27 Tahun Reformasi: Evaluasi Demokrasi Indonesia di Tengah Tantangan Global dan Domestik

21 Mei 2025 15:04 21 Mei 2025 15:04

Thumbnail 27 Tahun Reformasi: Evaluasi Demokrasi Indonesia di Tengah Tantangan Global dan Domestik
Oleh: Rahmad Ananda*

Hari ini, 21 Mei 2025, bangsa Indonesia kembali mengenang tonggak sejarah penting: Reformasi 1998. 27 tahun yang lalu, gerakan rakyat yang dipelopori oleh mahasiswa, buruh, dan elemen masyarakat sipil lainnya berhasil meruntuhkan rezim Orde Baru yang otoriter. Reformasi menjanjikan demokratisasi, penegakan hukum, dan penghormatan terhadap hak asasi manusia. Namun, setelah hampir tiga dekade berlalu, pertanyaan fundamental pun muncul: sejauh mana reformasi telah memenuhi janjinya?

Secara prosedural, demokrasi Indonesia memang telah mengalami kemajuan. Pemilu dilaksanakan secara berkala, kekuasaan berganti melalui mekanisme konstitusional, dan partisipasi publik dalam arena politik terlihat meningkat. Namun, capaian ini tidak serta-merta menunjukkan keberhasilan demokrasi secara substantif.

Demokrasi kita hari ini menghadapi tantangan serius, baik dari dalam negeri maupun pengaruh eksternal. Dominasi oligarki dalam struktur politik dan ekonomi menjadi salah satu persoalan mendasar. Elite ekonomi-politik kerap memanfaatkan ruang demokrasi untuk mempertahankan kepentingannya, bukan untuk memperluas akses dan keadilan bagi rakyat. Pemilu cenderung menjadi ajang pertarungan modal, bukan kontestasi gagasan. Rakyat diposisikan hanya sebagai "pemilih", bukan "penentu".

Kondisi ini menunjukkan gejala demokrasi yang disebut illiberal democracy—sebuah situasi di mana prosedur demokrasi berjalan, tetapi nilai-nilai fundamental seperti kebebasan sipil, akuntabilitas, dan checks and balances justru mengalami erosi. Kita menyaksikan semakin menguatnya kekuasaan eksekutif, lemahnya oposisi di parlemen, serta menurunnya efektivitas lembaga pengawasan seperti KPK dan Komnas HAM.

Dalam konteks global, tantangan terhadap demokrasi semakin kompleks. Tren otoritarianisme digital, pembatasan ruang sipil, hingga kriminalisasi terhadap aktivis dan jurnalis turut mengancam kualitas demokrasi di Indonesia. Negara-negara demokratis kini harus berjuang bukan hanya melawan ancaman dari luar, tetapi juga dari dalam sistemnya sendiri.

Namun demikian, harapan belum sirna. Reformasi bukanlah titik akhir, melainkan proses panjang yang terus menuntut pengawalan dan pembaruan. Di sinilah peran penting mahasiswa, akademisi, dan masyarakat sipil sebagai kekuatan moral bangsa. Kita harus melampaui euforia prosedural dan mendorong demokrasi yang lebih berkeadilan, inklusif, dan berorientasi pada kepentingan publik.

Pendidikan politik yang kritis, transparansi pemerintahan, dan revitalisasi gerakan sosial adalah prasyarat penting untuk menjaga semangat reformasi tetap hidup. Reformasi harus dimaknai sebagai kerja kolektif untuk menciptakan tatanan politik yang bermartabat, bukan sekadar perubahan struktur kekuasaan.

Tepat di usia 27 tahun reformasi ini, marilah kita renungkan kembali tujuan awal perjuangan: membangun bangsa yang demokratis, adil, dan manusiawi. Sejarah telah mencatat keberanian generasi sebelumnya. Kini, tantangan dan tanggung jawab ada di pundak kita.

*) Rahmad Ananda adalah mahasiswa FISIP Universitas Syiah Kuala

**) Isi tulisan di atas menjadi tanggung jawab penulis

***) Karikatur by Rihad Humala/Ketik.co.id

****) Ketentuan pengiriman naskah opini:

Naskah dikirim ke alamat email [email protected].

Berikan keterangan OPINI di kolom subjek

Panjang naskah maksimal 800 kata

Sertakan identitas diri, foto, dan nomor HP

Hak muat redaksi.(*)

Tombol Google News

Tags:

opini Reformasi Demokrasi Aceh Rahmad Ananda