KETIK, BANDUNG – Sekretaris Kementerian Kependudukan dan Pembangunan Keluarga/ Sestama BKKBN, Prof. Budi Setiyono, Ph.D meyakini, Grand Desain Pembangunan Kependudukan merupakan salah satu cara untuk memanfaatkan bonus demografi di Indonesia.
"Mengapa kita perlu mencapai Indonesia Emas 2045 ? Ini agar bangsa Indonesia bisa berdiri secara sejajar dengan bangsa lain yang telah maju," kata Prof Budi saat "Penyelarasan Program Prioritas Pemberdayaan Perempuan Perlindungan Anak dan Pembangunan Keluarga Menuju Jawa Barat Istimewa," di Aula Unikom Bandung, Kamis (13/2/2025),
Prof Budi memaparkan bonus demografi terjadi ketika jumlah penduduk usia produktif mendominasi struktur kependudukan. Menurutnya, bonus demografi itu tidak otomatis akan mendatangkan manfaat.
"Harus ada upaya sungguh-sungguh agar bonus termanfaatkan. Kuncinya ada pada perencanaan pembangunan berbasis kependudukan," tandasnya.
Budi yang pernah menjabat sebagai Wakil Rektor Universitas Diponegoro kemudian menjelaskan tantangan struktur kependudukan dalam bonus demografi.
Kenyataannya, dari 190 juta penduduk usia produkif, kata Budi, hanya 61 juta yang memiliki NPWP/NIK. Hanya 30 persen usia produktif berkontribusi secara fiskal pada pembangunan negara.
"Sisanya, 130 juta adalah beban dan menumpang pada 61 juta yang produktif," ungkap Budi.
Masalah ini relevan dengan kondisi Jawa Barat. Plh. Asisten Pemerintahan dan Kesejahteraan Rakyat Pemprov Jabar, DR. dr. Dodo Suhendar, MM, menilai Jabar adalah gambaran sahih pembangunan di Indonesia.
"Ada 17.8 persen penduduk Indonesia ada di Jawa Barat," sebut Dodo.
Demikian pula masalah-masalah di lingkup pembangunan keluarga sebagai dampaknya. Ada 3 juta pengangguran, angkanya hingga 6.75 persen. Angka kemiskinan cukup tinggi, 7.08 persen.
"Sementara dengan angka IPM 74.92 Jawa Barat menghadapi banyak tantangan yang tidak mudah," ungkap Dodo.
Sementara Wakil Menteri PPA, Veronica Tan yang hadir secara daring menyoroti berbagai masalah seputar isu keluarga di Jawa Barat seperti angka pernikahan anak terbanyak dan perceraian tertinggi.
"Isu-isu perempuan dan anak dalam pembangunan, mesti lebih responsif pada kesetaraan gender," kata Veronica.
Indeks pembangunan gender sebagai indikatornya harus terus didorong agar lebih banyak melibatkan perempuan dalam berbagai program pembangunan.
Veronica menambahkan, pembangunan harus mampu menurunkan angka kekerasan terhadap perempuan dan anak. Kuncinya adalah pengasuhan dalam keluarga.
"Harus dibuat ruang-ruang bersama untuk kolaborasi di antara pemerintah pusat dan daerah, berfokus pada pembangunan keluarga yang ramah perempuan dan anak," jelasnya.
Sedangkan Kepala Dinas Pemberdayaan Perempuan, Perlindungan Anak, Pengendalian Penduduk dan Keluarga Berencana (DP3AKB) Provinsi Jawa Barat, dr. Siska Gerfianti, SP.DLP., MH.Kes, sebagai penyelenggara kegiatan berharap kegiatan ini dapat menjadi bagian strategis dari perencanaan pembangunan di Jabar.
Menurut Siska, keterlibatan seluruh sektor menjadi penting, terutama perangkat daerah di provinsi dan kabupaten/kota yang bersinergi dengan pemangku kebijakan di tingkat pusat.
"Kami berharap isu-isu seputar pembangunan keluarga ini dapat diselesaikan bersama demi Jawa Barat Istimewa," ucap Siska.(*)