KETIK, PALEMBANG – Jazz, genre yang satu ini kerap kali diasosiasikan dengan para penikmat yang sudah berumur. Hal ini bukan tanpa alasan, sebab masa keemasan jazz berlangsung sekitar tahun 1920-an sampai 1940-an.
Tak jarang, orang-orang menganggap genre ini sebagai seni musik spesifik yang ‘harus’ dinikmati tiap melodinya. Musik jazz dianggap kompleks dengan improvisasi dan harmoni yang rumit, sehingga sulit untuk didekati.
Maka wajar saja jika tak banyak orang yang menyukai aliran musik berbasis improvisasi ini. Oleh karena itu, pendengarnya sering dianggap sebagai orang berwawasan luas, intelektual, atau memiliki selera musik yang berkelas—karena musik jazz tak bisa diterima begitu saja.
Jazz cenderung banyak dimainkan di lingkungan yang menyajikan suasana santai, seperti di kafe atau bar. Biasanya, kafe-kafe atau bar yang membawakan alunan musik jazz dikenal sebagai tempat santai yang menyajikan suasana rileks, introspektif, dan tempat untuk menikmati hidup dengan pelan.
Akan tetapi, tak sepenuhnya pernyataan di atas adalah benar, karena pada kenyataannya, penikmat jazz sangat beragam dan berasal dari berbagai latar belakang.
Contohnya, pada Festival Jazz Internasional Suara Musi yang diselenggarakan oleh Pemerintah Kota Palembang, Sabtu malam, 30 November 2024, orang-orang dari pelbagai macam latar belakang berkumpul di Pelataran Benteng Kuto Besak, menyaksikan pagelaran musik jazz terbesar di Sumatera.
Ada anak-anak, ada orang dewasa. Ada yang sudah menjadi pendengar setia jazz, ada pula yang baru mendengar istilah jazz. Seluruhnya bersatu padu memusatkan telinga untuk mendengar melodi-melodi jazz di tepian Sungai Musi.
Mereka yang tua dan tumbuh bersama jazz
Pada kesempatan itu, Ketik.co.id berhasil berbincang dengan Mosma (52), salah satu penikmat musik jazz asal Kenten, Kota Palembang. Mosma adalah pendengar jazz setia sejak dia duduk di bangku sekolah menengah pertama (SMP).
Mosma memang meniatkan diri untuk datang di festival jazz pertama di Kota Pempek. Berbekal informasi yang beredar di Instagram, Mosma meluangkan waktunya di akhir pekan untuk menyaksikan pesta musik jazz tersebut.
Pria itu sama sekali tidak ingin melewatkan kesempatan emasnya untuk hadir di Festival Jazz Internasional Suara Musi—festival jazz pertama yang dia saksikan secara langsung. Setelah matahari terbenam, Mosma langsung bergegas ke lokasi panggung dengan membawa ponselnya yang sudah terisi penuh.
Kedatangan Mosma sendiri menantikan penampilan artis favoritnya, yakni Fariz RM dan Imaniar Noorsaid. Namun, dia juga tidak ingin membuang waktunya hanya untuk menanti sang idola. Dia menunggu artis dambaannya sembari mendengar penampilan band-band lokal.
Sejak band pertama tampil, Mosma sudah sedia mengangkat tangannya sembari menggenggam ponsel pintarnya. Dia menyalakan kamera ponselnya dan merekam tiap detik lagu yang dibawakan oleh sang artis. Mosma bertekad tidak akan pulang sebelum baterai ponselnya habis.
“Sampai baterai habis (baru pulang). Memang niat datang ke sini mau lihat Fariz RM dan Imaniar,” kata Mosma.
Mosma sendiri turut mengamini stereotip-stereotip masyarakat tentang musik jazz itu sendiri. Baginya, musik jazz menunjukkan karakter sang musisi yang berkualitas dan mahir dalam bermain instrumen.
Baginya, hal paling apik dalam musik jazz adalah saat di mana para musisi mengimprovisasi lagu jazz yang mereka bawakan. Menurut Mosma, lantunan melodi yang dimainkan saat improvisasi memberikan kejutan yang elok dan menawan.
“Musik jazz itu ada improvisasi, jadi lebih seru, tidak kaku,” ungkapnya.
Sebagai festival internasional, Mosma sangat terkesan dengan pemilihan aliran musik jazz. Menurutnya, setiap festival musik yang diselenggarakan secara internasional perlu menghadirkan musik yang dikenal luas di seluruh belahan dunia.
Selain membawa orang-orang dari luar negeri, festival musik seperti ini, menurut Mosma, juga dapat mengenalkan musisi-musisi lokal yang tak kalah mahir dalam bermusik.
“Kalau festival internasional ‘kan ya harus musik yang seperti ini. Lebih bagus, lah, jadi ada alternatif musik selain dangdut. Karena yang main berkualitas, orang-orang yang datang juga rata-rata mereka lebih terdidik,” tutur dia.
Oleh karena itu, dia berharap pemerintah dapat mempertahankan hiburan-hiburan berkelas seperti ini. Tak melulu jazz, semua musik bisa dirayakan bersama dengan gembira dan penuh decak kagum, apabila pemerintah memang serius menyelenggarakan acara-acara besar tiap tahun.
Selain itu, Mosma juga menginginkan pemerintah yang lebih tertib dalam menjaga keamanan selama acara berlangsung. Tak jarang, aksi kriminal kecil-kecilan justru membuat acara mewah jadi himpunan sumpah serapah.
“Harusnya memang seperti ini, dijaga supaya aman. Kalau saya perhatikan di jalanan Singapura, jam 12 malam saja masih ada yang baca buku, tidak ada yang mengganggu. Di sini juga harus ada tempat-tempat seperti itu,” tegasnya.
Para penonton yang menyaksikan Festival Jazz Internasional Suara Musi. Tampak seorang pria tengah menggendong anak perempuannya agar bisa melihat lebih jelas. (Foto: Wisnu Akbar Prabowo/Ketik.co.id)
Orang-orang muda yang penuh rasa penasaran
Putra (21) datang bersama salah satu temannya di Pelataran Benteng Kuto Besak. Dia datang untuk melihat pagelaran Festival Jazz Internasional Suara Musi. Kehadirannya di festival tersebut disambut oleh penampilan musisi yang tidak ia ketahui.
“Ini sekarang penampilan siapa, ya?” ungkapnya dengan memasang muka polos.
Dia sendiri juga tidak tahu akan menyaksikan penampilan siapa pada malam hari itu. Menurut pengakuannya, dia mengunjungi pesta musik jazz itu karena rasa penasarannya.
“Nggak tahu mau lihat siapa. Saya ke sini karena penasaran banyak diunggah di Instagram,” lanjut Putra.
Remaja asal Sekanak, Kota Palembang itu memang bukan penikmat jazz. Putra hanyalah pendengar musik biasa. Dengan kata lain, Putra hanya mendengarkan musik atau lagu yang sedang tenar di pasaran.
Meski telinganya asing dengan alunan musik jazz, namun Putra tetap bisa menikmati alirannya. Dalam sejumlah kesempatan, dia mengaku terpukau dengan bakat yang ditampilkan oleh para musisi jazz.
Walau demikian, Putra belum begitu memahami karakteristik musik jazz secara utuh. Dalam pandangannya, para musisi di panggung banyak adu bakat. Tak jarang, para musisi bergantian bermain instrumen—memainkan instrumen secara solo. Dia kagum, tapi di dalam pikirannya, Putra masih bingung.
Terlepas dari pengalaman pertamanya mendengarkan musik jazz, Putra tetap merasa terhibur dengan pagelaran pada malam hari itu. Bagi Putra, festival jazz itu bagai angin segar di akhir pekan. Itu adalah suatu hal baru yang menumbuhkan rasa penasaran dalam diri Putra.
Putra tak ingin angin segar seperti ini berhembus begitu saja. Dia ingin angin segar terus bertiup di Kota Palembang. Artinya, Putra berharap akan kehadiran hal-hal baru di dunia hiburan yang bisa dinikmati Wong Kito Galo.
“Iya, seru kalau begini. Biasanya bosan, kalau mau liburan nggak tahu mau ke mana, paling mentok ya ke sini (Benteng Kuto Besak). Tetapi biasanya gitu-gitu aja, nggak ada yang baru,” ceritanya.
Seorang penonton berusaha mengabadikan penampilan Imaniar Noorsaid menggunakan ponselnya di Festivel Jazz Internasional Suara Musi, Kota Palembang, Sabtu malam, 30 November 2024. (Foto: Wisnu Akbar Prabowo/Ketik.co.id)
Rakyat butuh hiburan
Pemerintah Kota Palembang melalui Inspektur Utama Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional (BKKBN) Kementerian Kependudukan dan Pembangunan Keluarga, Ucok Abdulrauf Damenta mengatakan bahwa agenda festival musik sudah masuk ke dalam Peraturan Daerah (Perda) Musi 2045 untuk diselenggarakan setiap tahun.
Menjelang akhir tahun 2024 pun, Ucok menjanjikan sejumlah sarana hiburan yang bisa dinikmati oleh masyarakat Kota Palembang, khususnya saat menjelang pergantian tahun.
Beberapa hiburan yang dia maksud adalah air mancur menari, pengoperasian Ampera Tower yang dibuka untuk umum, atraksi cahaya bermotif songket oleh lampu di Jembatan Ampera, serta atraksi 1.000 drone di langit Benteng Kuto besak.
Dengan adanya hiburan tersebut, Ucok berharap masyarakat Kota Palembang tak lagi kekurangan destinasi wisata, sehingga mereka tak perlu repot-repot pergi ke luar daerah hanya untuk mencari hiburan semata.
“Malam tahun baru kita akan banyak pertunjukkan, ada air mancur menari, kemudian songket yang diatraksikan oleh lampu di jembatan ampere. Pada malam itu juga, Pj Wali Kota Palembang akan menerbangkan 1.000 drone di atas Benteng Kuto Besak,” tuturnya. (*)