Sebuah unggahan media sosial yang belum tentu benar. Memasuki media sosial seakan berkelana di belantara asumsi dan spekulasi.
Asumsi dan spekulasi di dunia maya tidak sama dengan fakta. Jerih payah untuk mengklarifikasinya, bisa saja, menghabiskan begitu besar energi dan biaya. Hasilnya mungkin sia-sia. Mereka yang mengalami paksa kalah oleh orang-orang yang hanya mengamati.
Hoaks (berita rekayasa), fake news (berita palsu), dan konten prank hari-hari ini menyesaki dunia maya. Tsunami informasi terjadi. Netizen percaya mentah-mentah, kemudian menyebarkannya. Sering karena latah saja. Ada pula yang menyusupkan kepentingan. Mereka menjadi prosumer informasi. Content creator memproduksi ”berita” sebelum memiliki skill jurnalistik yang mumpuni. Terkadang memanfaatkan kecerdasan buatan (artificial intelligence). Tidak ada sumber berita yang punya otoritas, kapasitas, kapabilitas, bahkan sekadar relevansi.
Konsumen dan prosumer informasi ini terjangkit digital laziness (kemalasan digital). Tidak check dan recheck. Tanpa konfirmasi dan verifikasi. Malas bertabayun atau klarifikasi. Akibatnya, mereka tersesat sekaligus menyesatkan.
Digital laziness ini tidak boleh menjangkiti jurnalis profesional. Mereka justru harus tampil sebagai pencerah. Kemampuan check, recheck, dan research adalah keterampilan wajib. Konfirmasi dan verifikasi ini merupakan keharusan. Apalagi, mereka bekerja secara konvergen untuk beragam platform. Menulis, memfoto, memvideo, mengelola media sosial, dan sebagainya (multitasking). Semua perlu bekal kompetensi pengetahuan, keterampilan/keterampilan, dan sikap.
Seorang jurnalis mengetahui filosofi jurnalisme. Profesi jurnalis bukanlah pekerjaan yang semata-mata soal mencari nafkah secara pragmatis. Ada tugas, kewajiban, serta panggilan nurani nan luhur. Ada teladan sejarah perjuangan yang kuat di berbagai sendi kehidupan.
Seorang jurnalis menguasai keterampilan dasar jurnalistik. Memiliki kemampuan mendeteksi, menangkap, mencari, memverifikasi, mengonfirmasi, dan menyajikan berita dengan seni retorika. Sejalan dengan semangat prinsip 10 elemen jurnalisme Kovach-Rosentiel. Mampu memanfaatkan teknologi dalam menjalankan tugasnya.
Seorang jurnalis patuh pada aturan undang-undang, kode etik, dan pedoman pemberitaan. Bersikap independen, setia pada akal sehat dan hati nurani. Berperan memajukan daerah, bangsa, dan negara, serta meningkatkan kehidupan sesama. Memiliki kemauan untuk terus belajar serta memahami kebutuhan khalayak.
Dari medsos kita tahu, dari informasi kita mengerti, dan dari berita kita percaya. (*)
*) Oleh: Fathur Roziq, Jurnalis Senior Ketik.co.id
**) Isi tulisan di atas menjadi tanggung jawab penulis
***) Ketentuan pengiriman naskah opini:
Naskah dikirim ke alamat email redaksi@ketik.co.id. Berikan keterangan OPINI di kolom subjek
Panjang naskah maksimal 800 kata
Sertakan identitas diri, foto, dan nomor HP
Hak muat redaksi