Tren pemberitaan politik menjelang pemilu, termasuk pilkada, biasanya mengangkat tiga kategori.
Pertama, berita-berita politik tentang kesuksesan rezim yang sedang berkuasa. Tidak ada kritik yang tajam. Pemberitaan seperti ini biasanya ditulis oleh media-media konservatif. Pro status quo.
Kedua, berita-berita politik tentang pentingnya perubahan. Media menampilkan wacana progresif. Isu pergantian pimpinan pemerintahan. Baik berdasar argumentasi kegagalan pemimpin, skandal, maupun isu-isu antikorupsi.
Ketiga, berita-berita bernada skeptis. Isinya bernada pesimistis pergantian penguasa tidak akan menghasilkan apa-apa. Nasib rakyat tetap saja sengsara. Media cenderung memuat perhelatan pemilu sebagai seremonial 5 tahunan belaka.
Tergolong kategori yang manakah pemberitaan politik menjelang Pilkada Sidoarjo 2024?
Saya berpendapat semua kategori ada. Ada berita-berita politik tentang kesuksesan rezim. Kesuksesan program betonisasi, penataan kota, dan sebagainya. Ada pula berita-berita politik tentang pentingnya perubahan pemerintahan. Karena bupati terjaring kasus OTT KPK, bupati mendatang harus antikorupsi. Ganti bupati. Bahkan, muncul diskursus ganti partai penguasa.
Berita-berita skeptis dan pesimistis juga ada. Percuma saja Pilkada Sidoarjo 2024 menjadi perhatian dan diramaikan. Tidak banyak faedahnya. Pada akhirnya, ganti-ganti bupati juga ujung-ujungnya korupsi. Sudah tiga kali kasus korupsi terjadi di Sidoarjo. Ganti bupati nasibe rakyate yo wis ngene-ngene ae.
Di sini, pengambilan sudut pandang media massa menentukan itu. Profesionalitas jurnalis dan medianya sangat berperan. Seorang wartawan muda bertanya kepada saya.
”Sebentar lagi Pilkada Sidoarjo, apakah ada jurnalisme politik yang perlu jadi acuan?”
Jurnalis milenial itu malah jauh lebih dalam mengejar.
”Apakah berita-berita Pilkada Sidoarjo selama ini jurnalisme politik? Apakah selama ini tulisan-tulisan tentang Pilkada Sidoarjo itu mencerminkan jurnalisme politik yang baik?”
Jurnalisme politik, dalam pemahaman saya, merupakan proses kegiatan untuk menghasilkan produk atau karya jurnalistik. Mulai perencanaan, peliputan (wawancara, verifikasi, konfirmasi), editing (fakta, data, bahasa), desain, dan seterusnya. Sampai berita tersiar di masyarakat.
Aliran, faham, gaya jurnalisme politik akan menghasilkan yang disebut jurnalistik politik. Produk karya jurnalistik yang bersifat politik. Bagaimana pemahaman seorang wartawan tentang jurnalisme politik, itulah yang akan menghasilkan jurnalistik politik. Bentuknya berita-berita politik.
Seorang jurnalis adalah pekerja profesional. Dalam menjalankan kerja profesional, jurnalis dituntut menjalankan jurnalisme politik yang ideal. Minimal memenuhi standar.
Ibaratnya, seorang dokter bisa melakukan malpraktik. Seorang jurnalis pun sama. Malpraktik seperti itu terjadi ketika mereka kurang memiliki atau tidak menjalankan pengetahuan, kompetensi, dan etika profesi secara benar.
Ada contoh tentang berita-berita Pilkada Sidoarjo. Seorang bakal calon bupati menyatakan akan maju dalam Pilkada Sidoarjo. Deklarasi dilakukan. Padahal, sebenarnya, tidak ada niat benar-benar mencalonkan diri sebagai bupati. Karena itu, pencalonannya pun berubah-ubah. Calon bupati, calon wakil bupati, calon apa saja.
Ada pula calon yang hanya numpang tenar di Pilkada Sidoarjo. Setiap menjelang pilkada, dia ikut partisipasi. Daftar ke partai, pasang poster dan baliho, konferensi pers. Nama pun melambung. Dikenal masyarakat. Lucu. Imut. Tampil beda dengan gaya unik.
Bagi calon spesialis pendaftar itu, katut kesebut saja sudah puas. Popularitas, akseptabilitas, elektabilitas, maupun isi tas jauh dari kata pas. Pas-pasan saja tidak. Mustahil dia bakal sampai ke kontestasi. Lha wong modal cuma cukup hafal butir-butir ideologi dan bunyi undang-undang dasar.
Ada pula bakal calon destroyer. Dia ikut tampil. Mewarnai dinamika politik lokal Pilkada Sidoarjo. Namun, tugasnya adalah menggoyang peta politik. Menciptakan manuver. Bermain wacana. Melempar isu. Dia sendiri sebenarnya tidak pernah serius mau maju pilkada. Namun, ada tugas politik khusus dengan target-target khusus pula.
Kalau yang berikut ini, barulah calon-calon serius dalam Pilkada Sidoarjo 2024. Tim para calon memasang baliho gede-gede. Membangun infrastruktur politik. Menghidupkan mesin politik yang lama adem. Mengejar ketinggalan popularitas, akseptabilitas, dan elektabilitas. Menghimpun isi tas. Langkah-langkahnya pun jelas. Taktis. Terukur.
Dia juga mendaftar ke partai. Bahkan, beberapa partai. Melakukan gerakan-gerakan elektoral yang signfikan. Membentuk citra yang kuat di masyarakat. Melakukan lobi-lobi politik. Masuk ke episentrum kekuatan politik. Ikhtiarnya bahkan sampai DPP partai di Jakarta.
Dalam Pilkada Sidoarjo 2024, jumlahnya belum banyak. Sebut saja, calon petahana H Subandi, Ahmad Amir Aslichin, H Usman, Khulaim Djunaidi, H Sugiono Adi Salam, dan Hj Mimik Idayana. Nama-nama lain belum sampai pada tahap serius seperti mereka. Meski, bisa saja, muncul kejutan nama baru yang terseret masuk ke magnit-magnit tersebut.
Memang ada kandidat yang tidak tampak melakukan gerakan serius. Tapi, sosok itu memang sudah besar. Dia ketua ormas terbesar di Indonesia. Lebih-lebih di Kabupaten Sidoarjo. Kekuatan pemilihnya tidak meragukan. Dia adalah KH Zainal Abidin.
Ada pula Bambang Haryo Sukartono (BHS) dengan parameter berbeda. Memang, gerakannya tidak terlihat masif dulu di permukaan. Tapi, infrastrukturnya sangat mapan. Ibaratnya, BHS sudah punya mesin jet. Tinggal melesat cepat jika benar ingin maju di Pilkada Sidoarjo.
Bagaimana agar jurnalisme politik di Sidoarjo benar-benar menghasilkan jurnalistik politik yang berkualitas?
Yang pertama, mari angkat orang-orang yang benar-benar serius. Merekalah bakal calon sejati dalam Pilkada Sidoarjo ini. Sosok, latar belakang, visi-misi, dan hasrat politik mereka sangat penting diulas. Dipelototi. Dikaji. Dibongkar. Calon yang tidak serius, buat apa dibesar-besarkan?
Yang kedua, galilah informasi dari sumber berita yang benar-benar valid. Sumber yang punya otoritas, kapabilitas, dan relevansi kuat. Penyelenggara Pilkada Sidoarjo. Partai-partai peserta politik. Figur-figur calon bupati dan wakil bupati sendiri.
Informasi tentang mereka harus diuji. Di atas permukaan maupun di bawah permukaan. Misalnya, siapa sebenarnya tokoh-tokoh di balik bacabup Sugiono Adi Salam? Belum banyak yang tereksplorasi. Dia begitu serius. Daftar lewat PDIP sekaligus PKB. Jelas dia tidak main-main.
Satu contoh lagi. Seorang bakal calon diklaim telah mengantongi rekom partai besar sebagai calon bupati. Sudah ada di tangan. Optimistis. Tapi, klaim itu muncul dari sumber yang otoritas dan kapabilitasnya belum jelas.
Dalam proses hunting, sumber berita harus A-1, A-2, A-3, dan seterusnya. Sumber kategori primer, skunder, atau cuma ”ember”. Harus selektif. Sebab, di bawah permukaan, muncul kabar bahwa dia justru melamar menjadi wakil bupati untuk calon bupati lain. Sumber informasinya A-1.
Dengan kata lain, berita politik sebagai produk jurnalisme politik tidak boleh spekulatif. Jangan semua omongan langsung ditulis. Semua sumber diangkat. Mentah-mentah. Tanpa verifikasi, tanpa konfirmasi. Harus diuji dulu kevalidan informasinya. Otoritas, kapabilitas, dan relevansi sumbernya.
Jurnalisme politik mencerminkan profesionalisme jurnalis sebagai pelayan publik. Jurnalistik politik merupakan media atau alat untuk melayani masyararakat.
Jurnalistik politik memang beragam formatnya. Feature, straight news, kolom, softnews, dan sebagainya. Namun, setidaknya, penulisan berita politik tetap perlu patuh pada kaidah pokok jurnalisme dan pedoman penulisan berita. (*)
*) Fathur Roziq, Kepala Biro dan Jurnalis Senior Ketik.co.id di Sidoarjo
**) Isi tulisan di atas menjadi tanggung jawab penulis
*) Karikatur by Rihad Humala/Ketik.co.id
**) Ketentuan pengiriman naskah opini:
• Naskah dikirim ke alamat email redaksi@ketik.co.id.
• Berikan keterangan OPINI di kolom subjek
• Panjang naskah maksimal 800 kata
• Sertakan identitas diri, foto, dan nomor HP
• Hak muat redaksi