KETIK, PALEMBANG – “Kamu dapat berapa?” Kata-kata itu sudah menjadi ucapan normal di kalangan masyarakat menjelang hari pemilihan tiba. Biasanya, orang-orang akan saling bertanya satu sama lain dan menentukan pilihan berdasarkan siapa yang mampu ‘memberi’ lebih banyak.
Serangan fajar, itulah namanya. Istilah ini berkembang karena pihak-pihak yang berpolitik ‘menyerang’ masyarakat saat fajar tiba. Mereka mengetuk pintu dan menyodorkan amplop berisi lembaran-lembaran uang sembari menyebutkan nama yang harus dipilih dalam Pemilu yang tengah berlangsung.
Fenomena ini menjadi topik diskusi yang digelar oleh Relung Forum bersama Forum Jurnalis Parlemen (FJP) bertajuk "Strategi Pamungkas Memenangkan Suara Rakyat”.
Dalam diskusi tersebut yang berlangsung di Kawan Ngopi Café, Sabtu 16 November 2024 itu, para jurnalis, akademisi, dan aktivis penggiat antikorupsi sepakat menolak keras praktik politik uang yang dinilai merusak demokrasi.
Diskusi ini menghadirkan tiga narasumber dari beragam latar belakang, di antaranya Ketua FJP Dudi Oskandar, Direktur Eksekutif Pusat Studi Kebijakan dan Politik (PSKP) Ade Indra Chaniago, dan Direktur Eksekutif Suara Informasi Rakyat Sriwijaya (SIRA) Rahmat Sandi Iqbal.
Ketiganya menyuarakan keprihatinan terhadap maraknya politik uang yang kerap menjadi senjata pamungkas para calon kepala daerah dalam meraih dukungan sesaat sebelum pemilihan dimulai.
Dalam hal ini, Ketua FJP Dudi Oskandar menyoroti peran media dalam Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) untuk mengkritisi penggunaan strategi kotor seperti politik uang.
Dia menyebutkan, meskipun banyak calon kepala daerah yang memanfaatkan media mainstream untuk berkampanye, akan tetapi dampaknya tidak sebesar seperti dengan memberi uang langsung kepada para pemilih.
"Banyak calon kepala daerah yang memanfaatkan peran media mainstream, namun dampaknya tidak signifikan dibanding praktik money politic. Inilah yang merusak demokrasi kita," ungkap Dudi.
Hal serupa juga diungkapkan oleh Ade Indra Chaniago. Sebagai pengamat politik, Ade menilai bahwa politik uang tak hanya merusak nilai-nilai demokrasi, namun juga merusak potensi terpilihnya pemimpin berkualitas.
Sebab, masyarakat akan memilih karena iming-iming uang, bukan karena kompetensi yang ditawarkan oleh calon tersebut.
"Masyarakat pun memilih karena iming-iming uang, bukan karena kompetensi calon yang bagus. Nah inilah yang menjadi tantangan besar bagi demokrasi kita," kata dia.
Ade pun menyebutkan, dari sekian banyak pemilih yang ada di Indonesia, baru 10 persen yang kesadaran akan hal ini. Ade menyebut golongan ini sebagai pemilih rasional.
“Hanya sekitar 10 persen pemilih di Indonesia yang rasional, selebihnya masih didominasi oleh pemilih tradisional,” tambah Ade.
Ade menilai, pendidikan politik harus menjadi prioritas untuk meningkatkan kesadaran masyarakat. Hal ini juga berguna untuk mencegah menjamurnya politik uang di kalangan masyarakat.
Kalau masyarakat cerdas, lanjut Ade, maka praktik politik uang akan sulit berkembang. Lama kelamaan, praktik itu akan ditinggalkan.
Sementara itu, Rahmat Sandi Iqbal menyoroti akibat politik uang yang dilakukan oleh calon pemimpin. Baginya, politik uang akan melahirkan jajaran pemimpin bermental korup.
Hal ini bukan tanpa sebab. Rahmat menambahkan, mereka yang menerapkan praktik politik uang sudah mengeluarkan modal besar untuk mencari suara, sehingga mereka harus mengembalikan modal tersebut bagaimanapun caranya.
"Pemimpin yang lahir dari praktik ini hanya akan fokus memperkaya diri sendiri dan kelompoknya, sebab mereka harus berpikir untuk mengembalikan modal besar yang digunakan untuk money politics," katanya.
Bagi Rahmat, fenomena ini menjadi PR besar pemerintah dalam memberikan pendidikan politik kepada masyarakat. Tanpa pendidikan itu, masyarakat akan mudah terjebak dalam rayuan politik uang. (*)