KETIK, SIDOARJO – Rumah Salamun seakan bertanya lantang tentang cita-cita tinggi Kabupaten Sidoarjo: Sidoarjo Kota Metropolis Inklusif. Rumahnya reot. Lantai gubuknya di Dusun Gempol Legi, Desa Bulang, Kecamatan Prambon, itu separo semen, separo tanah. Dinding bambu sudah miring. Atapnya pun mau roboh. Siapa yang mau peduli?
Salamun sedang tercenung di pintu rumahnya saat Ketua Komisi D DPRD Sidoarjo Dhamroni Chudlori datang, Senin pagi (5 Mei 2025). Dia kaget. Apalagi, wakil rakyat itu tiba bersama Kades Bulang Wulyono dan Kasun Gempol Legi Didik Sugianto. Bersama pegawai-pegawai sosial pula.
”Nopo o nggriyane (kenapa rumahnya),” tanya Dhamroni menyapa tuan rumah.
”Nggih ngeten niki (ya seperti ini,” jawab Salamun.
Dhamroni Chudlori bercerita. Bahwa dirinya dapat laporan tentang kondisi rumah Salamun yang tidak layak huni. Dia berkunjung untuk menyaksikan langsung. Ditemani tuan rumah, Dhamroni lalu melihat kondisi dalam gubuk reyot di pinggir kali itu.
Ketua Komisi D DPRD Sidoarjo Dhamroni Chudlori berbincang dengan Kakek Salamun tentang kondisi rumahnya yang rusak parah. (Foto: Fathur Roziq/Ketik.co.id)
Salamun hidup menduda. Sang istri, Suwarti, telah lama wafat. Lelaki kelahiran 25 Januari 1955 itu tinggal bersama cucunya. Selain dari bantuan sosial, kakek 70 tahun tersebut terkadang masih menjadi buruh tani.
Dhamroni Chudlori pun antusias membantu. Setelah menyerahkan oleh-oleh dari kantong pribadinya, legislator DPRD Sidoarjo Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) Sidoarjo itu menanyakan status kepemilihan rumah Salamun.
Saat itulah, Kasun Gempol Legi Didik Sugianto menjelaskan duduk perkara status tanah warga kampungnya. Hampir seluruh rumah warga dusun itu berdiri di atas tanah eigendom. Eigendom adalah status kepemilikan lahan yang berlaku di masa penjajahan Belanda. Bukan tanah dengan sertipikat hak milik (SHM) seperti saat ini.
”Di sini ada 36 rumah, Pak Dhamroni. Penduduknya 33 kepala keluarga,” jelas Didik Sugianto, yang disaksikan Kades Bulang Wulyono.
Akibatnya memang berat. Didik Sugianto menyebut banyak warganya yang sulit mengakses bantuan sosial untuk tempat tinggal mereka. Contoh kecil saja, bantuan jamban. Warga yang tidak punya WC pun akhirnya memilih buang air besar (BAB) di Avfour Gedang Rowo 1. ”WC helikopter” berjejer di sungai.
Dhamroni Chudlori tersenyum kecut. Dia lalu menyusuri Afvour Gedang Rowo itu dan melihat jamban-jamban kayu di atas air. Kondisi saluran pembuang ini pun parah. Tidak ada pelengsengan, penuh tanama, dan terlihat dangkal. Divideonya kondisi memprihatinkan seperti itu.
”Statusnya punya BBWS (Balai Besar Wilayah Sungai),” ungkap anggota DPRD Sidoarjo dari Tulangan tersebut.
”Kondisinya seperti ini, Pak. Karena sulit dapat bantuan jamban,” tambah Didik Sugianto.
Dhamroni Chudlori mendengarkan penjelasan panjang lebar dari Kasun Didik Sugianto maupun Kades Wulyono. Sebagai mantan ketua Komisi A (Bidang Hukum dan Pemerintahan) DPRD Sidoarjo, Dhamroni Chudlori sedikit banyak paham ihwal status kepemilikan tanah. Dia menyarankan Kasun dan Kades segera membantu menguruskan status tanah warga Dusun Gempol Legi tersebut.
”Dicoba saja. Karena sudah puluhan tahun menempati, ada peluang menjadi hak milik. Yang penting sesama warga harus sepakat dulu. Jangan sampai malah muncul masalah antarwarga sendiri,” terang Dhamroni Chudlori yang juga ketua Fraksi PKB DPRD Sidoarjo itu.
”Iya, Pak. Ada yang menempati tahan luas, ada yang biasa,” jawab Kasun Didik Sugianto.
Anggota DPRD Sidoarjo Dhamroni Chudlori melihat kondisi Avfour Gedang Rowo 1. Ada WC helikopternya. (Foto: Fathur Roziq/Ketik.co.id)
Kepala Desa Bulang Wulyono pun menyatakan siap untuk membantu warganya terkait kepemilikan tanah itu. Dia juga berterima kasih anggota DPRD Sidoarjo Dhamroni Chudlori yang telah mengunjungi desanya. Juga siap membantu kondisi warganya. Rata-rata perlu bantuan.
”Sebagian besar warga sini bekerja jadi buruh tani. Yang muda-muda saja baru masuk pabrik,” kata Kades Wulyono.
Kepada Kasun dan Kades, anggota DPRD Sidoarjo Dhamroni Chudlori menegaskan dirinya sangat ingin membantu Salamun atau warga lain yang layak dapat santunan sosial. Namun, faktanya tidak mudah. Ada kendala soal status kepemilihan tanah yang ditempati rumah mereka. Ada aturan hukum yang harus dipatuhi. Sampai rumah mereka menjadi hak milik yang sah.
”Kalau status tanahnya masih eigendom, sulit mengalokasikan bantuan dari dana APBD maupun program sosial lain. Ayo cepat diurus ya Pak Kasun, Pak Kades,” tegas anggota DPRD Sidoarjo yang suka blusukan tersebut.
Menurut informasi, rumah warga Dusun Gempol Legi, Desa Bulang, Kecamatan Prambon, itu dulu berdiri di sisi Sungai Brantas. Pada tahun 1880-an (abad ke-19) Pemerintah Hindia Belanda memecah Sungai Brantasi menjadi Kali Porong (sebagai sudetan) dan Kali Surabaya.
Sudetan tersebut membelah wilayah Kabupaten Mojokerto. Ada yang di utara Kali Porong, ada pula yang di wilayah selatan Kali Porong. Buktinya, persis di belakang Dusun Gempol Legi, ada kebun tebu yang masuk wilayah Kabupaten Mojokerto.
Kebun tebu itu konon sudah besertifikat hak milik (SHM). Padahal, batas antara kebun tebu dan tanah Dusun Gempol Legi cuma bekas sungai. Lebarnya sekitar 3 meteran. Kok bisa punya SHM? (*)