KETIK, PACITAN – Di tempat duduk Alun-alun Pacitan, tepat di sekitar air mancur yang ramai dikunjungi anak-anak dan keluarga, duduk seorang perempuan tua dengan senyum sabar.
Di hadapannya, kardus berisi mainan gelembung sabun bergambar karakter kartun.
Di sampingnya berdiri rak bambu kecil yang dipenuhi pistol mainan, mobil-mobilan, hingga set dokter-dokteran, mainan-mainan sederhana yang jadi tawa anak-anak, dan jadi harapan hidup baginya.
Namanya Surati. Usianya 74 tahun.
Tubuhnya mungil, mengenakan kerudung merah muda dan daster bermotif ceria bertema kartun.
Mungkin satu-satunya pakaian yang bisa membuatnya tampak menyatu dengan dunia anak-anak yang masih ia layani, meski ia sendiri telah jauh dari masa itu.
Setiap pekan, ia datang dari Madiun ke Pacitan bermodal Rp40 ribu untuk ongkos bus. Bukan liburan yang ia cari, melainkan rezeki.
"Puluhan tahun saya jualan keliling Pacitan, bahkan sejak sebelum adanya taman di Alun-alun," ceritanya kepada Ketik.co.id, Minggu, 1 Juni 2025.
Ia pulang ke rumahnya sekali dalam sepekan untuk bersih-bersih. Saat petang datang, tak ada tempat yang paling nyaman selain emperan Masjid Agung Darul Falah untuk dirinya tidur.
“Ini nanti pulang pas waktu Idul Adha,” ujarnya soal rencana terdekat.
Namun hidupnya bukan sekadar tentang dagangan dan emperan masjid. Surati menyimpan kepedihan yang tak kasat mata.
Ia pernah menikah dengan pria asal Sudimoro, Pacitan. Dari pernikahan itu, ia dianugerahi dua anak.
Tapi takdir berkata lain. Kedua anaknya telah berpulang. Suaminya pun menyusul.
Di usia senja, Surati kembali menikah, kali ini dengan pria Madiun. Sayangnya, kebersamaan itu pun tak berlangsung lama. Ia kembali kehilangan, dan sejak itu menjalani hidup seorang diri.
Meski demikian, Surati tak pernah mengeluh.
Pendapatannya pun sangat terbatas. Kadang, saat hujan turun seperti malam Minggu lalu, tak ada satu pun pembeli yang datang.
“Kemarin pas malam Minggu kan hujan, satu pembeli saja tidak ada,” ucapnya.
Keuntungan dari jualan mainan yang tak seberapa itu ia sisihkan untuk makan dan sebagian lagi dijadikan modal menambah stok dagangan. Ia tahu betul, hidup tak bisa ditunggu iba.
Maka ia memilih tetap bergerak, meski kakinya sakit dan tangan yang mulai renta.
Ketika ditanya bagaimana jika suatu saat ia tak lagi kuat berjualan, Surati hanya tersenyum.
“Nanti mau diurus sama keponakan saya di Madiun,” katanya.
Tak ada keluhan yang keluar dari mulutnya. Hanya syukur yang tak henti ia ucapkan.
“Tetep bersyukur saja. Allah Maha Pengasih, pasti ada rezeki,” tutupnya, menatap langit dengan tenang. (*)