Makayoa Menagih Janji Nusantara

20 Mei 2025 12:37 20 Mei 2025 12:37

Thumbnail Makayoa Menagih Janji Nusantara
Oleh: Asmar Hi. Daud*

Ketika Mukhtar Adam menulis catatannya yang tajam di Lugopost (18 Mei 2025), ia sedang menggugah kesadaran kolektif kita bahwa ketimpangan pembangunan di pulau-pulau kecil bukanlah cerita baru, melainkan luka lama yang terus dibiarkan terbuka. 

Dalam tulisannya, Makayoa hadir bukan sekadar sebagai nama geografis, melainkan simbol gugatan terhadap arah pembangunan nasional yang selama ini alpa pada watak sejati Indonesia—sebagai negara kepulauan.

Negara yang Abai

Indonesia memiliki lebih dari 17.000 pulau dan garis pantai sepanjang 108.000 kilometer—terpanjang kedua di dunia. Namun ironi besarnya adalah, negara kepulauan ini lebih sering membangun seolah-olah ia adalah negara daratan. 

Infrastruktur, layanan publik, pusat ekonomi, hingga kebijakan nasional, dibentuk berdasarkan logika kontinental. Pulau-pulau kecil, yang justru menjadi wajah asli Indonesia, kerap berada di tepi perencanaan, dan bahkan sering luput dari alokasi anggaran.

Kekayaan yang Terlupakan

Pulau-pulau kecil seperti Makean dan Kayoa di wilayah selatan Halmahera menyimpan kekayaan pesisir yang luar biasa: terumbu karang yang masih alami, hutan mangrove yang menjadi pelindung alami ekosistem pesisir, padang lamun yang menopang kehidupan biota laut, serta potensi perikanan pelagis dan demersal yang melimpah.

Di kawasan ini, konservasi laut dan ekowisata bahari bukan sekadar potensi, tapi bisa menjadi tulang punggung ekonomi rakyat.

Makayoa berada dalam kawasan dengan keanekaragaman hayati laut tertinggi di dunia—bagian dari segitiga terumbu karang (coral triangle) yang mencakup ribuan spesies ikan dan invertebrata laut. Ekosistem ini bukan hanya indah, tetapi juga menyimpan nilai ekonomi, ekologis, dan sosial yang sangat besar bagi masyarakat lokal.

Hasil survei terbaru mencatat bahwa Kepulauan Kayoa memiliki keragaman spesies ikan tertinggi di Maluku Utara: 304 spesies ikan ditemukan di perairannya. Di titik pengamatan Barat Kayoa Utara 1, kelimpahan ikan karang mencapai 70.067 individu per hektare. Biomassa tertinggi tercatat di Selatan Gunange, mencapai 366.027,3 kg per hektare.

Lebih jauh lagi, ekosistem mangrove di Desa Guruapin telah menjadi model konservasi berbasis komunitas. Melalui peraturan desa dan partisipasi aktif warga, pelestarian mangrove dan terumbu karang dijalankan secara kolektif—menunjukkan bahwa masyarakat pulau memiliki kapasitas dan kemauan untuk menjaga lautnya.

Namun, semua kekayaan ini tidak terkelola dengan baik. Dua persoalan utama menjadi penghambat: jauhnya jarak dari pusat kebijakan dan minimnya intervensi pembangunan. Infrastruktur pelabuhan, fasilitas pendingin ikan, pasar nelayan, hingga transportasi laut masih sangat terbatas. Jika pembangunan tidak hadir di wilayah pesisir, maka laut yang kaya takkan pernah mampu mengangkat kesejahteraan rakyatnya.

Geografi dan Strategi Kepulauan

Maluku Utara memiliki lebih dari 800 pulau, menjadikannya salah satu provinsi kepulauan di Indonesia. Dari jumlah tersebut, sekitar 400 pulau berada di wilayah administratif Halmahera Selatan, dan di antara gugusan inilah Makayoa berada.

Makayoa, yang mencakup pulau-pulau seperti Makean, Kayoa, Kayoa Barat, dan pulau-pulau kecil sekitarnya, terletak di selatan Halmahera—posisi strategis sebagai pintu gerbang maritim yang kaya akan sumber daya alam, budaya pelayaran, dan lalu lintas perikanan.

Namun, letak geografis yang strategis ini justru sering dimaknai sebagai keterpencilan administratif. Jarak yang jauh dari pusat pemerintahan di Labuha, buruknya transportasi laut, serta minimnya infrastruktur dasar menyebabkan Makayoa tertinggal dalam pelayanan publik, pendidikan, kesehatan, dan konektivitas ekonomi.

Karena itu, Makayoa bukan semata-mata soal geografi. Ia adalah soal strategi: bagaimana membalik logika pembangunan dari yang berbasis daratan menjadi berbasis laut dan pulau. Dari orientasi pusat ke arah pinggiran sebagai pusat-pusat pertumbuhan baru. 

Dalam konteks inilah, perjuangan pemekaran Makayoa sebagai Daerah Otonomi Baru (DOB) bukan hanya soal pemisahan administratif, tetapi bagian dari strategi pembangunan kepulauan yang lebih adil dan kontekstual atau relevan dengan realitas Indonesia sebagai negara maritim.

Potensi dan Perlawanan dari Pesisir

Kayoa tidak hanya kaya secara ekologis, tetapi juga menyimpan potensi besar di sektor ekowisata. Keindahan terumbu karang, pantai-pantai alami, dan budaya bahari masyarakatnya menjadi daya tarik wisatawan. Tak hanya itu, situs arkeologi Uattamdi I dan II menandai jejak peradaban purba yang bisa dikembangkan sebagai destinasi wisata sejarah.

Maka, perjuangan pemekaran Makayoa harus dilihat sebagai perlawanan dari pesisir, bukan ambisi elite, melainkan kebutuhan riil untuk mengelola kekayaan alam secara mandiri, mendekatkan layanan dasar, dan memastikan bahwa pembangunan tidak berhenti di atas meja perencana, tetapi menyentuh dermaga, jaring, dan perahu-perahu rakyat.

Makayoa ingin membangun dari laut, dari desa, dari pinggiran yang menjadi akar kehidupannya—bukan sekadar menjadi perpanjangan tangan dari pusat yang terlalu jauh. Ia ingin menjadi DOB yang dibentuk oleh logika kepulauan dan cita-cita maritim, bukan sekadar birokratisasi administratif.

Menuju Panggung Nusantara

Indonesia membutuhkan pendekatan baru dalam membangun negara kepulauan: pendekatan berbasis pulau. Setiap pulau, sekecil apa pun, memiliki peran penting dalam menjaga keutuhan bangsa, kedaulatan maritim, dan ketahanan pangan laut. Dalam kerangka itu, Makayoa dapat menjadi contoh model pembangunan baru; berbasis ekosistem, berbasis komunitas, berbasis sejarah.

Pemekaran Makayoa bukan sekadar pemisahan wilayah. Ia adalah usaha memperluas panggung Nusantara, agar pulau-pulau kecil tidak terus menjadi latar diam yang tak terdengar, tetapi aktor utama yang ikut menentukan arah masa depan Indonesia.

Dan ketika semangat desentralisasi kembali digelorakan, saat janji pemerataan mulai digaungkan, dan perhatian nasional mulai mengarah ke laut, maka Makayoa memanggil kita untuk tidak lupa pada asal-usul: dari pulau, dari pesisir, dari laut.

Ketukan dari Pinggiran

Pemekaran bukanlah akhir dari perjuangan, melainkan awal dari tanggung jawab sejarah. Ini adalah panggilan untuk bangkit, menyuarakan hak, dan menggugat ketimpangan yang terlalu lama dianggap biasa. Kepulauan Makayoa tidak meminta belas kasihan. Ia menuntut pengakuan sebagai wajah sejati Indonesia yang maritim.

Makayoa bukan pinggiran. Ia adalah panggung. Panggung yang menuntut Nusantara untuk menoleh, mendengar, dan membuka ruang. Agar pulau-pulau kecil berdiri sejajar, menentukan arah bangsa, dan menjadi tuan di negeri sendiri.

Karena membangun Indonesia sejatinya adalah membangun dari pulau-pulau. Dari laut. Dari pinggiran yang selama ini menunggu giliran. Giliran untuk diketuk. Dan sekarang, Makayoa telah mengetuknya.

*) Asmar Hi. Daud merupakan akademisi dan tokoh Makian dan Kayoa (Makayoa)

**) Isi tulisan di atas menjadi tanggung jawab penulis

***) Karikatur by Rihad Humala/Ketik.co.id

****) Ketentuan pengiriman naskah opini:

  • Naskah dikirim ke alamat email [email protected].
  • Berikan keterangan OPINI di kolom subjek
  • Panjang naskah maksimal 800 kata
  • Sertakan identitas diri, foto, dan nomor HP
  • Hak muat redaksi.(*)

Tombol Google News

Tags:

opini Makayoa Asmar Hi. Daud