Sidoarjo setelah Tiga Bulan Plt Bupati Subandi

Editor: Fathur Roziq

9 Agustus 2024 00:30 9 Agt 2024 00:30

Thumbnail Sidoarjo setelah Tiga Bulan Plt Bupati Subandi Watermark Ketik
Oleh: Fathur Roziq*

Genap tiga bulan sudah H Subandi memimpin Pemkab Sidoarjo. Sejak 9 Mei lalu hingga 9 Agustus 2024 hari ini, Wakil Bupati Sidoarjo itu resmi menjadi Plt Bupati Sidoarjo. Soal mengapa dan bagaimana itu terjadi, semua sudah mafhum.

Yang lebih penting saat ini ialah mencermati setiap langkah Plt Bupati Sidoarjo H Subandi SH MKn berikut-berikutnya. Bagaimana memimpin Pemkab Sidoarjo ini sampai Febuari 2025. Tentu tidak mudah. Hawa Sidoarjo masih panas.

Serangan terhadap citra H Subandi bertubi-tubi datang. Sebut saja soal kebijakan penggantian beberapa Plt pejabat serta penghentian sementara untuk review program Kurma. Evaluasi terhadap program pemerintahan dipelintir sebagai permusuhan. Tanpa penjelasan yang jujur dan objektif. Padahal, tujuan evaluasi itu tidak seperti yang dituduhkan. Evaluasi dilakukan agar anggaran miliaran rupiah benar-benar tepat sasaran.

Apa yang sejatinya terasa baru saat ini? Bagi saya, yang seorang jurnalis, Plt Bupati H Subandi telah meniupkan udara segar. Hawa kebebasan. Kemerdekaan berkarya. Kebebasan dan kemerdekaan berkarya merupakan impian bagi jurnalis sejati. Tidak ada yang lebih mewah daripada itu.

Kira-kira 1 tahun lalu, sekitar April 2023, saya kembali aktif menjadi jurnalis di Sidoarjo. Suasananya mencekam. Hampir tidak ada tulisan yang menyoroti tajam kebijakan. Penggunaan uang negara. Program-program yang sarat pertanyaan.

Sebaliknya, rilis-rilis berita bagus begitu deras mendominasi wacana publik. Diviralkan. Pemkab Sidoarjo seakan selebritas yang sempurna. Tidak ada celah sedikit pun sebagai pejabat publik maupun sebagai pribadi. Semua baik-baik. Serba no problem.

Sangat beda kondisinya dengan ketika saya masih aktif pada awal tahun 2000 hingga 2007. Situasi pemerintahan terbuka. Kondisi dunia kewartawanan masih berkutat pada persaingan untuk mencari berita terbaik. Salip-salipan aktualitas. Saling adu eksklusivitas karya.  Para jurnalis sejati berebut menunjukkan performance pribadinya. Eksistensi medianya. 

Saya pun mencari tahu ke tokoh-tokoh jurnalis maupun organisasi wartawan. Mengapa atmosfir pers sebegini berubah? Seorang jurnalis yang saya anggap terbaik di Sidoarjo menceritakan pengalamannya. Dia pernah mengkritik kebijakan Bupati Sidoarjo. Agak keras, katanya.

Apa yang terjadi? Rekam jejaknya dikuliti. Ada yang melacak reputasinya sampai ke kantor perusahaan media tempat dia bekerja. Untunglah. Teman jurnalis ini punya reputasi di atas rata-rata wartawan lain di Sidoarjo.

Dia bahkan memiliki sertifikasi utama hasil uji kompetensi wartawan (UKW). Kompeten dalam pengetahuan (kesadaran), keterampilan, maupun sikap (etik). Komplet. Kapasitasnya setara dengan seorang pemimpin redaksi.

Si pelacak rekam jejak pun pun mundur teratur. Yang dihadapi ternyata jurnalis bukan kaleng-kaleng. Masalahnya, dia seakan sendirian. Setiap dia melakukan kontrol terhadap kebijakan, ada koleganya yang mengambil keuntungan. Rekan saya itu memutuskan berhenti dulu. Rehat.

Seorang tokoh lagi saya ajak bicara. Senior dan sukses. Dari dia, saya cuma dapat berbagai jenis halangan. Ketakutan untuk melakukan kritik. Kesulitan mencari sumber-sumber rezeki. Susah merangkul rekan-rekan sejawat.

Hambatan untuk menyolidkan komunitas media terhalang oleh membanjirnya media baru. Pendek kata, mustahil mengangkat lagi marwah jurnalisme di Kabupaten Sidoarjo.  

Seorang wartawan senior lain juga saya ikuti bagaimana cara bekerjanya sekarang. Beberapa kali kami bertemu narasumber. Beberapa kali pula saya dilarang menulis. Tidak diperkenankan mengkritisi kebijakan. Lebih-lebih soal penggunaan anggaran. Saya putuskan pergi. Berkiprah sendiri.

Berikutnya saya berdiskusi dengan seorang jurnalis lagi. Saya bilang ingin mengajak 1 sampai 5 orang jurnalis muda saja. Saya berharap mampu menyamakan visi. Bagaimana seharusnya mengambil posisi jurnalis dan media pers di era seperti ini. Posisi yang semestinya, yaitu sebagai pilar keempat demokrasi. 

Pers harus mengambil peran, berjuang, mengutamakan kepentingan khalayak dan kemajuan daerah. Kritis. Optimistis. Tidak berkecil hati meski berhadapan dengan media sosial. Sebab, media sosial, kecerdasan artifisial, teknologi serbadigital tidak akan mampu menggantikan seutuhnya seorang pekerja profesional. 

Apa yang tidak dimiliki teknologi? Kebijaksanaan dan jati diri. Jadilah jurnalis yang bijaksana. Punya jati diri. Wartawan yang cuma aktif sebagai pegiat medsos, copy paster, akan dikenal sebatas sebagai influencer. Wartawan yang konsisten melaksanakan tugas jurnalistik tetap dipandang sebagai jurnalis.

Parameternya cuma satu: independensi. Dasarnya adalah akal sehat dan hati nurani. Percayalah! Di sanalah sumber rezeki yang halal dan toyyibah. Jurnalis bijaksana tahu. Kapan mendukung program-program yang membangun. Mengkritisi kebijakan yang kurang tepat. Menyuarakan dengan keras aspirasi masyarakat. Menulis sesuai fakta dan data.

Sejatinya, kecenderungan penguasa itu di mana pun sama. Cenderung melakukan kooptasi terhadap media dan jurnalisnya dengan cara beragam. Menakuti-nakuti, mengucilkan, mengancam, bahkan sampai memberangus media.

Kalau tidak, langkah lainnya adalah menjejali media dengan iklan, menyuap jurnalis, sampai menghadiahkan proyek. Agar jurnalis nyaman hidupnya. Lumpuh daya kritisnya. Lupa kewajiban dan tanggung jawab profesinya.

Untunglah tidak semua begitu. Paling tidak hingga saat ini. Ketika menghadiri peringatan Hari Pers Nasional (HPN) Persatuan Wartawan Indonesia Sidoarjo, Plt Bupati Sidoarjo H Subandi menyampaikan paradigma penguasa yang berbeda.

H Subandi meminta jurnalis tidak segan-segan mengkritik kinerja pemerintah dalam pembangunan. Kritik yang tidak disampaikan dan ditutup justru bisa berakibat bencana bagi Sidoarjo.

”Teman-teman jurnalis sahabat pemerintah. Saya ingin terbuka. Silakan kritik lewat berita. Kita bisa tahu kinerja pemerintah juga dari media,” ungkap H Subandi pada Rabu (29/5/2024).

Tentu itu era baru. Benar-benar berbeda dari bupati-bupati sebelumnya. Entah berapa kali kantor saya dulu, Jawa Pos, ”dilabrak” Bupati Sidoarjo. Ramai-ramai bersama kepala-kepala OPD. Tiga kali ganti editor. Peristiwa itu terjadi dan terjadi lagi. Ujung-ujungnya saya lagi yang ditunjuk jadi "pendingin" bagi ”penguasa” Sidoarjo.

Alhamdulillah. Setelah saya kembali, tidak ada yang ”melabrak” lagi. Mengkritik memang perlu niat yang murni. Butuh seni dan inovasi. Tapi, yang paling penting adalah nyali. Harus berani dimusuhi. Berani membalasnya dengan rasa peduli. Membuang jauh-jauh rasa benci.

Jurnalis dibenci penguasa itu biasa. Dimusuhi pemimpin daerah juga lumrah. Anggap saja itu sebagai risiko. Tetap kukuh. Lakukan tugas dengan lugas. Jalankan profesi sesuai hati nurani. Tingkatkan terus kemampun diri.

Ada di mana-mana, tanpa harus ke mana-mana. Hormati yang patut dihormati. Bela yang teraniaya dan tanpa daya. Siapa pun dia.

Keterbukaan pemimpin terhadap kritik merupakan simbol keberanian. Ketertutupan adalah indikator adanya hal-hal yang disembunyikan. Pelibatan media secara profesional dan proporsional perlu dalam membangun daerah. Anggaran iklan dinaikkan, namun mengontrol pemerintahan juga tidak dilarang. Pemimpin yang merangkul media secara profesional tentu istimewa.

Pemimpin yang seperti itu wajib diimbangi oleh insan media juga. Lakukan kritik dengan tulus, tanpa sikap tendensius. Lebih indah lagi bila disertai masukan dan solusi. Batasi diri untuk tidak mencampuri urusan yang bukan kepentingan publik. (Baca: Best Friend, Ketik.co.id (Opini) 8 Maret 2024)

Satu catatan penting lagi. Bagi Plt Bupati Sidoarjo H Subandi, merangkul media massa pers saja tidak cukup. Semua stakeholders adalah mitra penting. (Konsolidasi) jajaran birokrasi, tokoh masyarakat, pemuda-pemudi, organisasi wanita, LSM, dan lain-lainnya.

Yang berikut ini sangat utama. Forkompimda Sidoarjo dan penyelenggara Pilkada 2024. Seluruh pemimpin jajaran itu memiliki peran yang strategis. Pak Kajari, Pak Kapolres, Pak Dandim, Pak Ketua DPRD, ketua-ketua organisasi profesi, tidak akan terpisahkan dari perjalanan pemerintahan.

Sentuhlah setiap elemen dengan ajakan bersahabat. Membuka lembaran baru perlu didahului dengan menutup lembaran lama. Kita susun kesepahaman baru, komitmen baru, konsensus baru. Bersinergi dan berkolaborasi demi perubahan Sidoarjo yang lebih baik lagi. Kita percaya, Abah Subandi sangat ahli dalam hal ini.

”Perubahan tidak akan terjadi jika kita menunggu orang lain atau waktu lain. Kita adalah yang kita tunggu-tunggu. Kita adalah perubahan yang kita cari.”

Barack Obama, Presiden Ke-44 Amerika Serikat. (*)

*Jurnalis Senior dan Editor Ketik.co.id

**) Isi tulisan di atas menjadi tanggung jawab penulis

*) Karikatur by Rihad Humala/Ketik.co.id

**) Ketentuan pengiriman naskah opini:

* Naskah dikirim ke alamat email redaksi@ketik.co.id.

* Berikan keterangan OPINI di kolom subjek

* Panjang naskah maksimal 800 kata

* Sertakan identitas diri, foto, dan nomor HP

* Hak muat redaksi

 

Tombol Google News

Tags:

sidoarjo Kabupaten Sidoarjo Pemkab Sidoarjo H Subandi Plt Bupati Subandi Kemerdekaan Pers Kebebasan Jurnalis