Harkitnas 2025: Kita Bangkit, Tapi ke Mana?

29 Mei 2025 21:21 29 Mei 2025 21:21

Thumbnail Harkitnas 2025: Kita Bangkit, Tapi ke Mana?
Oleh: Agus Mahfudin Setiawan*

Setiap tahun, tanggal 20 Mei diperingati sebagai Hari Kebangkitan Nasional (Harkitnas). Tahun ini, tepat pada hari Selasa, 20 Mei 2025, kita mengenang 117 tahun sejak berdirinya organisasi Budi Utomo—organisasi yang digagas oleh para pemuda STOVIA, seperti Dr. Sutomo, pada tahun 1908. 

Peristiwa ini disebut sebagai titik awal ketika bangsa Indonesia mulai menyadari bahwa kita bukan sekadar kumpulan suku dan daerah, melainkan satu bangsa yang memiliki cita-cita untuk merdeka dan bermartabat. 

Namun hari ini, mari kita jujur pada diri sendiri: di balik upacara dan pidato, di antara baliho dan unggahan media sosial, sudahkah kita benar-benar bangkit?

Bagi saya, kebangkitan bukan sekadar peringatan sejarah. Ia adalah kesadaran kolektif: ke mana kita sebagai bangsa hendak menuju. 

Dahulu, Budi Utomo lahir karena ada keresahan yang mendalam. Para pelajar muda sadar bahwa bangsa ini tertindas, pendidikannya rendah, dan masa depannya suram. Mereka memilih untuk bangkit bukan dengan senjata, tetapi dengan gagasan, pendidikan, dan organisasi.

Lalu, bagaimana dengan kita hari ini? Apakah keresahan kita sama kuatnya? Apakah kita merasa cukup terganggu dengan kondisi pendidikan nasional yang masih tertinggal jauh dibandingkan negara lain? Hasil survei PISA 2022 sebuah program penilaian internasional yang mengukur kemampuan siswa dalam membaca, matematika, dan sains menempatkan Indonesia di peringkat 69 dari 80 negara. Kita bahkan kalah dari Vietnam, Malaysia, dan Thailand. 

Skor total kita hanya mencapai 1.108, sementara Singapura, yang berada di puncak peringkat dunia, meraih skor 1.679. Ini bukan sekadar soal malu, tapi soal kesadaran diri. Jika hari ini anak-anak kita masih kesulitan membaca dengan baik atau memahami logika dasar matematika dan sains, maka kita sedang menyiapkan generasi yang akan sulit bersaing dalam dunia yang makin cepat dan kompleks. 

Tahun ini, Indonesia akan kembali mengikuti PISA 2025, yang rencananya akan lebih menekankan pada kemampuan sains, bahasa asing, dan penguasaan pembelajaran digital mandiri. Pertanyaannya: sudahkah kita menyiapkan anak-anak kita untuk itu? Ataukah kita akan kembali mengulang cerita yang sama tertinggal dan diam?

Menurut saya, kebangkitan sejati tidak diukur dari banyaknya bendera yang dikibarkan, melainkan dari keberanian melihat kekurangan dan memperbaikinya. Kita harus kembali belajar dari semangat awal Budi Utomo: bahwa pendidikan adalah pintu pertama kebangkitan. Namun, bukan hanya pendidikan formal yang dimaksud. Literasi sosial, kemampuan berpikir kritis, serta kedewasaan dalam bersikap juga bagian penting dari kebangkitan itu.

Sayangnya, kita justru sedang menghadapi tantangan serius lainnya: bangsa ini makin mudah terbelah oleh perbedaan. Polarisasi politik, konflik identitas, hingga maraknya ujaran kebencian di media sosial, membuat kita semakin kehilangan rasa percaya satu sama lain. 

Saat pemilu berlangsung tahun lalu, kita bukan lagi rakyat yang dewasa dalam berdialog, melainkan justru mudah saling curiga, bahkan saling meniadakan. Ini penyakit sosial yang tak kasat mata, tetapi sangat merusak akar kebangsaan kita.

Data dari Kementerian Kominfo mencatat bahwa selama tahun pemilu 2023 saja, terdapat lebih dari 11.000 hoaks yang beredar. Mayoritas berisi isu politik dan identitas. Kita mudah percaya, mudah tersulut emosi, tetapi sangat sulit mendengar dan memahami satu sama lain. 

Bukankah ini tanda bahwa kebangkitan kita sedang tertunda? Budi Utomo pernah mengajarkan pentingnya kebersamaan. Namun hari ini, bahkan untuk percaya kepada saudara sendiri pun kita ragu.

Oleh karena itu, Harkitnas tidak bisa lagi diperingati dengan cara lama. Ia harus menjadi ruang evaluasi kolektif. Sudah sejauh mana kita menyadari bahwa bangsa ini sedang tidak baik-baik saja? Sudahkah kita sadar bahwa ada hal-hal mendasar yang perlu diperbaiki mulai dari cara kita mendidik, cara kita membangun narasi publik, hingga cara kita memperlakukan sesama warga negara?

Visi besar Indonesia Emas 2045 memang terdengar megah. Kita ingin menjadi kekuatan ekonomi global, memiliki generasi unggul, dan menjadi negara yang disegani. Namun, visi tanpa refleksi dan koreksi hanya akan menjadi slogan kosong.

Bagaimana mungkin kita menuju Indonesia Emas jika anak-anak kita masih tertinggal dalam kemampuan dasar? Jika guru-guru di desa masih kekurangan fasilitas? Jika siswa-siswi di pelosok harus berjalan berkilo-kilometer hanya untuk mengenyam pendidikan dasar? Bagaimana mungkin kita berharap masa depan yang cerah jika hari ini saja kita tidak serius memperbaiki fondasi bangsa?

Mari kita maknai Harkitnas tahun ini dengan cara yang lebih bermakna. Jangan sekadar menjadikannya momen menggugurkan kewajiban tahunan. Jadikan Harkitnas sebagai titik tolak: mari kita bangkit dari rumah, dari sekolah, dari kampus, dari ruang kerja, dari masjid dan gereja, dari tempat kita berdiri sebagai warga negara. 

Bangkit dari apatisme. Bangkit dari gaya hidup yang tak peduli lingkungan sekitar. Bangkit dari narasi-narasi yang memecah belah. Mari kita ubah peringatan ini menjadi gerakan bersama. Pemerintah harus serius memperbaiki sistem pendidikan. Masyarakat harus aktif menjaga toleransi. Dan kita semua harus bersedia menjadi bagian dari solusi, bukan hanya pengamat pasif.

Harkitnas adalah undangan, bukan sekadar ingatan. Ia mengajak kita bertanya pada diri sendiri: apa yang sedang saya bangun untuk bangsa ini? Jika jawabannya belum ada, maka sekaranglah saatnya. Tidak ada kata terlambat untuk bangkit. Tidak ada bangsa yang tiba-tiba maju tanpa rasa percaya diri dan rasa percaya kepada sesama. Harkitnas 2025 bukan akhir, tapi awal. 

Semoga, mulai tahun ini, kebangkitan kita tidak lagi hanya seremoni, tetapi sungguh-sungguh menjadi jalan menuju bangsa yang lebih dewasa, adil, dan bermartabat.

*) Agus Mahfudin Setiawan merupakan Pegiat Sejarah dan Budaya, Dosen Sejarah Peradaban Islam UIN Raden Intan Lampung

**) Isi tulisan di atas menjadi tanggung jawab penulis

***) Karikatur by Rihad Humala/Ketik.co.id

****) Ketentuan pengiriman naskah opini:

  • Naskah dikirim ke alamat email [email protected].
  • Berikan keterangan OPINI di kolom subjek
  • Panjang naskah maksimal 800 kata
  • Sertakan identitas diri, foto, dan nomor HP
  • Hak muat redaksi.(*)

Tombol Google News

Tags:

opini Harkitnas Agus Mahfudin Setiawan