KETIK, JEMBER – Pembahasan Rancangan Undang-Undang (RUU) Penyiaran yang diinisiasi DPR RI menuai banyak kontroversi. Tidak hanya muncul penolakan di kalangan praktisi pers, akademisi juga ikut berkomentar dengan upaya-upaya pembungkaman pers dan pembatasan hak publik mendapatkan informasi yang berkualitas.
Salah satunya datang dari Dosen Ilmu Komunikasi Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (FISIP) Universitas Muhammadiyah Jember (Unmuh Jember), Suyono. Ia mengemukakan bahwa sudah waktunya anggota DPR RI melakukan reorientasi tugas pokok dan fungsinya sebagai anggota dewan.
Menurutnya, Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) merupakan representasi kedaulatan rakyat. Sepatutnya para legislator menjadi kepanjangan tangan rakyat dan menyuarakan kepentingan rakyat yang diwakilinya. Terutama saat anggota dewan, melaksanakan tugas dan fungsinya dalam hal legislasi.
"Tapi pada praktiknya, DPR RI selama ini lebih banyak menyuarakan kepentingan 'Pemerintah' untuk melindungi kekuasaan atau keberlangsungan penguasa dan kepentingan kelompok elit lainnya,” tutur Suyono.
Tercermin dari sikap dan tindakan legislator yang tampak selalu reaksioner menyikapi setiap perkembangan yang terjadi. Terutama perkembangan media yang bertransformasi dengan cepat seiring perkembangan teknologi informasi dan komunikasi dewasa ini.
Suyono menyebutkan, sikap anggota dewan seperti ini bertentangan dengan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 91/PUU-XVIII/2020. Disebutkan bahwa penyusunan sebuah regulasi baru harus melibatkan partisipasi publik.
Sementara, sejumlah pakar media, dan lembaga media, termasuk Dewan Pers, mengaku tidak pernah dilibatkan dalam proses pembahasan draf revisi RUU Penyiaran, baik dalam proses dengar pendapat, maupun proses pembahasan lainnya.
Tak heran kalau draf revisi RUU Penyiaran tidak merujuk UU No.40/1999 tentang Pers dan Kode Etik Wartawan Indonesia (KEWI) sebagai konsideran dalam pembahasan RUU Penyiaran tersebut.
“Wajar kalau draf revisi RUU Penyiaran yang tengah dibahas Badan Legislatif DPR RI sempat menimbulkan kontroversi. Karena ada beberapa pasal yang dinilai kalangan media berpotensi memberangus Kebebasan Pers, dan tentunya bertentangan dengan semangat yang tercermin dalam UUD 1945,” tegasnya.
Di antara pasal yang dianggap paling krusial adalah, Pasal 50 B Ayat (2) RUU Penyiaran yang dianggap bertentangan dengan semangat UU No.40 Tahun 1999, tentang Pers. Karena dalam pasal tersebut berisi larangan untuk menyiarkan konten eksklusif jurnalisme investigasi.
Ia menilai pasal tersebut tampaknya sebagai reaksi penguasa untuk membatasi aktivitas jurnalisme yang dikembangkan para jurnalis media, melalui siaran podcast dengan memanfaatkan media baru yaitu platform media sosial.
Beberapa media di Jakarta dan kota lainnya, mengembangkan jurnalisme investigasi sebagai bahan perbincangan dan diskusi publik melalui media sosial. Informasi dan data lengkapnya ditulis dan dipublikasikan melalui media massa, baik cetak maupun elektronik.
“Memang selama ini, di ranah hukum masih menjadi perdebatan, terkait definisi penyiaran. Siaran terprogram maupun siaran langsung, yang dipancarkan melalui media sosial, dianggap sebagai produk webcasting (internet/jaringan yang terhubung) dan bukan produk penyiaran (menggunakan sinyal),” beber pria itu.
Terlepas dari perdebatan bentuk medianya, yang jelas jurnalisme investigasi merupakan produk pers, yang harus dijamin kebebasannya.
Karenanya, Suyono yang Dosen Ilmu Komunikasi dan Praktisi Jurnalistik ini, berharap anggota Baleg DPR RI, segera mengundang Dewan Pers, Pakar Jurnalistik/Penyiaran, dan organisasi profesi wartawan, untuk melanjutkan pembahasan draf revisi RUU Penyiaran tersebut.
“Pelibatan media, diharapkan dapat meredam gejolak di kalangan awak media, sekaligus mengakhiri polemik terkait kontroversi RUU Penyiaran yang semakin tajam,” pungkasnya.(*)