KETIK, MALANG – Fakultas Hukum (FH) Universitas Islam Malang (Unisma) menggelar seminar nasional bertajuk 'Reformasi KUHAP: Menyongsong Era Baru Peradilan Pidana yang Progresif dan Berkeadilan'. Seminar tersebut fokus mengkritisi reformasi RUU KUHAP, khususnya kewenangan penyelidikan dan penyidikan aparat penegak hukum (APH).
Perubahan RUU KUHAP akan berdampak pada keadilan dalam proses peradilan pidana nantinya jika berhasil disahkan. Dekan FH Unisma, Arfan Kaimuddin menjelaskan seminar dan pembicaraan terkait tumpang tindihnya kewenangan dalam RUU KUHAP berhasil mendapatkan respon dari Komisi 3 DPR RI. Tumpang tindih tersebut terkait batasan kewenangan antara polisi dan kejaksaan,
"DPR merespon dan akhirnya pasal-pasal yang tumpang tindih itu tidak ada lagi. Tapi nggak bisa berhenti sampai di situ, ada poin yang harus diperhatikan karena titik beratnya adalah perlindungan terhadap HAM," ujarnya, Kamis 24 April 2025.
Hasil seminar yang mengundang berbagai pakar tersebut akan disampaikan kepada DPR RI untuk terus mengawal isu tersebut. Terlebih banyak pasal yang masih harus disorot khususnya dalam penyelidikan dan penyidikan.
"Hasil dari seminar ini bisa dibuat secara tertulis untuk disampaikan kepada DPR RI. Beberapa poin yang jadi sorotan, seperti restorative justice dan juga teknik penangkapan kasus narkoba. Banyak yang masih perlu diperbaiki," lanjutnya.
Sholehuddin, dosen dari Universitas Bhayangkara menyoroti beberapa isu krusial dalam RUU KUHAP, mulai dari ambiguitas tahapan penyelidikan dan potensi penyalahgunaan restorative justice. Dalam proses peradilan pidana, dimulai dengan penyelidikan, penyidikan, penuntutan, hingga peradilan dan eksekusi.
Namun dalam konsep awal RUU KUHAP tahapan penyelidikan dihapus dan mendapat sorotan dari banyak pihak. Hingga akhirnya oleh Komisi 3 DPR RI, tahapan tersebut tetap dipertahankan.
Ia berargumen bahwa penyelidikan dalam praktiknya banyak menimbulkan masalah dan mengecewakan masyarakat karena tidak ada batasan waktu. Di satu sisi, penyelidikan merupakan serangkaian tindakan penyelidik untuk mencari dan menemukan peristiwa yang diduga sebagai tindak pidana guna menentukan bisa tidaknya dilanjutkan ke penyidikan.
"Hukum acara pidana itu proses peradilan pidana, langsung bersentuhan dengan perlindungan HAM. Tapi dalam praktik, penyelidikan bisa berminggu-minggu hinga bertahun-tahun. Maka konsep awal RUU KUHAP, penyidikan ditiadakan. Akhirnya sekarang diatur waktunya," jelasnya.
Ia juga menilai bahwa penerapan restorative justice pada tahap penyelidikan terlalu prematur dan dapat menabrak prinsip kepastian hukum. Terlebih tujuan utama RUU KUHAP ialah perlindungan terhadap HAM bagi setiap pihak yang terlibat dalam proses peradilan pidana.
"Ini harus benar-benar diperbaiki sebab kalau disahkan menjadi UU, akan banyak sekali gugatan yudisial review. Banyak akan melanggar hak-hak konstitusional warga negara. Dalam penyelidikan, jika gak bisa dilanjutkan, pelapor menjadi tak berdaya. Itu merugikan, tidak seperti proses penyidikan," tegasnya.