KETIK, SIDOARJO – Siapa yang tak kenal dengan Bungurasih? Sebuah desa yang berada di Kecamatan Waru Kabupaten Sidoarjo ini terkenal memiliki terminal bus terbesar di Jawa Timur sekaligus tersibuk di Asia Tenggara, Terminal Purabaya. Banyak orang menyebutnya Terminal Bungurasih.
Secara turun-temurun, banyak masyarakat sekitar percaya nama desa ini diambil dari seorang tokoh yang pertama kali tinggal di Bungurasih, yakni Mbah Bungur alias Ibrahim Jaelani.
Namun, siapa sangka Bungurasih ternyata desa kuno yang sudah eksis jauh sebelum kedatangan Mbah Bungur. Bahkan kalau dihitung dari tahun 2024, usianya kini menginjak 1.164 tahun.
Usia yang jauh lebih tua dari Kota Surabaya dan Majapahit (1293 M), lebih tua dari Kerajaan Airlangga dan lebih dulu ada sebelum MPU Sindok memindahkan pusat kerajaan Mataram Kuno dari Jawa Tengah ke Jawa Timur (929 M).
Itulah fakta sejarah yang disampaikan Eko Henri Nurcahyo, seorang budayawan, peneliti sejarah sekaligus penulis buku Bungurasih Desa Kuno, Kamis, 31 Oktober 2024.
Di acara Hari Jadi ke-1164 Tahun Desa Bungurasih, Henri membeberkan data terbaru yang menguak fakta sejarah Bungurasih. Berdasarkan data tersebut, desa ini memang sudah eksis jauh sebelum kedatangan Mbah Bungur.
Ini karena nama desa Bungur Lor tercatat dalam Prasasti Kancana atau Prasasti Gedangan di tahun 860 Masehi.
"Di dalam prasasti itu dituliskan bahwa Raja Mataram Kuno, Rakai Kayuwangi, memberikan hadiah kepada Desa Bungur Lor dan Desa Asana sebagai Desa Sima (perdikan), dengan tugas menjaga bangunan suci bernama kancana," ungkap Henri di hadapan ribuan warga Desa Bungurasih saat bedah buku.
Dalam prasasti itu, sebutnya, jelas tertulis tanggalnya. Diberikan oleh Raja Rakai Kayuwangi tanggal 31 Oktober tahun 860 Masehi. Dari data tersebut bisa menjadi bukti bahwa Desa Bungurasih sudah ada sejak tahun 860 Masehi.
"Makanya kemudian 31 Oktober oleh pemerintah desa ditetapkan sebagai Hari Jadi Bungurasih," sambung mantan wartawan ini.
Ada lagi yang menarik dari prasasti tersebut, kata Henri. Ketika prasasti itu diserahkan kepada Desa Bungur, ada sebuah acara yang dihadiri para sesepuh dari berbagai desa. Seperti Desa Gsang yang sekarang dikenal Pagesangan, Desa Ganting, Desa Rungkut Surabaya, Desa Masangan dan Jemundo.
"Jadi waktu itu para sesepuh desa kumpul di Bungur untuk menghadiri upacara penyerahan prasasti. Dari situ, kalau kita tetapkan Hari Jadi Bungurasih tanggal 31 Oktober, maka sebetulnya di tanggal yang sama, desa-desa yang diundang itu berhak merayakan hari jadi yang sama dengan hari ini. Umurnya sama," terang penulis yang sudah menerbitkan lebih dari 50 buku tersebut.
Selain itu, jika menelisik sejarah sosok Mbah Bungur, Dosen Luar Biasa Kajian Panji Universitas Adi Buana Surabaya ini menilai bahwa asal-usul desa ini bukanlah dari Mbah Bungur. Sebab dilihat dari usia, Desa Bungurasih jauh lebih tua dari Mbah Bungur.
"Maka dari itu saya berkesimpulan, asal usul desa ini bukan dari Mbah Bungur. Tapi justru Mbah Bungur itu disebut Bungur karena menetap di desa bernama Bungur," beber pria 65 tahun itu pada media nasional Ketik.co.id.
Ini juga dibuktikan karena Mbah Bungur diperkirakan hidup pada zaman Sunan Ampel, sekitar abad 15, menjelang Kerajaan Majapahit runtuh.
"Saya nggak main-main (menyusun buku tersebut). Sampai melacak sampai prasasti aslinya ini, Prasasti Kancana. Naskah aslinya seperti ini dari lempeng tembaga, namanya tamra prasasti," terangnya sembari menunjukkan bagian buku yang menampilkan potret prasasti berbahasa Sansekerta tersebut.
Saat menyusun buku tersebut, pendiri Majalah Kembang dan Koran Metro ini melibatkan beberapa ahli. Mulai dari ahli Epigrafi, Goenawan Sambodo, Dwi Cahyono seorang Arkeolog asal Malang, Filolog dari Universitas Indonesia, dan lain-lain.
Sementara itu, setelah mendengar fakta sejarah ini anggota Karang Taruna RT.04 Desa Bungurasih, M Solichan mengaku sempat kaget.
Pasalnya, sedari kecil dirinya hanya mengetahui cikal bakal Desa Bungurasih memang berasal dari Mbah Bungur.
"Belum ada penelusuran sejarah. Yang kami tahu cuma makam Mbah Bongoh sama Mbah Bungur, itu saja. Kami nggak tahu Bungur itu dari mana, sejarahnya, namanya dari mana," kata pria 31 tahun ini.
Mengetahui itu, dia mengatakan ke depan akan ada inisiasi untuk mempelajari lebih lanjut tentang sejarah Bungurasih. "Sepertinya akan ada inisiasi untuk mempelajari sejarah Bungurasih. Kan bukunya baru diterbitkan, kami juga baru tau kalau ada prasasti ditemukan," pungkasnya. (*)