Kejari Sleman Jangan Tebang Pilih Tangani Perkara Dana Hibah Pariwisata

Jurnalis: Fajar Rianto
Editor: Muhammad Faizin

1 Februari 2024 06:28 1 Feb 2024 06:28

Thumbnail Kejari Sleman Jangan Tebang Pilih Tangani Perkara Dana Hibah Pariwisata Watermark Ketik
Kantor Kejaksaan Negeri Sleman. (Foto: Abdul Aziz / Ketik.co.id)

KETIK, YOGYAKARTA – Meski sudah setahun lebih berjalan, namun penanganan perkara dugaan tindak pidana korupsi dana hibah pariwisata Pemkab Sleman 2020 yang dilakukan oleh Kejari Sleman terkesan tidak ada perkembangan. Hal itu membuat sejumlah pihak mengkritik kinerja Korps Adhyaksa yang dianggap lamban.

Salah satu kritikan seperti yang dilakukan penggiat anti korupsi dari JCW, Baharuddin Kamba yang menggelar aksi tunggal, sepekan yang lalu.

Pengamat sekaligus praktisi hukum Susantio SH MH, Kamis (1/2/2024) angkat bicara.

"Sebetulnya alur perkara ini bisa dikatakan sederhana," ungkapnya mengawali perbincangan.

Ia mengingatkan, dana hibah pariwisata merupakan hibah dana tunai melalui mekanisme transfer ke daerah yang ditujukan kepada pemda serta usaha hotel dan restoran di 101 daerah kabupaten/kota di Indonesia. Termasuk Kabupaten Sleman sebagai salahsatu penerima manfaat.

"Dana hibah yang disalurkan ke tiap daerah, akan menjadi wewenang dari pemerintah daerah itu sendiri, mulai dari mekanisme pendaftaran hingga pengumuman. Namun dengan tetap memperhatikan aturan di atasnya," terangnya.

Adapun tujuan utama dana hibah pariwisata untuk membantu pemerintah daerah serta industri hotel dan restoran yang saat itu sedang mengalami gangguan finansial. Serta recovery penurunan pendapatan asli daerah (PAD) akibat pandemi Covid-19 dengan jangka waktu pelaksanaan hingga Desember 2020.
Dana hibah pariwisata merupakan bagian dari Program Pemulihan Ekonomi Nasional (PEN), dimaksudkan untuk menekan dampak Covid-19 dan upaya menjaga keberlangsungan ekonomi khususnya pada sektor pariwisata.

Menurut Susantio, kebijakan ini sebagai langkah tepat untuk menggerakan kembali atau revitalisasi industri pariwisata yang mati suri akibat pandemi Covid-19.
Dengan kata lain tujuan dana hibah tersebut sebetulnya untuk pemulihan ekonomi dampak pandemi Covid-19. Pasca Presiden RI Joko Widodo secara resmi menetapkan Covid-19 sebagai bencana nasional.

"Kita patut prihatin, dari seluruh penerima hibah  di Indonesia, hanya di Kabupaten Sleman, D I Yogyakarta yang terjadi masalah dan ditangani oleh Kejaksaan," sebutnya.

Ia sampaikan, dalam prosesnya Bupati Sleman saat itu Sri Purnomo mengeluarkan SK Bupati Sleman Nomor 84.10/Kep.KDH/A/2020. Dalam bab III Pagu Besaran Dana Hibah menyatakan:
B. Kelompok masyarakat
1. Desa Wisata yang ditetapkan dengan Keputusan Bupati paling banyak menerima Rp145.000.000,00 (seratus empat puluh lima juta rupiah) dan tidak melebihi usulan dalam proposal hibah.
2. Objek Wisata yang telah memiliki kunjungan yang terdata paling banyak menerima Rp145.000.000,00 (seratus empat puluh lima juta rupiah) dan tidak melebihi usulan dalam proposal hibah.
3. Desa Wisata Rintisan yang ditetapkan Kepala Dinas Pariwisata paling banyak menerima Rp100.000.000,00 (seratus juta rupiah) dan tidak melebihi usulan dalam proposal hibah, dan
4. Rintisan lokasi wisata atau kegiatan kepariwisataan paling banyak menerima Rp55.000.000,00 (lima puluh lima juta rupiah) dan tidak melebihi usulan dalam proposal hibah.

Ia menyebut, jika menilik data yang ada,  desa wisata yang terdaftar (teregister) saat itu di kabupaten Sleman hanya berkisar 53 buah. Namun dalam pelaksanannya dana hibah ini dibagikan kepada 244 kelompok masyarakat.
Nah, dari sini sebetulnya sudah terlihat penyimpangannya. Bahkan secara kasat mata bisa dihitung seberapa besar nominalnya.

"Ingat program ini dimaksudkan untuk revitalisasi  atau menggerakan kembali
industri pariwisata yang mati suri akibat pandemi Covid-19. Dengan kata lain bukan untuk merintis membuat usaha baru bidang pariwisata," tegasnya.

Sehingga kalau dihitung 244 dikurangi 53 maka terdapat 191 kelompok non register atau nol, karena belum berkegiatan apalagi ikut menyumbang PAD.
Mengingat dalam SK Bupati Sleman Nomor 84.10/Kep.KDH/A/2020 disebutkan kelompok masyarakat di sektor pariwisata masing-masing menerima @Rp 55 juta.
Selanjutnya 191 dikalikan Rp 55 juta = Rp 9.550.000.000.

"Angka ini merupakan hitungan minimal dan diluar atau belum termasuk adanya fee atau mark-up yang berkisar 10 %. Selain itu menurut kabar yang beredar sebanyak 191 proposal tersebut dikumpulkan di rumah dinas," ungkapnya.

Foto Pengamat sekaligus praktisi hukum Susantio SH MH. (Foto: Fajar Rianto / Ketik.co.id)Pengamat sekaligus praktisi hukum Susantio SH MH. (Foto: Fajar Rianto / Ketik.co.id)

Sementara dalam prosesnya,  menurut Susantio terindikasi adanya pihak lain yang terlibat di dalamnya. Tidak hanya yang berperan sebagai koordinator lapangan. Pasti ada otak intelektualnya yakni yang menyuruh melakukan dan itu sangat berperan terutama dalam perkara tindak pidana korupsi.

"Korlap bergerak di lapangan dan ke dinas. Mereka inilah yang mengkondisikan proposal, ikut sosialisasi, belanja gazebo, minta fee dan sebagainya," lanjutnya.

Selain itu informasi yang beredar juga menyebutkan. Sebelum korlap mendatangi dinas terkait, sudah ada telepon dari orang kuat dan berpengaruh (diantaranya oknum anggota Dewan) di Sleman yang menghubungi dinas. 

Perlu diketahui proses pencairan dana hibah ini bersamaan dengan Pilkada 2020. Mungkin sebagai upah politik dan sudah jadi rahasia umum. Korlap ini kemudian bekerja di Pemkab Sleman sebagai Pekerja Harian Lepas (PHL) dan posisi lainnya di sejumlah instansi. Di antaranya adalah An warga Mlati Tegal Karanggeneng Sendangadi, Mlati Sleman yang kemudian jadi PHL di Dinas Kominfo Sleman.
Kemudian ada Dk yang sempat terpantau jadi PHL di Disdik Sleman. Serta adanya sosok pengampu media yang mengaku menerima Rp 140 juta yang bersumber dari circle dana hibah pariwisata Sleman.

Menurut Susantio, dari informasi yang ia terima, pada saat diperiksa An mengaku sebagai kepanjangan tangan atau orang suruhan saja. Terkait hal tersebut eksponen 98 ini kembali mengingatkan, keberadaan SK Bupati seharusnya tidak merubah atau menyimpang dari aturan diatasnya

"Hukum harus tajam ke atas, bukan tajam ke bawah. Jangan sampai Kejari Sleman melakukan penegakan hukum hanya terhadap kelompok masyarakat penerima manfaat. Atau para pelaksana birokrasi Pemkab Sleman yang melaksanakan tugasnya," sebut Susantio.

Ia tambahkan, dana hibah pariwisata ini memang merupakan swakelola tipe IV. Menurut Perpres 16/2018 Pasal 18 ayat (6) huruf d artinya swakelola yang direncanakan oleh Kementerian/Lembaga/Perangkat Daerah penanggung jawab anggaran dan/atau berdasarkan usulan Kelompok Masyarakat, dan dilaksanakan serta diawasi oleh Kelompok Masyarakat pelaksana Swakelola.

Namun perlu digaris bawahi, bahwa ada pihak yang menggerakan bahkan menyuruh ratusan pokmas tadi untuk membuat proposal. Selanjutnya, saat di cek di lapangan pokmas ini mengaku tiba- tiba menerima barang berikut notanya, contohnya dalam bentuk Gazebo.
Untuk itu Susantio berpesan, Kejari Sleman jangan tebang pilih dan segera menetapkan tersangka.

"Jangan sampai menjadi fitnah bagi intitusi Kejaksaan khususnya Kejari Sleman. Jika ada keterlibatan oknum penegak hukum yang menghambat penanganan perkara tersebut. Maka harus segera ditindaklanjuti oleh Kejati DIY. Mengingat saat ini berkembang isu-isu miring ditengah masyarakat terkait penanganan perkara ini," pesannya.

Dengan begitu, ia yakin hukum dan keadilan bisa ditegakkan di DI Yogyakarta tanpa pandang bulu pangkat maupun kedudukan yang bersangkutan. (*)

Tombol Google News

Tags:

Dana hibah pariwisata Dinas Pariwisata Pemkab Sleman Kejari Sleman Kejati DIY Susantio