Hari Ibu pada 22 Desember merupakan salah satu tanggal di bulan Desember yang dianggap sakral selain perayaan natal. Pada tanggal ini serentak layar gawai akan ramai dengan berbagai postingan ucapan selamat hari ibu.
Hari ibu merupakan ajang istimewa bagi para ibu di seluruh Indonesia untuk mendapatkan apresiasi atas proses pengasuhan.
Tentu saja, apresiasi ini berlaku untuk semua kalangan ibu tanpa memandang status sosial, profesi, maupun jenjang pendidikan. Setiap ibu berhak mendapatkan apresiasi yang sama. Salah satunya adalah ibu dengan anak inklusi.
Ibu dengan anak inklusi nyatanya memiliki berbagai tantangan yang harus dihadapi baik internal maupun eksternal. Tantangan internal dari diri sendiri terkait dengan perasaan mampu atau tidaknya merawat dan mengasuh anak berkebutuhan khusus, kemudian terkait dengan penerimaan ketika anak didiagnosis berkebutuhan khusus oleh profesional, ini juga membutuhkan waktu yang cukup lama dalam penerimaan.
Belum lagi pasangan yang kurang mendukung baik dari aspek materi dan nonmateri. Sedangkan, tantangan eksternal berasal dari anak dan lingkungan yang melingkupinya.
Tantangan dari anak adalah mengenai pengasuhan yang tepat, jenis makanan yang dikonsumsi, cara berkomunikasi yang sesuai, pendidikan yang tepat pada saat sekarang ataupun di masa yang akan datang, pekerjaan yang sesuai bagi anak saat dewasa nanti.
Tantangan eksternal lainnya adalah dari keluarga, termasuk relasi dengan pasangan, mengomunikasikan kondisi anak kepada keluarga besar, belum lagi stigma yang didapat dari keluarga besar mengenai kondisi anak.
Tantangan juga datang dari sekolah, seperti, memilih sekolah yang sesuai bagi anak, metode belajar yang sesuai, biaya pendidikan atau terapi yang relatif mahal, penerimaan dari guru, penerimaan dari sesama siswa, atau stigma dari orang tua siswa lain mengenai kondisi anak.
Sedangkan, tantangan dari masyarakat adalah adanya stigma atau diskriminasi terhadap anak, bahwa kondisi anak tersebut akan menular, anak inklusi merupakan anak bodoh, memiliki anak berkebutuhan khusus merupakan sebuah karma atas dosa-dosa dari orang tua, atau memiliki anak berkebutuhan khusus merupakan suatu aib.
Pada awalnya, tantangan-tantangan yang dihadapi oleh ibu yang memiliki anak inklusi menimbulkan emosi negatif dan stres. Namun, tantangan dan kesulitan tersebut harus dihadapi.
Segala upaya dilakukan oleh ibu yang memiliki anak inklusi, seperti, mengumpulkan informasi mengenai kondisi dan penanganan yang tepat, berdoa, mengikuti pelatihan-pelatihan atau sharing session mengenai self-healing bagi orang tua, dan tergabung dalam suatu perkumpulan dengan orang tua yang memiliki kondisi anak yang sama.
Upaya-upaya yang dilakukan serta tantangan yang dihadapi itulah menjadikan sosok ibu yang memiliki anak inklusi tampil sebagai orang yang tangguh. Kondisi seperti ini disebut sebagai resiliensi.
Resiliensi menggambarkan bagaimana sosok ibu dengan anak inklusi memiliki kemampuan menghadapi kesulitan, tantangan, ancaman, atau peristiwa traumatis.
Mereka memilih bangkit dari kesulitan dan memulihkannya dengan kekuatan serta semangat. Resiliensi ibu dengan anak inklusi bersifat dinamis, dan merupakan suatu proses panjang yang juga terkait bagaimana ibu dengan anak inklusi menarik pemaknaan hingga penerimaan (acceptance).
Terdapat fase-fase yang berbeda, di mana ada saatnya ketika ibu rentan merasa sedih, kecewa, marah, dan tidak terima. Lalu dalam perjalanannya para ibu tersebut tersebut berproses dan mengalami perubahan dalam pemaknaan mereka terhadap kondisi anak-anak inklusi mereka.
Tindakan inilah yang membuktikan bahwa kelas seorang ibu tidak diukur dari tampilan luar semata, melainkan cara seorang ibu merespons setiap kondisi anaknya dengan ketenangan dan kecerdasan.
Lantas apakah bisa dikatakan bahwa resiliensi merupakan cerminan elegansi seorang ibu dengan anak inklusi? Tentu saja.
Coba tengok sebentar instagram para ibu keren yang memiliki anak inklusi seperti akun @mawarf6, seorang ibu dengan dua anak dan suami ADHD yang memilih untuk menulis buku tentang inklusi serta menjadi motivator di berbagai seminar parenting sebagai bentuk tahap resiliensi yang telah dia lampaui.
Ada juga ibu tangguh @fikifransischadewi yang memilih berkreasi mengolah serta memproduksi makanan ramah anak inklusi dengan harga terjangkau sebagai bentuk kepeduliannya kepada sesama ibu dengan anak inklusi.
Usaha ini mencerminkan bagaimana sosok ibu inklusi nyatanya juga mampu berdaya dan berdampak bagi sesama sebagai bentuk resiliensi.
Lalu, sosok psikolog terkenal @verauli.id yang memberikan banyak support system kepada sesama ibu dengan anak inklusi melalui postingan di lama instagram. Ibu @verauli.id adalah ibu yang telah melampaui resiliensi melalui bidang kelimuannya.
Inilah sisi elegansi para ibu dengan anak inklusi. Elegansi yang mereka tampilkan bukan semata kepaduan busana yang menarik secara kasat mata. Para ibu dengan anak inklusi mampu memadukan kelembutan sebagai sifat naluri ibu dengan ketangguhan. Elegansi yang terbukti dari ibu dengan anak inklusi, yaitu sikap cerdas dalam menghadapi dan merespons setiap situasi kehidupan. (*)
*) Dwi Angga Septianingrum adalah pegiat pendidikan inklusi sekaligus ibu dari seorang anak istimewa berkebutuhan khusus di Kabupaten Bondowoso.
**) Isi tulisan di atas menjadi tanggung jawab penulis
***) Karikatur by Rihad Humala/Ketik.co.id
****) Ketentuan pengiriman naskah opini:
- Naskah dikirim ke alamat email redaksi@ketik.co.id.
- Berikan keterangan OPINI di kolom subjek
- Panjang naskah maksimal 800 kata
- Sertakan identitas diri, foto, dan nomor HP
- Hak muat redaksi.(*)