KETIK, ACEH SINGKIL – Persoalan penanganan konflik buaya hangat di pemberitaan seminggu terakhir. Yang menjadi kendala utama adalah akibat ketidakjelasan kewenangan penanganan konflik tersebut.
Hal itu diungkapkan penjabat (Pj) Bupati Aceh Singkil, Azmi, MAP. Dia mengatakan bahwa kendala yang dihadapi pemerintah daerah dalam menangani persoalan konflik buaya di wilayahnya.
"Kendala utama yang kita hadapi adalah ketidakjelasan kewenangan penanganan konflik tersebut setelah diterbitkannya Undang-Undang (UU) Nomor 32 Tahun 2024 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam dan Ekosistemnya," ucap Azmi, Jumat, 31 Januari 2025.
Undang-Undang tersebut, kata Azmi, dianggap sebagai terobosan baru dalam regulasi konservasi satwa liar, termasuk buaya, yang habitatnya berada di perairan laut atau sungai.
Namun, UU ini juga mengalihkan kewenangan penanganan konservasi buaya dan konflik antara manusia atau nelayan dari Balai Konservasi Sumber Daya Alam (BKSDA) kepada Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP).
Setelah UU No. 32 Tahun 2024 diterbitkan, penanganan konservasi buaya dan konflik dengan manusia atau nelayan di perairan dan pulau-pulau kecil serta sungai bukan lagi menjadi kewenangan BKSDA.
Perubahan kewenangan ini menimbulkan kebingungan di kalangan masyarakat, terutama pemangku kepentingan tentang lembaga mana yang seharusnya bertanggung jawab menangani konflik buaya.
Azmi pun menegaskan bahwa hingga saat ini, petunjuk teknis atau peraturan turunan dari UU tersebut belum ada, sehingga penanganan konflik masih berada di tingkat pemerintah pusat.
"Kita sudah beberapa kali mengajukan permohonan, misalnya untuk penangkaran atau pengurangan populasi buaya melalui penangkapan, tetapi tidak ada tanggapan. Bahkan, izin untuk menembak buaya secara ekstrem pun tidak diberikan. Bagaimana kita bisa menangani jika kewenangan kita tidak ada? Jika kita sembarangan bertindak, tantangannya adalah pidana," ujar Azmi.
Saat ini, tambah Azmi, pihaknya tengah mengupayakan dengan meminta Kepala Dinas Perikanan menyurati Gubernur Aceh selaku wakil pemerintah pusat, meminta langkah-langkah perlindungan bagi masyarakat.
Menurutnya, hal ini tidak hanya terjadi di Aceh Singkil, tetapi juga di kabupaten dan kota lain di Aceh.
"Kita meminta program perlindungan masyarakat sesuai dengan kondisi dan kebutuhan daerah," tambahnya.
Dengan tegas, Ia menyebut bahwa perlindungan masyarakat harus diupayakan melalui regulasi dan peraturan yang jelas.
"Melindungi rakyat bukan berarti mengawasi setiap individu, tetapi melalui undang-undang dan peraturan yang melindungi mereka dari ancaman. Sekarang undang-undangnya sudah ada, tetapi penjabaran dan delegasi kewenangan ke pemerintah daerah belum jelas," jelasnya.
Mestinya, lanjut Azmi, baik BKSDA maupun KKP harus membuat rambu-rambu wilayah yang aman dan tidak aman bagi masyarakat berdasarkan survei populasi buaya.
"Mereka punya tenaga ahli untuk menghitung populasi dan menentukan area yang berisiko. Sosialisasi ke masyarakat juga harus dilakukan oleh pihak kementerian," ujarnya.
Ia juga menegaskan bahwa pemerintah daerah tidak bermaksud melepas tanggung jawab, tetapi prosedur yang ada harus diikuti. "Kalau kita melanggar, siapa yang akan bertanggung jawab?" pungkasnya.
Dengan demikian, diperlukan koordinasi dan kejelasan regulasi antara pemerintah pusat dan daerah untuk memastikan penanganan konflik buaya dan manusia dapat dilakukan secara efektif dan terukur.(*)