KETIK, SURABAYA – Hari ini, Jumat, 2 Mei 2025, kembali diperingati oleh seluruh Indonesia sebagai Hari Pendidikan Nasional.
Hari Pendidikan Nasional (Hardiknas) diperingati untuk menghormati jasa Ki Hajar Dewantara, seorang tokoh pelopor pendidikan yang juga dikenal sebagai Bapak Pendidikan Nasional.
Tanggal 2 Mei dipilih karena bertepatan dengan hari lahir beliau, yaitu 2 Mei 1889 di Yogyakarta. Dedikasi Ki Hajar Dewantara di dunia pendidikan tidak perlu diragukan lagi. Selama masa kolonial Belanda, beliau paling keras melakukan perlawanan.
Salah satu perlawanan yang berhasil ia wujudkan adalah mendirikan Taman Siswa pada 3 Juli 1922, sebagai lembaga pendidikan yang terbuka bagi seluruh rakyat Indonesia tanpa memandang status sosial.
Usaha keras Ki Hajar Dewantara untuk memajukan pendidikan sangat berarti bagi seluruh rakyat Indonesia. Kini sudah 136 tahun selepas meninggalnya beliau, sudah banyak perubahan sistem pendidikan, terutama di Indonesia.
Berbagai terobosan terus berkembang di dunia pendidikan, seperti sekarang di 2025. Menteri Pendidikan Dasar dan Menengah (Mendikdasmen), Abdul Mu'ti baru saja mengganti nama Penerimaan Peserta Didik Baru (PPDB) menjadi Sistem Penerimaan Murid Baru (SPMB) mulai 2025.
Perubahan nama ini menurut Abdul Mu'ti untuk memberikan layanan pendidikan terbaik bagi semua.
"Ada beberapa kelemahan dari sistem lama (PPDB) yang perlu kita perbaiki," katanya beberapa waktu lalu di Jakarta.
Perbedaan SPMB dan PPDB
Dalam Seleksi Penerimaan Murid Baru (SPMB) yang baru saja diperkenalkan oleh Mendikdasmen dibuka empat jalur, yaitu jalur domisili, jalur afirmasi, jalur mutasi dan jalur prestasi.
Sedangkan PPDB ada lima jalur, yaitu jalur zonasi, afirmasi, perpindahan tugas orang tua, dan jalur orang tua.
Walaupun sudah diganti, ternyata tidak membuat semua wali murid paham. Mereka justru merasa ada kesamaan dengan istilah sebelumnya.
Arwiningtyas Aprilianti, orang tua Latisha Azzahra Azalia, siswa SDN 2 Tropodo, Waru, Sidoarjo ini misalnya. Ia mengaku perubahan nama penerimaan siswa baru tidak banyak berdampak.
"Menurut aku sama saja dengan sistem zonasi. Karena tetap dilihat dari wilayah rumah yang terdekat dengan sekolah pilihan," katanya kepada Ketik.co.id.
Dengan adanya zonasi, menurutnya juga berdampak pada pilihan sekolah selanjutnya dalam hal ini Sekolah Menengah Pertama (SMP) yang akan dipilih anaknya.
"Pengaruhnya, kalau misalnya mau masuk ke sekolah negeri pilihan. Tapi terhalang jarak rumah, maka peluang untuk masuk di sekolah tujuan sangat kecil," jelasnya.
Salah satu SMAN di Sidoarjo yang akan melaksanakan SPMB 2025. (Foto: Fitra Herdian/Ketik.co.id)
Alih-alih memikirkan SPMB, wanita yang akrab disapa Tyas ini memilih untuk fokus memberikan jam tambahan pelajaran untuk anaknya. Hal ini dikarenakan anaknya sudah kelas 6 dan akan naik ke kelas 7 pada tahun 2026.
Anaknya, Latisha sendiri ingin masuk ke SMPN 2 Tropodo, Waru, Sidoarjo. Alasannya dekat dengan rumah. Namun tidak dengan alamat rumah.
Pilihan lokasi sekolah Latisha berasa di Kelurahan Tropodo, Kecamatan Waru, Sidoarjo. Sedangkan rumahnya berada di Kelurahan Kepuhkiriman, Waru, Sidoarjo.
Wali murid lainnya, Purnawati mengatakan sistem penerimaan murid baru masih sama seperti sebelumnya. Memakai sistem zonasi.
"Memang secara umum masih lebih baik sistem zonasi karena mengacu pada wilayah atau area lebih luas. Sedangkan sistem jarak ditentukan pada jarak fisik dalam kilometer," ungkapnya.
Menurutnya proses penerimaan siswa baru lebih baik meniadakan sistem jarak dan zonasi.
"Menurut saya kembali ke zaman saya sekolah dulu, hanya menggunakan nilai Unas atau menggunakan jalur prestasi saja untuk masuk ke sekolah negeri," kata Bu Pur, sapaannya.
Ia tahun depan, 2026 akan memasukkan anaknya ke jenjang Sekolah Menengah Kejuruan (SMKN) di Surabaya. Sekolah tujuan anaknya Fernando Abdillah berbeda kelurahan namun kecamatan sama.
"Anak saya SMPN 46 Surabaya inginnya masuk SMKN 2 Surabaya," jelasnya saat ditemui Ketik.co.id.
Sebagai informasi, SMPN 46 Surabaya terletak di Kelurahan Pakis, Kecamatan Sawahan. Sedangkan SMKN 2 terletak di Kelurahan Petemon, Kecamatan. Sawahan, Surabaya.
Dengan sistem Unas, maka dirinya tidak perlu pusing memikirkan jarak sekolah dengan rumahnya.
"Dengan penerimaan melalui seleksi nilai Unas, SMPN/SMKN lebih terjaga kualitas nilai siswanya. Sebagai apresiasi untuk siswa yang pintar dan berprestasi," pungkasnya.
Wali Murid Mendukung SPMB
Di lain sisi, dengan sistem SPMB 2025 jalur domisili, sekolah akan memperhatikan nilai raport dari siswa untuk mau masuk dalam sekolah yang dituju.
Pada jenjang SMA, kuota penerimaan untuk jalur domisili dari minimal 50 persen menjadi minimal 35 persen untuk SMA. Sedangkan 10 untuk kuota domisili SMK. Selain itu jalur afirmasi SMA 30 persen dan afirmasi SMK 15 persen. Untuk jalur mutasi maksimal 5 persen dan jalur prestasi hasil lomba 5 persen serta jalur prestasi nilai akademik SMA 25 persen.
Anik Hasanah, salah satu wali murid. (Foto: Khaesar/Ketik.co.id)
Dengan sistem tersebut, beberapa oran tua siswa malah senang. Ini lantaran siswa yang rumahnya jauh dari sekolah negeri bisa masuk. Salah satu wali murid tersebut adalah Anik Hasanah. Dia mengaku senang dengan jalur domisili lantaran kini sekolah memperhatikan nilai raport.
"Jadi yang rumahnya jaraknya jauh dari sekolah negeri bisa masuk dalam sekolah negeri yang dekat rumah," ucap Anik.
Dengan jalur domisili akan dilihat hasil nilai raport baru jarak rumah ke sekolah, wanita asal Sidoarjo ini menilai langkah tersebut bagus. "Jadi siswa akan layak untuk sekolah yang dituju karena nilai raport bagus," ungkap Anik.
Anik mengaku dengan jalur domisili membuat orang tua akan semakin tenang saat meninggalkan anak untuk bekerja. "Karena anak bisa pulang lebih dekat saja, meskipun tidak ada yang mengantar atau jemput," bebernya.
Wanita yang bekerja di Radio ini menilai dengan jalur domisili akan ada prosentase tertentu yang membuat penerimaan sistem ini lebih adil. "Apalagi kalau orang tua yang mengharapkan pendidikan bagus dengan biaya terjangkau di sekolah negeri," beber Anik.
Meskipun pendaftaran sekolah SMA akan dibuka mulai pertengahan Mei ini, Anik mengaku sistem domisili tidak memberatkan. "Justru semakin mempermudah orang tua dalam mencarikan sekolah bagi putra putri tercintanya," terang ibu tiga anak ini.
Dengan sistem baru dalam pendaftaran, Anik aktif melihat informasi pendaftaran siswa baru melalui media massa seperti koran, media sosial maupun grup orang tua wali murid. "Yang pasti dokumen dan syarat yang dibutuhkan," jelasnya. (*)