KETIK, JEMBER – Buntut dari peristiwa seorang warga Desa Jambesari, Kecamatan Sumberbaru, Kabupaten Jember yang melahirkan di tepi jalan desa menjadi sorotan Asosiasi Pemerintah Desa Seluruh Indonesia (Apdesi) Jember.
Pengurus Apdesi Jember mempersoalkan aksesibilitas pelayanan kesehatan di tingkat desa. Hal itu disampaikan oleh mereka saat mendatangi Dinas Kesehatan (Dinkes) Jember pada Kamis (21/12/2023) siang.
Ketua Dewan Pengurus Cabang Apdesi Jember, Kamiludin mengatakan ada yang salah sampai-sampai seorang ibu brojol di tepi jalan tanpa bantuan medis.
“Menurut kami karena lemahnya aksesibilitas ambulan desa, kemudian tidak aktifnya ponkesdes (pondok kesehatan desa) atau pustu (puskesmas pembantu), sehingga membuat warga yang tidak mampu ini harus melahirkan ke puskesmas sedangkan jaraknya jauh,” urainya.
Perempuan yang dimaksud bernama Holila (37), ia sempat diantarkan suaminya ke puskesmas menggunakan motor bebek. Namun di tengah perjalanan, anak yang dikandungnya lahir karena pembukaan yang begitu cepat ketika kehamilan keenam.
Kamiludin juga menyinggung angka stunting di Kabupaten Jember paling tinggi di Jawa Timur. Dimana kejadian tersebut berbanding terbalik dengan semangat memberantas stunting jika masalah kehamilan dan persalinan tidak dilayani dengan baik.
Sebab itu, Apdesi Jember mendatangi Dinkes untuk mencari solusi konkrit menyelesaikan permasalahan terutama bidang kesehatan. Mereka menuntut untuk mengaktifkan kembali pustu dan ponkesdes di 266 desa, dengan ketersediaan anggaran dan sdm yang aktif.
Kedua, meminta Dinkes untuk tidak terlalu birokratis kaitannya dengan penggunaan ambulan dan sopirnya.
“Karena banyak keluhan untuk menggunakan ambulan terlalu birokratis sedangkan banyak kebutuhan di warga pedesaan. Ketiga meminta Kepala Dinkes untuk selalu koordinasi dan komunikasi dengan kepala desa,” urai Kepala Desa Sidomulyo, Kecamatan Silo itu.
Sementara, Kepala Dinkes Jember dr. Hendro Soelistijono mengaku menerima kritik dan saran yang dilayangkan Apdesi saat pertemuan. Menurutnya, kritik tersebut bersifat konstruktif dan membangun.
Menanggapi tuntutan Apdesi, dirinya menjelaskan bahwa pada awalnya pustu dibentuk sebagai representasi puskesmas untuk membawahi 3-4 desa yang aksesnya jauh dengan puskesmas.
“Tapi seiring dengan perkembangan jaman sekarang, sdm sudah dipenuhi dan tiap desa ada perawat dan bidan yang akhirnya kunjungannya semakin menurun, itu efektivitasnya kita pandang kurang,” papar Hendro.
Dinkes kemudian menonaktifkan pustu yang tingkat kunjungannya rendah karena merugikan dari segi pembiayaan dan petugas kesehatan sudah turun langsung di desa masing-masing. Tapi masih ada beberapa pustu yang dibutuhkan dan tetap beroperasi.
“Lalu ambulan desa itu diperuntukkan bagi orang yang tidak mampu, ketika seseorang diminta dirujuk ke RS swasta logikanya dia orang mampu yang seharusnya akses mudah,” imbuhnya.
Sehingga adanya birokrasi ini untuk menyeleksi kegawat daruratan serta kebutuhan masyarakat agar tepat sasaran, karena pembiayaan dibebankan kepada APBD.
Kendati demikian, ia kami akan menerima saran dan kritikan apapun. “Kami harus berintropeksi diri, segera berbenah, dan melakukan investigasi perbaikan pelayanan kedepan,” tegas mantan Direktur RSD dr Soebandi itu.
Atas insiden ibu melahirkan di tepi jalan, Hendro juga menyampaikan bahwa sebetulnya kehamilan warga tersebut luput dari pengawasan petugas kesehatan.
“Orang itu memang sengaja menutup diri, kita cek langsung kepada suaminya mengakui bahwa selama kehamilannya tidak mau periksa dan menyembunyikan kehamilannya bahkan kader disana pun tidak mengetahui kalau ibu ini hamil. Jadi saat waktunya bersalin dan terlanjur malu akhirnya mau berobat ke puskesmas, tapi kurang beruntung bersalin di tengah jalan,” tutupnya.(*)