KETIK, PROBOLINGGO – Petani bawang merah di Kabupaten Probolinggo mengalami kerugian hingga ratusan juta rupiah akibat curah hujan tinggi yang menyebabkan tanah lembap. Kondisi ini memicu munculnya penyakit jamur, seperti moler, layu fusarium, daun kuning, dan busuk batang.
Sapa'i, petani bawang merah dari Desa Seboro, Kecamatan Krejengan, kepada ketik.co.id menyatakan bahwa telah berusaha melakukan perawatan intensif dengan penyemprotan pestisida. Namun, upaya pengendalian tersebut tidak membuahkan hasil.
"Tetap saja rusak tanamannya. Padahal, modal yang diperlukan untuk tiap luasan 1.000 meter, kira kira Rp10 juta sampai Rp13 juta, dengan bibit sekitar 1 kuintal," katanya Minggu, 30 Maret 2025.
Agar tetap bisa panen, maka petani menyiasati panen bawang di luar umur panen atau panen prematur, dengan catatan sudah berumbi meski masih berusia sekitar 47 hari setelah tanam (HST). Padahal, usia bawang merah yang siap panen idealnya di atas 55 HST.
"Saya dan juragan saya, sekali tanam 2,3 ton bibit bawang, ini hanya seperempat lahan saja yang panen cepat, sisanya gagal panen karena penyakit. Kerugiannya sudah lebih dari Rp150 juta dan mayoritas petani di sini dan desa sekitar rugi semua," ungkapnya.
Hal senada juga diungkapkan Indra, petani asal Desa Sumber Kerang Kecamatan Gending.
"Dari sepuluh petani, yang tidak merugi paling hanya dua sampai tiga petani saja. Mayoritas merugi, karena tanaman kena penyakit akibat tanah terlalu lembab. Ya kalau rugi, ada yang rugi belasan juta sampai di atas Rp200 juta," katanya.
Padahal saat ini, harga bawang merah di pasar cukup tinggi di kisaran Rp16.000 sampai Rp38.000 per kilogram.
Demikian diungkapkan salah satu pedagang di Pasar Bawang Dringu, Kabupaten Probolinggo, Usman.
"Kalau harga saat ini lumayan tinggi. Tapi, pasokan bawang dari petani memang berkurang. Setahu saya, memang banyak bawang petani yang rusak. Ya hukum pasar, kalau suplai sedikit dan permintaan tinggi, pasti harga ikutan naik," ujarnya. (*)