Sambat Bunda vs Wadul Guse: Efisiensi atau Pemborosan Anggaran? Studi Kasus Jember-Lumajang

30 Maret 2025 13:35 30 Mar 2025 13:35

Thumbnail Sambat Bunda vs Wadul Guse: Efisiensi atau Pemborosan Anggaran? Studi Kasus Jember-Lumajang Watermark Ketik
H Imron Fauzi*

Di era digital, berbagai daerah mulai mengadopsi teknologi dalam pelayanan publik. Kabupaten Lumajang meluncurkan Sambat Bunda, chatbot AI untuk pengaduan masyarakat, sementara Kabupaten Jember mengembangkan Wadul Guse, hotline 24 jam dengan petugas manusia.

Keduanya diklaim dapat menangani keluhan warga secara cepat dan efisien. Namun, apakah inovasi ini benar-benar meningkatkan efektivitas pelayanan, atau hanya menjadi cara lain untuk menaikkan anggaran dengan dalih modernisasi?  

Sambat Bunda: Inovasi atau Formalitas Digital?  

Sambat Bunda mengandalkan AI untuk merespons aduan warga secara otomatis. Ada beberapa keunggulan yang ditawarkan, seperti kecepatan respons dalam hitungan detik, aksesibilitas tanpa batasan waktu, dan pengurangan beban kerja petugas manusia.  

Namun, ada pula kelemahan yang perlu dicermati. Jawaban yang diberikan sering kali terbatas pada data yang tersedia, sehingga kurang fleksibel dalam menanggapi masalah yang lebih kompleks.

Selain itu, interaksi dengan chatbot bisa terasa impersonal, yang berpotensi mengurangi rasa empati dalam pelayanan publik. Tanpa keterlibatan manusia dalam proses evaluasi, ada risiko aduan yang lebih rumit tidak mendapat penyelesaian yang memadai.  

Meski terlihat modern, digitalisasi pelayanan ini tidak serta-merta lebih hemat. Biaya operasional untuk pengembangan, pemeliharaan, dan peningkatan sistem AI bisa menjadi alasan untuk menaikkan anggaran tanpa transparansi yang jelas.  

Wadul Guse: Layanan Manusiawi atau Beban Keuangan?  

Di sisi lain, Jember memilih jalur berbeda dengan mempertahankan hotline Wadul Guse yang dikelola langsung oleh petugas manusia.

Layanan ini memungkinkan warga berbicara langsung dengan pihak yang berwenang, sehingga solusi dapat lebih disesuaikan dengan kebutuhan individu. Sentuhan manusiawi dalam interaksi ini juga meningkatkan rasa kepercayaan masyarakat terhadap pemerintah daerah.  

Namun, layanan berbasis manusia juga memiliki tantangan tersendiri. Jika jumlah aduan meningkat, waktu tunggu bisa lebih lama.

Selain itu, biaya operasional untuk menggaji petugas hotline harus terus berjalan, dan risiko kesalahan manusia dalam pencatatan atau penyampaian informasi tetap ada.  

Dari segi transparansi, hotline berbasis manusia lebih mudah diaudit karena ada akuntabilitas langsung. Namun, tanpa pengelolaan yang baik, model ini juga bisa menjadi beban anggaran yang tidak sedikit.  

Chatbot AI: Solusi atau Sekadar Alasan Menambah Anggaran?  

Jika dibandingkan, chatbot seperti Sambat Bunda unggul dalam kecepatan dan efisiensi, sementara Wadul Guse lebih menonjol dalam aspek pelayanan personal.

Namun, chatbot yang hanya memberikan jawaban standar tanpa solusi nyata bukanlah inovasi sesungguhnya. Begitu pula dengan hotline manusia yang tidak dikelola secara efektif, yang hanya akan menambah beban anggaran.  

Jangan sampai digitalisasi sekadar menjadi cara untuk menampilkan citra modern, sementara efektivitasnya dipertanyakan. Inovasi seharusnya memberikan dampak nyata bagi masyarakat, bukan sekadar alasan untuk menambah anggaran dengan kemasan teknologi yang tampak canggih.  

Agar Digitalisasi Bukan Sekadar Gimmick

Agar tidak hanya menjadi proyek mahal tanpa substansi, beberapa langkah perlu dilakukan. Sistem hybrid, misalnya, bisa menjadi solusi, di mana chatbot menangani aduan sederhana, sementara petugas manusia menyelesaikan kasus yang lebih kompleks.

Evaluasi berkala juga harus dilakukan dengan laporan yang transparan untuk memastikan efektivitas layanan ini. Selain itu, digitalisasi harus diintegrasikan dengan kebijakan publik yang konkret, sehingga aduan yang masuk benar-benar ditindaklanjuti, bukan sekadar dijawab dengan respons otomatis.  

Inovasi Harus Berdampak, Bukan Sekadar Tren  

AI dalam pelayanan publik memang menawarkan kepraktisan, tetapi tanpa keterlibatan manusia, layanan ini bisa kehilangan esensinya.

Sebaliknya, hotline berbasis manusia tetap relevan, tetapi harus dikelola secara efisien agar tidak menjadi beban anggaran yang berlebihan.  

Solusi terbaik bukanlah memilih salah satu, melainkan menggabungkan keduanya secara strategis.

Chatbot dapat menangani keluhan ringan dengan cepat, sementara petugas manusia fokus pada permasalahan yang lebih kompleks. Dengan pendekatan ini, pelayanan publik tidak hanya tampak canggih, tetapi juga benar-benar efektif.  

Pada akhirnya, inovasi bukan tentang siapa yang paling digital, tetapi siapa yang paling berdampak bagi masyarakat.

 

*) H Imron Fauzi MPd dari PP ANNUR AZZHARA Tempeh lumajang

**) Isi tulisan di atas menjadi tanggung jawab penulis

***) Karikatur by Rihad Humala/Ketik.co.id

****) Ketentuan pengiriman naskah opini:

Naskah dikirim ke alamat email [email protected].

Berikan keterangan OPINI di kolom subjek

Panjang naskah maksimal 800 kata

Sertakan identitas diri, foto, dan nomor HP

Hak muat redaksi.(*)

Tombol Google News

Tags:

H Imron Fauzi Pemkab Lumajang Pemkab Jember Waduh Guse Sambat Bunda