Gunung Limo, Cikal Bakal dan Simbol Islamisasi di Pacitan

Jurnalis: Al Ahmadi
Editor: Mustopa

21 Juli 2024 11:54 21 Jul 2024 11:54

Thumbnail Gunung Limo, Cikal Bakal dan Simbol Islamisasi di Pacitan Watermark Ketik
Potret Gunung Limo, Desa Mantren, Kecamatan Kebonagung yang jadi simbol masuknya lentera Islam di Pacitan . (Foto: Al Ahmadi/Ketik.co.id)

KETIK, PACITAN – Berdasarkan penuturan Mbah Haji Saeko, putra menantu juru kunci pertama Gunung Limo, Somo Sogimon Karsodikromo, perjalanan Resi Tunggul Wulung dan adat istiadat Tetaken di Pacitan erat kaitannya dengan kisah Islamisasi di tanah Jawa.

Mbah Saeko, yang juga Penerus Kasepuhan Padepokan Karsodikromo Somodogimon di Desa Mantren, Kecamatan Kebonagung, Pacitan menceritakan, awal mula masa sebelum kedatangan Islam, masyarakat Jawa masih menganut ajaran Kapitayan. 

Ia menuturkan, seorang ulama besar bernama Syekh Subakir memainkan peran penting dalam menyebarkan Islam di Jawa melalui perdagangan rempah-rempah. Namun, usahanya tak mudah karena terhalang oleh bangsa jin yang dipimpin Sabdo Palon (Eyang Semar) di Gunung Tidar.

Pertempuran sengit pun terjadi selama 40 hari 40 malam antara Syekh Subakir dan Sabdo Palon. Akhirnya, mereka mencapai kesepakatan, salah satunya adalah Islam di tanah Jawa tidak boleh menghilangkan budaya lokal.

Kesepakatan ini menjadi titik terang dalam penyebaran Islam di Jawa. Para ulama, termasuk Walisongo, mulai mendakwahkan Islam dengan menggunakan kearifan lokal.

Di masa itu, Eyang Tunggul Wulung, seorang abdi dalem penjaga kerajaan Majapahit, merasa sedih atas runtuhnya kerajaan dan muksonanya Prabu Brawijaya V. Ia memutuskan untuk menenangkan diri nyepi menuju lereng Gunung Limo, Pacitan.

"Kemudian Tunggul Wulung pergi menenangkan diri jalan ke selatan (ke Pacitan), sedangkan Eyang Lawu tetap di Gunung Lawu," ungkapnya.

Lantaran dirinya masih menganut ajaran Kapitayan saat itu. Di sana, Eyang Tunggul Wulung mendirikan padepokan dan mendidik anak-anak warga setempat menimba ilmu menjadi seorang pertapa.

"Di Lereng Gunung Limo, Eyang Tunggul Wulung menorehkan banyak kebajikan. Salah satunya mendirikan padepokan hingga mendidik para pertapa yang jadi asal usul Upacara Adat 'Tetaken" di Pacitan," paparnya.

Selang waktu berjalan, kedatangan Walisongo ke wilayah selatan, termasuk ke tempat tinggal Eyang Tunggul Wulung, menandai babak baru dalam perjalanan Eyang Tunggul Wulung. 

Meskipun tidak diketahui secara pasti apa yang terjadi, Eyang Tunggul Wulung akhirnya bersyahadat dan memeluk agama Islam.

Konon, peristiwa ini terjadi di sebuah gerbang masuk berupa batu besar di jalur pendakian menuju puncak Gunung Limo, atau dikenal sebagai Gerbang Wahyu Setangkep.

"Hanya orang suci yang bisa melewati pintu itu," ujarnya.

Warga setempat meyakini bahwa batu besar tersebut merupakan bukti kesaktian para Walisongo. Saat Eyang Tunggul Wulung membaca syahadat, gerbang batu itu terbuka dengan sendirinya.

"Gunung Limo ini membuktikankan bahwa sebelum masuk islam, para kan mensyahadatkan orang tanah Jawa. Kesaktian para wali itu dibuktikan dengan adanya batu besar, yang apabila membaca syahadat gerbangnya langsung terbuka," jelasnya.

Demikian sepenggal cerita masyarakat di Gunung Limo Pacitan yang menjadi bukti nyata bagaimana proses Islamisasi di tanah Jawa. Tentunya terjadi dengan penuh pertimbangan dan penghormatan terhadap budaya lokal. 

Adat istiadat Tetaken dan padepokan tersebut terus lestari hingga saat ini, pun menjadi pengingat akan sejarah panjang penyebaran agama Islam di Pacitan dan Jawa Timur.

"Gunung Limo ini sebagai simbol lentera Islam, diartikan ayo bersama-sama sembahyang lima waktu, nah di situ kadang-kadang versinya ada yang lain," tandasnya. (*)

Tombol Google News

Tags:

pacitan Gunung Limo