Setiap hari kita disuguhi berita kekejian tentara zionis Israel. Bukan mempersoalkan siapa yang benar atau siapa yang salah, tetapi tulisan ini tentang keberimbangan.
Setiap hari kita mendapatkan berita tentang tentara Israel yang membombardir jalanan seputar Jalur Gaza. Rumah sakit atau gedung perkantoran yang dibom, bagaimana nasib anak-anak dan para perempuan yang kehilangan suami dan anaknya, atau kerusakan fasilitas kesehatan dan camp pengungsian.
Setiap hari penderitaan rakyat Palestina yang kita dapatkan. Dari awal sampai saat ini, seperti pekan olahraga, bisa kita hitung jumlah korban akibat perang itu selalu bertambah setiap hari. Rasanya kita makin geram dan marah pada Bangsa Israel. Selalu itu saja yang kita dapatkan di berbagai media massa, baik secara langsung maupun rekaman.
Embedded (mengikuti) dengan apa yang kita saksikan lewat layar kaca ini, bukanlah hal yang baru. Ketika konflik di Papua berkecamuk, hampir sama kondisinya. Muncul istilah yang diberikan oleh militer kita pada gerakan itu sebagai KKB (kelompok kriminal bersenjata).
Jurnalis Indonesia selalu mengikuti pihak TNI dalam peliputannya. Sehingga yang terlihat adalah tangkapan mata jurnalis kita dan pihak TNI. Jarang sekali kita melihat pemberitaan dari sisi kelompok Bintang Kejora. Pemberitaan semacam ini memang aman. Artinya, dari sisi keselamatan jurnalis. Tetapi prinsip cover both side tidak teraih.
Kita tidak bisa melihat versi dari KKB. Bahkan kita tidak bisa melacak asal muasal mereka memberontak karena ibarat sebuah pertandingan, hanya ditampilkan siapa yang menang dan siapa yang kalah. Tidak kelihatan resolusi konflik kemelut itu hingga sekarang.
Framing Berpihak
Hingga saat ini kita mendapatkan sebuah bingkai (faming) Israel masih saja melancarkan serangannya. Dunia internasional pun tidak ada yang ditakutkan. Beberapa keputusan badan dunia tidak diindahkan. Ironisnya, bantuan pangan dunia dari berbagai negara ditolak masuk ke kawasan Palestina oleh Israel. Seolah rakyat Palestina ditunggu kematian akibat kelaparan.
Sejak lama pemberitaan sering diingatkan untuk objektif. Objektivitas (objectivity) membuat fakta harus dipisahkan dari opini jurnalis yang melaporkan kepada masyarakat dengan bahasa yang netral dan teknik pelaporan yang kompeten (Hackett, 1984).
Dalam pemberitaan yang berbau konflik seperti konflik Palestina-Israel maupun konflik di Papua, membahas objektivitas pemberitaan sangat berkaitan dengan keberimbangan dalam menampilkan pihak-pihak yang tengah berseteru.
Galibnya, kondisi yang aktual (sesuai dengan keadaan) tidak selalu baik kalau diulang-ulang (repetisi) dalam konteks ini. Memang Israel kejam, Israel anti-Palestina, Indonesia sejak awal anti-Israel, Indonesia boikot produk-produk Israel, semua orang sudah tahu fakta ini. Kita akan semakin benci Israel jika hal ini diulang-ulang.
Pemberitaan Palestina vs Zionis Israel disajikan dengan framing yang berbeda oleh media barat seperti CNN, Fox News dan lainnya. Publik disajikan berita dari sisi Zionis Israel dengan semua argumen pembenarannya. Penderitaan rakyat Palestina digambarkan sebagai akibat dari ulah gerakan milisi Hamas dan gerakan milisi Hizbullah. Tentara Israel digambarkan sebagai pihak yang merespons seragan milisi.
Gambaran senada juga muncul dalam pemberitaan konflik Papua di media massa Australia. Konflik di Papua digambarkan oleh media massa asal Australia dari sudut pandang kelompok bintang kejora. Tentara Indonesia dianggap kejam, dan warga Papua dipotret berada dalam penderitaan.
Kondisi ini merugikan publik yang memiliki akses terbatas terhadap saluran komunikasi massa. Mereka yang bisa menikmati akses internet secara mudah bisa mendapatkan ragam pilihan pemberitaan melalui streaming media massa dengan framing dari kedua belah pihak.
Bagi publik yang hanya mampu mengakses media massa nasional lewat televisi, misalnya, ragam pilihannya sangat terbatas. Mereka bisa “dikendalikan” oleh televisi. Sudah barang tentu agenda setting televisi tidak berkesuaian dengan pilihan masyarakat sebagai pemirsa.
Agenda ke Depan
Ada berbagai hal yang bisa dilakukan ke depan. Satu, mengutip Christ Frost (2015) dalam buku berjudul “Journalism, Ethics and Regulation”, Jurnalis memerlukan konsep yang lebih luas dari sebuah netralitas untuk berlaku adil terhadap para konsumen berita. Jurnalis perlu ingat bahwa publik berhak untuk mengetahui situasi dari berbagai sisi, di sinilah jurnalis perlu mengingat lagi kewajiban untuk cover both sides. Sekali lagi, memberikan keberimbangan dalam berita yang dihasilkan.
Kedua, publik perlu cerdas dalam mengkonsumsi konten media massa, termasuk berita. Diakui, opini yang dimiliki jurnalis sangat mungkin mencampuri pandangannya terhadap sebuah fakta.
Literasi media sangat penting dalam situasi ini. Publik perlu proaktif mencari sudut pandang lain dari berita-berita yang diterima di media massa, tak menelan bulat-bulat apapun yang diberitakan. Sumber informasi lain selain media massa perlu menjadi sandingan saat berupaya memahami pokok masalah dari konflik yang diberitakan.
Terakhir, perlu ada ruang diskusi yang mudah diakses oleh publik dalam membicarakan berbagai berita, terutama yang berunsur konflik. Forum diskusi akan memberikan ruang bagi kelompok masyarakat yang memiliki keterbatasan akses untuk mendapatkan informasi dari media massa yang tak terjangkau olehnya sehari-hari. Bisa saja diskusi ini berkembang menjadi forum yang bersifat crowdsourcing yang telah dibuktikan melalui berbagai penelitian menjadi salah satu strategi penting, bahkan efektif dalam menghalau hoaks. (*)
*) Dr. Yayan Sakti Suryandaru, S.Sos., M.A. adalah Dosen di Departemen Ilmu Komunikasi-Universitas Airlangga, Surabaya dengan konsentrasi kajian Jurnalisme. Selain melakukan kegiatan tridharma perguruan tinggi, penulis aktif mempublikasikan beragam hasil riset dan hasil pengamatan sosial di sejumlah jurnal ilmiah dan media massa.
**) Isi tulisan di atas menjadi tanggung jawab penulis
***) Karikatur by Rihad Humala/Ketik.co.id
****) Ketentuan pengiriman naskah opini:
- Naskah dikirim ke alamat email [email protected].
- Berikan keterangan OPINI di kolom subjek
- Panjang naskah maksimal 800 kata
- Sertakan identitas diri, foto, dan nomor HP
- Hak muat redaksi. (*)