KETIK, SURABAYA – Dinas Tenaga Kerja dan Transmigrasi (Disnakertrans) Jawa Timur memanggil puluhan mantan pekerja CV Sentoso Seal. Pemanggilan ini terkait dugaan penahanan ijazah oleh pihak perusahaan milik Jan Hwa Diana.
"Hari ini kami panggil 10 pekerja (eks karyawan CV Sentoso Seal). Semuanya hadir, meski beberapa hanya bisa memberi keterangan singkat karena juga mendapat panggilan dari Wali Kota Surabaya, Eri Cahyadi," ujar Kepala Disnakertrans Jatim, Sigit Priyanto, Senin, 21 April 2025.
Hingga siang hari, baru satu orang pekerja yang berhasil dimintai keterangan secara lengkap oleh tim pengawas Disnaker. Hasil dari proses ini nantinya akan diteruskan ke Gubernur Khofifah Indar Parawansa serta Kepala Dinas Pendidikan, Aries Agung Paewai.
Pemprov Jatim siap membantu para pekerja yang terdampak atas penahanan ijazah tersebut. Termasuk berkoordinasi dengan Dinas Pendidikan untuk penerbitan ulang ijazah.
"Sesuai perintah bu Gubernur, nantinya kami akan menginformasikan (para eks karyawan ini) lulusan dari mana. Ke depan Bu Gubernur akan membantu kerja sama dengan Dinas Pendidikan terkait ijazah," tutur Sigit.
Kendati demikian, proses hukum terhadap CV Sentoso Seal tetap akan dilanjutkan. Sebab perusahaan tersebut dinilai tidak kooperatif.
"Uniknya, dari 16 perusahaan yang dilaporkan menahan ijazah, hampir semuanya langsung mengembalikan saat dipanggil. Hanya CV Sentoso Seal yang hingga kini tidak menunjukkan itikad baik," tegas Sigit.
Tak hanya soal ijazah, laporan lain dari para eks pekerja juga mengungkap adanya pelanggaran ketenagakerjaan lain. Mulai tentang upah di bawah standar hingga aturan internal yang merugikan pekerja. Kemudian penerapan denda yang tidak wajar jika diketahui melanggar aturan yang telah ditentukan pemilik perusahaan.
Sebagai informasi, tindakan menahan ijazah melanggar Peraturan Daerah Jawa Timur Nomor 8 Tahun 2016 Pasal 42. Dalam aturan tersebut bahwa pengusaha dilarang menyimpan dokumen asli milik pekerja sebagai jaminan pekerjaan.
Pelanggar bisa dikenakan sanksi pidana kurungan hingga 6 (enam) bulan atau denda maksimal Rp50 juta.
"Kami akan terus mengawal kasus ini hingga tuntas. Perlindungan terhadap hak-hak pekerja tidak boleh diabaikan," pungkasnya. (*)