Di tengah gaung viralnya film JUMBO yang menggambarkan kehangatan orang tua penyayang, publik dikejutkan oleh kenyataan pahit: pada 15–16 Mei 2025, terungkap sebuah grup di Facebook yang menjadi sarang berbagi cerita, foto, bahkan video pelecehan seksual terhadap anak di bawah umur — dan yang paling mengerikan, para pelakunya adalah orang tua atau anggota keluarga sendiri.
Grup ini memiliki lebih dari 40 ribu anggota, sebagian besar laki-laki, yang mengklaim sebagai orang tua dan kakak kandung. Bukan hanya kontennya yang tak bermoral, tetapi kenyataan bahwa mereka berasal dari lingkungan terdekat anak menjadikan fenomena ini sebagai potret kelam dari krisis moral dan psikologis dalam pengasuhan.
Ini bukan sekadar kasus kriminal, tetapi alarm besar tentang kesiapan mental sebagian orang tua yang gagal memahami betapa pentingnya kesehatan jiwa sebelum mengasuh anak.
Dalam psikologi, konsep inner child merujuk pada sisi terdalam diri seseorang yang menyimpan kenangan masa kecil, baik yang menyenangkan maupun menyakitkan. Ketika seseorang tumbuh dalam lingkungan kekerasan, pelecehan, atau pengabaian, luka-luka itu bisa terbawa hingga dewasa.
Tanpa disadari, trauma tersebut menjelma menjadi pola pengasuhan yang penuh kekerasan atau bahkan kekejaman terhadap anak. Berdasarkan data Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) tahun 2024, lebih dari 52 persen kasus kekerasan seksual terhadap anak dilakukan oleh orang terdekat, termasuk ayah kandung, paman, atau kakak.
Psikolog anak dan keluarga, Anna Surti Ariani, pernah menyampaikan bahwa banyak orang tua belum selesai dengan masa lalunya dan itu sangat memengaruhi cara mereka memperlakukan anak. Luka yang tidak disembuhkan akan terus diwariskan, dan tanpa literasi psikologis yang cukup, luka itu berubah menjadi senjata yang melukai kembali.
Sering kali, masyarakat masih memandang bahwa menjadi orang tua cukup bermodalkan usia dan kesiapan finansial. Padahal, kemampuan mengasuh anak memerlukan kedewasaan emosional, kesadaran diri, dan kemampuan mengelola stres.
Banyak pasangan menikah hanya karena tekanan sosial, usia, atau sekadar untuk “menghalalkan hubungan”, tanpa memahami bahwa anak membutuhkan figur pengasuh yang matang secara mental, bukan hanya secara biologis. Kesalahan mendasar ini kerap memicu pengasuhan yang toxic, bahkan ekstremnya, bisa menjelma menjadi kekerasan seksual yang merusak hidup anak.
Media sosial, yang semestinya menjadi ruang komunikasi dan informasi, kini turut menjadi ladang subur bagi perilaku menyimpang. Grup Facebook tersebut membuktikan bahwa ruang digital dapat menjadi tempat lahirnya kejahatan terorganisir jika tidak dikontrol.
Penegakan hukum memang penting — sebagaimana diatur dalam UU No. 17 Tahun 2016 dan UU ITE yang memungkinkan pelaku kekerasan seksual terhadap anak dihukum hingga 20 tahun penjara — namun tindakan represif saja tidak cukup. Perlu langkah pencegahan dari hulu, yaitu membangun kesiapan mental sebelum seseorang menjadi orang tua.
Dalam konteks ini, pendidikan parenting sebelum menikah menjadi kebutuhan yang mendesak. Edukasi ini bisa membantu individu memahami luka pengasuhan pribadi, belajar komunikasi sehat, mengelola emosi, serta memahami literasi seksual dan pengasuhan berbasis empati..
Psikolog keluarga Roslina Verauli menegaskan bahwa menikah dan punya anak bukanlah tujuan akhir, melainkan awal dari tantangan baru, sehingga edukasi parenting harus dimulai sebelum pernikahan, bukan setelah anak lahir.
Selain faktor psikologis, tekanan ekonomi juga menjadi pemicu serius. Orang tua yang berada dalam kondisi ekonomi sulit lebih rentan mengalami stres berat, yang bisa berdampak negatif pada pola pengasuhan. Namun ini seharusnya tidak menjadi pembenaran, melainkan dorongan agar negara lebih hadir — melalui jaminan sosial, layanan konseling keluarga, dan akses pendidikan pengasuhan yang merata.
Kasus grup Facebook ini bukan hanya skandal moral yang menggemparkan. Ia adalah cermin dari luka masa lalu yang diwariskan, dari lemahnya sistem perlindungan anak, dan dari nihilnya kesadaran akan pentingnya kesiapan mental dalam pengasuhan.
Kita tidak bisa berharap masalah ini hilang dengan sendirinya. Sudah saatnya kita menengok ke dalam diri, menyembuhkan trauma, memperbaiki pola, dan mempersiapkan diri secara utuh sebelum memilih menjadi orang tua. Karena anak bukan tempat pelampiasan luka yang tak kunjung sembuh. Mereka adalah pelita kehidupan, titipan Tuhan, yang layak dicintai dengan jiwa yang pulih dan hati yang utuh.
*) Dwi Angga Septianingrum adalah Pengajar Bahasa dan Sastra, Trainer Pelatihan Menulis ilmiah dan Kreatif, berdomisili di Bondowoso.
**) Isi tulisan di atas menjadi tanggung jawab penulis
***) Karikatur by Rihad Humala/Ketik.co.id
****) Ketentuan pengiriman naskah opini:
- Naskah dikirim ke alamat email [email protected].
- Berikan keterangan OPINI di kolom subjek
- Panjang naskah maksimal 800 kata
- Sertakan identitas diri, foto, dan nomor HP
- Hak muat redaksi.(*)