KETIK, PACITAN – Tuberkulosis (TBC) tak kenal ampun. Diam-diam, penyakit ini masih mengintai, menjadi momok bagi masyarakat Pacitan.
Meski sudah masuk dalam Program Strategis Nasional (PSN) Kementerian Kesehatan, kenyataan di lapangan berkata lain.
Data terbaru dari Dinas Kesehatan (Dinkes) Pacitan mencatat, dari 1.025 orang terduga, 88 di antaranya dinyatakan positif.
Ini alarm keras yang tak bisa diabaikan.
“Ini bukan sekadar batuk biasa. TBC adalah penyakit menular yang disebabkan oleh bakteri Mycobacterium tuberculosis. Kebanyakan menyerang paru-paru, tapi jangan salah — bakteri ini bisa menyusup ke otak, tulang, hingga ginjal. Kalau dibiarkan, dampaknya bisa fatal,” ujar Kabid Pencegahan dan Pengendalian Penyakit (P2P) Dinkes Pacitan, Nur Farida, Rabu, 12 Maret 2025.
Celakanya, gejala TBC sering menyamar seperti penyakit lain. Ini yang bikin banyak pasien terlambat sadar.
“Batuk dua minggu lebih, keringat dingin malam hari, berat badan turun drastis, badan gampang lelah — kalau mengalami ini, jangan anggap enteng. Segera periksa ke fasilitas kesehatan terdekat!” tegas Nur Farida.
Tapi, masalahnya bukan cuma di situ. Banyak pasien yang enggan atau bosan minum obat.
“Kalau pengobatan nggak tuntas, bakteri bisa ‘bangkit’ lagi dan lebih kebal. Ini yang bikin TBC makin sulit diberantas,” tambahnya.
Dinkes Pacitan tak tinggal diam. Berbagai strategi dilancarkan bak pasukan perang melawan musuh yang tak terlihat.
Salah satunya, investigasi kontak. Mereka melacak orang-orang yang pernah berinteraksi erat dengan pasien positif. Orang serumah dan kontak erat lainnya langsung diberikan terapi pencegahan.
“Tempat-tempat berisiko tinggi seperti rumah tahanan (rutan) dan pabrik rokok jadi sasaran skrining kami. Ini penting karena penyebaran di sana lebih gampang terjadi,” beber Nur Farida.
Tak berhenti di situ, Dinkes juga membentuk pasukan khusus — kader komunitas TBC.
Mereka bukan sekadar relawan biasa. Tugas mereka berat: berburu kasus baru, melacak pasien yang berhenti minum obat, hingga menggelar skrining langsung ke masyarakat.
Meski strategi sudah digeber, tantangan besar tetap menghadang. Nur Farida menyoroti tiga musuh utama: rendahnya kesadaran masyarakat, stigma sosial terhadap pasien TBC, dan ketidakpatuhan dalam pengobatan.
“Masih banyak yang takut dicap ‘orang berpenyakit’ kalau ketahuan kena TBC. Akhirnya, mereka diam-diam menahan sakit, padahal itu justru memperbesar risiko menularkan ke orang lain. Ini yang harus kita lawan bareng-bareng,” tekannya.
Nur Farida menutup pesannya dengan ajakan keras bagi masyarakat Pacitan.
“Jangan tunggu sampai parah. TBC bisa disembuhkan asal mau berobat rutin dan tuntas. Lawan stigma, lindungi diri dan keluarga. Kalau ada gejala, periksa segera. Lebih baik waspada sekarang daripada menyesal nanti," tutupnya. (*)