KETIK, SURABAYA – Guru besar Institut Teknologi Sepuluh Nopember (ITS) Prof Dr Hendro Juwono MSi berhasil mengembangkan teknologi yang mampu mengonversi biomassa dan limbah plastik menjadi biofuel yang lebih ramah lingkungan.
Penemuan ini diharapkan dapat menjadi solusi untuk mengurangi ketergantungan pada bahan bakar fosil serta mengatasi masalah limbah plastik yang semakin mengkhawatirkan.
Meningkatnya jumlah penggunaan plastik di masyarakat menciptakan berbagai masalah lingkungan tersendiri.
Mengatasi hal tersebut, Guru Besar ke-212 meneliti tentang degradasi plastik dengan biomassa menjadi biofuel sebagai solusi masalah lingkungan dan energi.
Profesor dari Fakultas Sains dan Analitika Data (FSAD) ITS yang berfokus pada bidang polimer dan degradasi plastik ini menjelaskan bahwa sumber polimer dibagi menjadi dua yaitu polimer alam dan sintetis. Polimer alam memiliki sifat yang mudah terdegradasi dan terurai kembali ke alam.
“Polimer alam itu seperti karet, protein, tepung, dan kolagen,” ujarnya melaui keterangan tertulis pada Kamis 6 Maret 2025.
Berbanding terbalik dengan sifat polimer alam, polimer sintetis sulit terdegradasi dan terurai kembali ke alam.
Contoh polimer sintetis yaitu polietilen, polipropilen, dan polistiren sebagai bahan baku plastik.
Plastik merupakan turunan dari bahan tak terbarukan karena senyawa yang dimiliki oleh plastik memiliki kesamaan dengan senyawa bahan bakar, seperti minyak bumi dan gas.
Melihat hal tersebut, Profesor dari Departemen Kimia ITS tersebut melakukan penelitian dengan metode pirolisis terhadap polimer plastik yang mudah terdegradasi.
Dalam penelitiannya, plastik yang telah diolah tersebut diuji dan menunjukkan angka Research Octane Number (RON)-nya mencapai nilai 98 hingga 102.
“Angka RON yang muncul menunjukkan kualitas lebih bagus daripada bahan bakar yang sekarang beredar di masyarakat,” terangnya.
Meskipun angka RON menunjukkan kualitas bagus, tetapi masih ada kekurangan.
Untuk membuat limbah plastik menjadi gasoline memerlukan suhu sebesar 400 derajat celcius, di mana dalam membuat suhu tersebut memerlukan tegangan listrik yang cukup besar.
Sedangkan untuk biomasa sendiri seperti minyak nyamplung, Crude Palm Oil (CPO), dan Waste Cooking Oil (WCO) hanya memerlukan suhu sebesar 250 derajat celcius.
Untuk menghemat proses biaya, Hendro mencampurkan biomassa nyamplung, WCO, dan CPO tersebut dengan limbah plastik. Ketika biomassa nyamplung, CPO, dan WCO dicampurkan dengan limbah plastik, dalam prosesnya suhu yang diperlukan hanya sebesar 300 derajat celsius.
Selain untuk menghemat pengeluaran yang besar, bahan yang dibutuhkan juga lebih murah dan mudah didapatkan.
Melalui serangkain penelitian untuk orasi ilmiah dalam pengukuhannya sebagai Profesor ITS tersebut, Hendro menuturkan bahwa penelitian yang ia lakukan turut membantu pencapaian Sustainable Development Goals (SDGs) poin 7 dan 12.
Ia berharap riset yang dilakukan dapat membantu penyelesaian masalah lingkungan dan energi. “Penelitian ini memerlukan kesabaran dan waktu yang cukup lama,” pungkasnya(*)