KETIK, SURABAYA – Komisi D DPRD Surabaya berencana memanggil Pemerintah Kota (Pemkot) Surabaya untuk mendalami soal pembongkaran bangunan cagar budaya di kawasan Jalan Raya Darmo.
Wakil Ketua Komisi D DPRD Surabaya,
Lutfiyah menjelaskan, kali ini Komisi D DPRD Surabaya langsung melakukan sidak pada gedung cagar budaya yang sudah rata dengan tanah.
Lutfiyah menyebut nantinya Komisi D akan menggali lebih dalam soal latar belakang dibongkarnya bangunan cagar budaya tersebut.
“Sebelum kami memanggil beberapa pihak terkait, kami ingin mengetahui langsung kondisinya di lokasi, namun sayangnya tidak ada satupun yang menerima kedatangan rombongan kami disana, termasuk ownernya,” terang politisi Gerindra ini di Ruang Komisi D DPRD Surabaya pada Selasa, 3 Juni 2025.
Lutfiyah juga menambahkan saat sidak tadi berharap bertemu dengan pemilik bangunan tersebut, yang bisa memberikan keterangan sekaligus penjelasan soal pembongkaran bangunan yang telah berstatus cagar budaya tersebut.
Ia menjelakaan soal pembongkaran gedung yang berstatus cagar budaya di Surabaya diatur secara ketat dalam peraturan daerah guna menjaga kelestarian warisan budaya.
Ditambahkan juga oleh anggota Komisi D DPRD Surabaya, Dr Michael Leksodimulyo meminta Pemkot Surabaya untuk bertindak tegas dalam menegakkan aturan terkait keberadaan bangunan cagar budaya.
Michael menyebut perobohan cagar budaya ini adalah sebuah gambaran nyata dari kegagalan perlindungan cagar budaya yang seharusnya menjadi tanggung jawab pemerintah.
“Hancur lebur, tempat cagar budaya yang harusnya dilindungi, sekarang hancur lebur. Kami mempertanyakan, apakah pembongkaran ini sudah mengantongi izin dari Pemkot? Kalau belum, ini sangat fatal,” ujarnya.
Di sisi lain, dr. Michael menyoroti belum adanya mekanisme kompensasi yang jelas bagi pemilik bangunan cagar budaya.
Ia mengusulkan agar Pemkot Surabaya meniru sistem di negara-negara lain, di mana bangunan bersejarah dibeli oleh pemerintah atau diberikan insentif tertentu agar tetap terjaga.
“Jangan sampai pemilik bangunan dirugikan karena rumahnya tiba-tiba dicap sebagai cagar budaya, lalu tidak bisa dijual, tidak bisa dimanfaatkan, tanpa ada solusi. Harus ada pendekatan dua arah, bukan pemaksaan,” pungkasnya.(*)