KETIK, SIDOARJO – Kabar tentang sambatan pimpinan organisasi perangkat daerah (OPD) di Pemkab Sidoarjo mendapatkan respons dari Ketua DPRD Sidoarjo Abdillah Nasih. Ini penjelasan dari legislator Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) tersebut.
Ada keluhan kepala dinas, badan, dan OPD lain tentang kewajiban menyediakan kegiatan narsum DPRD Sidoarjo?
Nggak (begitu) juga ya. Itu kan bukan menyediakan. Secara alamiah kayak kemarin aja. Artinya, bahwa teman-teman DPRD itu punya kewajiban juga. Ikut menyosialisasikan beberapa aturan. Kebijakan. Termasuk mengungkit beberapa PR-PR yang selama ini sudah kita diskusikan di hearing dengan OPD.
Nah, dengan kita menjadi narasumber ataupun ketemu dengan konstituen di masyarakat, kita sekaligus mengetahui seberapa jauh persoalan-persoalan yang ada. Saya pikir tidak ada dalam artian istilahnya harus, wajib, tidak ada. Alamiah saja.
Mengapa ada keluhan anggaran narsum DPRD di OPD naik dua sampai tiga kali lipat?
Mungkin bukan naik ya. Kita proporsional. Kan kita njagani. Jangan sampai hak semacam itu kemudian njomplang hanya karena misalkan like and dislike. Atau sesama anggota tidak sama.
Kemudian ada yang, misalnya OPD dengan mitranya, komisi, berbeda. Mungkin hanya sebatas itu saja mungkin. Sehingga, kesannya dobel atapun nambah. Tidak. Sebenarnya asas pemerataan saja.
Tentang honor narsum yang 1 sampai 3 jam untuk sekali kegiatan?
Tidak ada 3 jam. Sekarang maksimal 1 sampai 2 jam saja.
OPD keberatan jika harus mengadakan kegiatan untuk narsum setiap hari, bagaimana?
Tidak ada setiap hari. Sampai hari ini tidak ada. Fleksibel. Alamiah. Artinya kalau itu kegiatan membutuhkan sosialisasi atau semacam narasumber atau apa. Kalau ndak ya ndak lah. Tidak ada kalimat wajib.
Anggaran melekat di masing-masing OPD. Kegiatan OPD. Kegiatan A kalau perlu ada narsum ya ada. Kalau tidak ada ya tidak. Kalau dinas tidak menghadirkan ya tidak apa-apa.
Benarkah anggaran narsum setiap komisi Rp 200 juta dan Rp 200 juta juga untuk pimpinan DPRD Sidoarjo?
Tidak ada. Itu hanya mungkin pengaturan tadi itu. Sifatnya proporsional saja. Biar semua anggota komisi tidak njomplang dan rata.
”Koen gak nurut, gak ngene, gak tak kek i. Bahasanya kan gitu ya. (Tidak ada kata-kata kalau tidak menurut pimpinan tidak diberi jatah narsum, red).
Yang tahu soal itu ya komisi-komisi. Saya tidak ingin tidak sesuai dengan mitranya. Semaksimal mungkin disesuaikan dengan mitranya.
Seberapa efektif peran anggota DPRD menjadi narsum di OPD?
Kita jangan melihat OPD-nya, tapi konstituennya. Dari situ banyak sekali masukan-masukan yang kita berikan kepada OPD. Contoh, audies-nya kader kesehatan. Selama ini bagaimana keluhan mereka yang hanya dapat Rp 25 ribu menjadi Rp 50 ribu kemudian Rp 100 ribu.
Misalnya Liponsos. Bagaimana jerit tangis dan sedihnya liponsos. Selama ini kita tahunya hanya laporan OPD, gitu kan. Kalau kita ketemu langsung banyak masukan yang didapatkan.
Pimpinan OPD khawatir anggaran narsum tidak terserap dan mereka disalahkan?
Nah, itu nanti perlu ada fungsi kontrol di internal dewan sendiri. Misalnya, setiap cawu 1 atau cawu 2, bagaimana serapannya. Termasuk pengawasan dari media, Sampeyan-Sampeyan semua ini.
Ada juga keluhan bahwa saat anggota DPRD menjadi narsum di OPD tanpa kesiapan materi presentasi?
Itu yang kita push kepada teman-teman. Kalau mereka tidak punya materi, minimal mereka punya note. Saya yakin pasti ada di masing-masing komisi.
Saya kembalikan ke komisi itu agar setiap anggota ini koordinasi dengan pendamping dan komisi. Bahan apa atau materi apa yang akan disampaikan ketika ketemu konstituen. Karena mereka ketemu internal (komisi) sendiri. Yang jelas ada lah. Tapi, kalau ada satu atau dua anggota ya itu nanti akan kita push lagi. (*)