Ing ngarsa sung tuladha, ing madya mangun karsa, tut wuri handayani.
Merawat ingatan dengan memaknai kembali atas semboyan pendidikan nasional yang tidak lapuk akan zaman dan terus menjadi tonggak utama pendidikan dalam mencetak generasi bangsa Indonesia menuju manusia merdeka yang seutuhnya lahir dan batin. Semboyan yang digagas oleh bapak Pendidikan Indonesia, Ki Hajar Dewantara adalah roh dari pendidikan Indonesia yang kemudian diperingati sebagai Hari Pendidikan Nasional (Hardiknas) setiap tanggal 2 Mei.
Peringatan Hardiknas tentu bukan acara seremonial belaka, melainkan memberikan makna penting untuk merefleksikan arah dan tujuan pendidikan di Indonesia. Hardiknas maupun semboyan pendidikan bukan sekadar warisan yang harus dirawat, melainkan dikembangkan dalam berbagai bentuk konkret khususnya kebijakan pemerintah dalam mencerdaskan kehidupan bangsa seperti, program Kampus Merdeka dan Diktisaintek Berdampak.
Pendidikan tidak akan pernah lepas dari semangat kemanusiaan, sehingga akan menjadi keliru jika pendidikan tidak ditujukan untuk kemanusiaan. Hardiknas selalu mengingatkan sekaligus menegaskan bahwa pendidikan harus memerdekakan dan memanusiakan setiap individu. Bahwa menjadi teladan dan penggerak adalah tanggung renteng bagi civitas akademika, pemerintah, dan orang tua peserta didik untuk bergotong royong menciptakan pendidikan yang unggul sekaligus membangun karakter bangsa Indonesia.
Menyambut Hardiknas pada 2 Mei 2025, Kementerian Tinggi, Sains, dan Teknologi (Kemendiktisaintek) meluncurkan program Diktisaintek Berdampak. Program yang dilandaskan pada Asta Cita Prabowo-Gibran yang kemudian dirumuskan menjadi 3 pilar utama pada program Diktisaintek Berdampak yaitu, memperkuatan sumber daya manusia unggul, kampus sebagai simpul pertumbuhan ekonomi, dan pusat riset serta akselator kebijakan strategis.
Tidak bisa dinafikkan bahwa perubahan nomenklatur dari Kampus Merdeka ke Diktisaintek Berdampak erat kaitannya dengan kosmetik politik dan legitimasti rezim pemerintah pusat dalam mengemas kebijakan baru. Khususnya kebijakan terkait pendidikan tinggi yang kurang lebih selama 10 tahun terakhir secara bertahap mulai bermetamorfosis dengan istilah dan bentuk yang baru.
Menteri Brian Yuliarto pada peluncuran Diktisaintek Berdampak menyampaikan bahwa terdapat pergeseran paradigma perguruan tinggi yang mana pendidikan tinggi tidak hanya berkutat pada penelitian dan pengembangan sains serta teknologi, tetapi juga berkontribusi pada pertumbuhan ekonomi dan sosio-ekologis dengan bingkai pembangunan berkelanjutan.
Pergeseran paradigma pendidikan tinggi yang digagas Kemendiktisaintek dewasa ini, sangat mencolok pada luaran yang dihasilkan pegururan tinggi. Orientasi yang tidak hanya mencetak lulusan siap kerja saja, juga menggeser pemikiran kampus sebagai pengahasil artikel riset berstandar nasional maupun internasional semata demi akreditasi. Sebaliknya, hasil riset tidak memiliki dampak kepada masyarakat.
Diktisaintek Berdampak dalam pernyataannya, Menteri Brian, bahwa program tersebut sebagai tindak lanjut dari program Kampus Merdeka. Lantas, pergeseran paradigma ini apakah mengharuskah pergantiaan nomenklatur program atau justru ditujukan untuk mengikis sedikit demi sedikit program warisan Nadiem Makarim?
Pergerasan paradigma pendidikan tinggi tidak bisa diartikan sebagai suatu keberlanjutan, melainkan adanya perubahan fundamental dalam sistematika berpikir. Kampus Merdeka yang bertujuan untuk memberikan ruang terbuka dan inklusif bagi seluruh mahasiswa dalam menggali potensi diri hingga mempersiapkan mahasiswa untuk masuk di dunia kerja dengan orienstasi peningkatan kualitas perguruan tinggi.
Rasa-rasanya, jika dikatakan Diktisaintek Berdampak berintikan suatu pergeseran paradigma maka, dapat disimpulkan bahwa program ini bukan sebagai keberlanjutan atau tindak lanjut dari Kampus Merdeka karena keberlanjutan adalah dua hal yang berbeda dengan pergerasan paradigma. Ini menunjukkan bahwa tidak hanya perubahan nomenklatur program pendidikan tinggi, tetapi juga perubahan substansi yang signifikan karena dilakukuan perubahan nilai-nilai yang bersifat fundamental.
Menciptakan pendidikan tinggi dengan luaran yang berkualitas tidak hanya berkutat pada program-program di atas saja, alih-alih untuk menyongsong visi Indonesia Emas 2045. Lebih dari itu, pencerdasan kehidupan bangsa bukan sekadar tentang momentum adanya bonus demografi, tetapi bagaimana tujuan negara sebagai amanat konstitusi dapat terpenuhi dalam mencerdaskan kehidupan bangsa serta tercapainya kemaslahatan dengan sokongan perguruan tinggi melalui konsep dasar Tri Dharma Perguruan Tinggi.
Mencanangkan pendidikan tinggi yang berkualitas tentu langkah yang patutu didukung. Namun, kita tidak boleh menutup mata terhadap inkonsistensi program yang kerap tersembunyi dibalik berbagai perubahan. Perubahan tersebut bukan sebatas nomenklatur, melainkan juga menyentuh arah dan konsep dasar yang telah dibangun dan diwariskan pada rezim-rezim sebelumnya. Akibatnya, setiap program pendidikan tinggi yang baru kerap membutuhkan waktu penyesuaian kembali, yang berisiko menghambar kesinambungan dan efektivitasnya.
Tentu, program Ditkisaintek Berdampak dengan Kampus Merdeka belum bisa dianalisis efektivitasnya mengingat program yang baru diluncurkan 2 mei 2025 masih dalam tahap sosialisasi. Namun, kita dapat menganalisis perbandingan nilai-nilai dasar dan luaran yang diharapkan dikemudian hari pada program Diktisaintek Berdampak. (*)
*) Azka Rasyad Alfatdi adalah Presiden Eksekutif Mahasiswa Universitas Brawijaya 2025
**) Isi tulisan di atas menjadi tanggung jawab penulis
***) Karikatur by Rihad Humala/Ketik.co.id
****) Ketentuan pengiriman naskah opini:
- Naskah dikirim ke alamat email [email protected].
- Berikan keterangan OPINI di kolom subjek
- Panjang naskah maksimal 800 kata
- Sertakan identitas diri, foto, dan nomor HP
- Hak muat redaksi.(*)