KETIK, JOMBANG – Kata santri identik dengan seseorang atau sekelompok orang yang tinggal di pondok pesantren untuk mendalami ilmu agama
Umumnya, para santri menetap di pesantren dalam kurun waktu 3 hingga 6 tahun bahkan lebih untuk menjalani pendidikan formal sekaligus keagamaan secara intensif.
Namun di dunia pesantren, santri tidak hanya orang-orang yang bermukim di pondok.
Ada istilah santri kalong, yaitu mereka yang pulang ke rumah masing-masing setelah selesai ikut kegiatan.
Biasanya, tempat tinggal mereka tak jauh dari lingkungan pesantren, sehingga memungkinkan untuk pulang-pergi dari rumah ke pondok.
Seperti yang dialami Mesya Aulia Nurjami. Alumni Pondok Pesantren Darul Ulum Jombang ini selama 3 tahun menjadi santri kalong alias anak kampung.
Saat itu, dia duduk di bangku Sekolah Menengah Atas (SMA). Hampir setiap hari tepat pukul 06.00 WIB, Mesya, sapaan akrabnya, mengayuh sepeda ontel untuk bisa pergi ke sekolah.
"Aku dulu pulang-pergi, berangkat ke sekolah sendiri nggak ada teman naik sepeda ontel," katanya, Minggu, 20 Oktober 2024.
Jarak tempuhnya pun cukup dekat. Sekitar 15 menit perjalanan menggunakan sepeda ontel dari rumah Mesya yang terletak di Wonosari, Peterongan, Jombang.
Mesya sengaja berangkat lebih awal dari santri lainnya karena menghindari macet di lingkungan pesantren saat jam berangkat sekolah tiba.
"Kalau kesiangan pasti macet. Banyak kendaraan bermotor dan anak santri yang tinggal di asrama buru-buru berangkat sekolah, jalan kaki," jelasnya.
Mesya Aulia, alumni Pesantren Darul Ulum Jombang (Foto: dok. Mesya)
Selama 3 tahun Mesya menjalani rutinitas ini. Awalnya, perempuan yang sekarang berusia 25 tahun itu sempat kebingungan dengan kebiasaan para santri ketika bertemu kiai atau gus di jalan.
Ini karena sebelumnya Mesya belum pernah menempuh pendidikan di pesantren.
"Waktu berangkat atau pulang sekolah itu agak aneh, misal bertemu kiai atau gus harus menundukkan badan dan kepala. Itu agak sulit buat aku yang naik sepeda dan nggak tau kalau itu gus. Taunya pas melihat santri lain," ungkapnya.
Meski begitu, dia sangat bersyukur bisa sekolah di pesantren. Karena bisa ikut ngaji bersama para kiai dan bu nyai.
Seperti rutinitas setiap hari Selasa siang. Semua santri di sekolah Mesya berbondong-bondong pergi ke Masjid Induk untuk menghadiri pengajian rutin bersama para kiai sepuh.
"Aku senang banget waktu pengajian Kiai Cholil Dahlan Kitab Bidayatul Hidayah. Beliau selalu ada selawat sebelum dan sesudah ngaji. Suaranya bikin merinding dan menyentuh hati," ungkapnya.
Apa yang diajarkan para kiai di pesantren, sambungnya, menjadi pedoman hidup. Terutama pada hal-hal yang berkaitan dengan akhlak.
"Nasihat dari pengajian itu aku jadikan pegangan. Tawadu' ke orang tua, guru, ulama dan sabar menjalani kehidupan," ujar Mesya.
Dia juga senang bisa memiliki teman dari berbagai daerah. Di situ dia bisa mengenal lebih banyak orang. "Paling jauh itu dari Merauke," sebutnya.
Bukan hanya Mesya, Mutia Izzatun Nurul Imamah merasakan hal sama.
Perempuan asal Mojowarno Jombang ini sekitar 5 tahun lamanya pulang-pergi dari rumah ke sekolah.
"Jaraknya sekitar 12 menit ke Tebuireng naik motor," kata Alumni Pondok Pesantren Tebuireng itu, Minggu, 20 Oktober 2024.
Dekat rumah nenek, itulah alasan mengapa dia memilih menjadi anak kampung.
Selama sekolah di pesantren, dia mengatakan paling suka mengaji Kitab Dhou'ul Misbah fi Bayani Ahkami al-Nikah. bersama Ustaz Roziqi.Kitab ini membahas tentang hukum-hukum pernikahan.
"Aku suka sama cara beliau menjelaskan dan membaca kitabnya," terang Mutia.
Sekolah di pesantren, lanjutnya, enak karena lebih banyak pelajaran agama daripada sekolah di luar pesantren.
Selain itu, dia bisa punya lebih banyak teman dari berbagai daerah.
"Teman-temannya juga banyak dari luar Jombang. Dulu belum pernah ngerasain punya teman luar Jombang, cuma satu desa saja," kata perempuan 24 tahun itu.
Dia pun bersyukur pernah sekolah di pesantren. Ini menjadi bekal baginya ketika berada di dunia luar yang semakin keras. "Bisa jaga iman," ungkap Mutia.
Keduanya berpendapat, santri yang ikut mengaji di pesantren tetapi tidak menetap tetaplah santri. Terlebih mereka yang ikut mengaji dan mengamalkan ilmunya.
"Semoga santri-santri sekarang lebih dikenal lagi kebaikan, kecerdasan, kepintarannya yang positif. Sehingga tidak ada lagi stigma negatif tentang pesantren," harap Mutia. (*)