KETIK, SURABAYA – Komisi E DPRD Jatim menegaskan pentingnya penyelenggaraan Raperda Pelindungan Perempuan dan Anak (PPA), disusun dengan pendekatan komprehensif dan responsif terhadap tantangan kekinian, termasuk kekerasan digital, ketimpangan perlindungan hukum, dan kebutuhan regulasi secara terpadu.
Itu disampaikan juru bicara Komisi E, Hari Yulianto, di Rapat Paripurna DPRD Jatim yang membahas jawaban pengusul atas pandangan fraksi-fraksi, Senin, 2 Juni 2025.
Hari menyampaikan, Raperda PPA secara eksplisit melibatkan unsur pemerintah maupun nonpemerintah seperti lembaga pendidikan, media, organisasi kemasyarakatan, komunitas lokal, dan sektor swasta.
“Keterlibatan pihak lain unsur non-pemerintah tersebut dilakukan dalam pelaksanaan pemenuhan hak perempuan dan anak, pencegahan pelanggaran hak perempuan dan anak, serta penanganan terhadap perempuan dan anak korban kekerasan, eksploitasi, diskriminasi, dan perlakuan salah lainnya,” ujar Hari.
Terkait perlindungan di ruang digital, Raperda telah menyesuaikan dengan PP Nomor 17 Tahun 2025 tentang tata kelola sistem elektronik untuk pelindungan anak.
“Raperda ini juga mengatur mengenai kebijakan pelindungan perempuan dan anak di ruang digital, baik untuk pemenuhan hak perempuan dan anak maupun dalam pelaksanaan pencegahan pelanggaran hak perempuan dan anak,” terangnya.
Upaya pelindungan harus tercipta mulai dari lingkungan rumah tangga, tempat belajar mengajar, lingkungan tempat kerja, fasilitas umum, dan lingkungan masyarakat, dalam bentuk pemenuhan hak atas informasi yang layak dan ruang digital yang aman bagi anak.
Juga penggunaan ruang digital yang aman bagi perempuan dan anak, menyangkut pendidikan literasi digital dan pengawasan terhadap sistem elektronik yang dikelola Pemprov Jatim guna menjamin penggunaan ruang digital yang ramah dan aman bagi perempuan dan anak.
Komisi E juga menjelaskan alasan penggabungan dua perda lama yakni, Perda No. 16 Tahun 2012 dan Perda No. 2 Tahun 2014, karena keduanya sudah tidak relevan secara yuridis dan belum mengatur pelindungan secara terintegrasi dari hulu ke hilir.
"Evaluasi telah dilakukan melalui rapat kerja dan kunjungan lapangan, serta dilakukan telaah bersama OPD teknis," ujarnya.
Komisi E juga melakukan evaluasi dalam kegiatan rapat kerja serta kunjungan lapangan dengan OPD terkait khususnya DP3AK. Evaluasi terhadap kebutuhan hukum yang harus diatur di Perda Omnibus tentang Penyelenggaraan Pelindungan Perempuan dan Anak.
Dia dijelaskan, dalam perkembangan peraturan perundangan, terdapat banyak norma hukum dalam 2 Perda tersebut yang sudah kehilangan validitas yuridis. Untuk itu tugas dan fungsi UPTD Pelindungan Perempuan dan Anak akan diperluas sesuai amanat Perpres No. 55 Tahun 2024, termasuk pelayanan terpadu bagi korban kekerasan, diskriminasi, dan masalah sosial lainnya.
Soal anggaran, Komisi E mencatat adanya penurunan alokasi APBD dari Rp36 miliar (2024) menjadi Rp32 miliar (2025), di tengah tingginya kasus kekerasan, perkawinan anak, dan pelanggaran hak perempuan.
Penanganan terhadap perempuan dan anak korban kekerasan, eksploitasi, diskriminasi, dan perlakuan salah lainnya juga diatur dalam Raperda yang secara teknis dilaksanakan oleh UPTD PPA. Dengan melibatkan perangkat daerah terkait, lembaga penegak hukum, serta stakeholders lainnya dari unsur non-pemerintahan.
Menjawab kekhawatiran potensi multitafsir pada kesetaraan dalam keluarga dan pencegahan perkawinan anak, Hari menegaskan Raperda hanya mengatur pencegahan, bukan wewenang hukum atau agama.
"Koordinasi akan dilakukan dengan Kementerian Agama dan lembaga peradilan. Penanggulangan perkawinan anak pada pada dasarnya merupakan kewenangan Kementerian Agama dan untuk pemberian dispensasi kawin menjadi kewenangan pengadilan agama atau pengadilan negeri," lanjutnya.
"Raperda hanya mengatur mengenai pencegahan perkawinan anak melalui upaya pemenuhan hak anak, khususnya hak atas pendidikan serta melakukan koordinasi pencegahan perkawinan anak dengan Kementerian Agama dan Pengadilan Agama dan Pengadilan Negeri,” terang Hari.(*)