Jangan Reduksi Kebudayaan Jadi Destinasi

4 Mei 2025 11:43 4 Mei 2025 11:43

Thumbnail Jangan Reduksi Kebudayaan Jadi Destinasi
Oleh: Mohammad Hairul*

Rencana peleburan bidang kebudayaan ke dalam satu atap bersama Dinas Pariwisata dan Olahraga di Kabupaten Bondowoso menuai keprihatinan. Keprihatinan ini bukan tanpa alasan. Ada kekhawatiran yang sangat beralasan bahwa kebudayaan yang merupakan fondasi identitas dan nilai masyarakat, akan semakin kehilangan ruangnya dalam tata kelola pemerintahan daerah.

Penting untuk dipahami bahwa antara kebudayaan, pariwisata, dan olahraga terdapat perbedaan mendasar dalam orientasi, pendekatan, dan tujuan. Kebudayaan berkaitan dengan memori kolektif, ekspresi nilai, pelestarian tradisi, dan penguatan identitas lokal. Sementara pariwisata dan olahraga cenderung memiliki dimensi komersial, hiburan, dan prestasi.

Menyatukan ketiganya ke dalam satu dinas ibarat mencampur tiga jalur kereta dengan tujuan berbeda ke satu rel sempit yang sama: tidak efisien dan berisiko tabrakan kepentingan.

Dalam praktiknya, kebijakan penggabungan ini akan menciptakan beban kerja yang sangat tidak proporsional. Dinas hasil peleburan akan dibebani urusan yang sangat beragam dan memerlukan pendekatan spesifik masing-masing.

Dikhawatirkan, program-program kebudayaan akan tersisih karena kalah dalam hal urgensi, popularitas, maupun potensi ekonomi dibanding kegiatan olahraga dan pariwisata. Dalam jangka panjang, ini akan menggerus eksistensi budaya lokal dan melemahkan kerja-kerja pelestarian yang selama ini sudah dijalankan dengan penuh keterbatasan.

Lebih jauh, realita menunjukkan bahwa para pelaku budaya selama ini sudah berjalan hampir tanpa sokongan sistematis dari pemerintah. Mereka berkarya dengan swadaya, menjaga warisan leluhur dengan dedikasi, dan mempertahankan tradisi dari generasi ke generasi tanpa pamrih.

Dalam kondisi seperti ini, alih-alih memberikan dukungan lebih besar dan membentuk lembaga khusus kebudayaan sebagaimana diamanatkan dalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2017 tentang Pemajuan Kebudayaan, pemerintah justru mempertimbangkan penggabungan yang berisiko memperlemah posisi kebudayaan dalam struktur birokrasi.

Padahal, UU tersebut dengan jelas menekankan pentingnya kelembagaan khusus dalam pemajuan kebudayaan. Kehadiran lembaga yang berdiri sendiri memungkinkan perencanaan, pelaksanaan, serta evaluasi program kebudayaan secara lebih fokus, terarah, dan berkelanjutan.

Lebih penting lagi, lembaga ini bisa menjadi rumah bagi para pelaku budaya lokal, menjadi mitra dialog, serta penggerak utama dalam melestarikan dan mengembangkan potensi budaya daerah.

Jika peleburan tetap dilakukan, maka ancaman yang paling nyata adalah terpinggirkannya kekayaan budaya lokal Bondowoso. Warisan seperti kentongan, sastra tutur, komunitas seni dan literasi, ritual tradisional, hingga ekspresi budaya lisan lainnya sangat membutuhkan perhatian khusus.

Mereka tidak bisa disamakan dengan sekadar promosi wisata atau event olahraga. Mereka adalah ruh dari peradaban lokal yang harus dirawat dengan pendekatan nilai, bukan semata kuantitas output.

Lebih memprihatinkan lagi, hingga saat ini belum banyak SDM di pemerintahan daerah yang memiliki latar belakang atau kepedulian mendalam terhadap kebudayaan. Tanpa tenaga ahli dan pemahaman yang tepat, penyatuan ini akan semakin menjauhkan kebijakan budaya dari konteksnya yang sesungguhnya. Apa yang terjadi kemudian bisa menjadi bencana kultural: budaya ditinggalkan, birokrasi dimenangkan.

Oleh karena itu, suara penolakan dari berbagai komunitas dan pegiat budaya di Bondowoso harus dipahami sebagai bentuk tanggung jawab moral dan sosial. Ini bukan soal menolak kebijakan, tetapi menjaga agar budaya tetap mendapatkan tempat yang layak dalam pembangunan daerah.

Ketika kebijakan publik tidak berpihak pada nilai-nilai budaya, maka yang hilang bukan hanya warisan masa lalu, tetapi juga masa depan generasi penerus.

Sudah saatnya pemerintah daerah berpikir lebih strategis. Alih-alih melebur, mengapa tidak memperkuat struktur kelembagaan kebudayaan secara mandiri dan profesional? Mengapa tidak mendengarkan suara masyarakat budaya yang selama ini justru menjaga nilai-nilai yang menjadi dasar kehidupan bermasyarakat di Bondowoso?

Pemerintah Kabupaten Bondowoso tentu masih mengingat visi besar yang telah dicanangkan, yaitu membangun daerah yang berkarakter, berdaya saing, dan berkelanjutan. Dalam visi ini, aspek kebudayaan bukan sekadar pelengkap, melainkan fondasi penting yang menopang pembangunan manusia dan jati diri daerah. Jika kebudayaan diabaikan atau disederhanakan dalam struktur birokrasi, maka arah pembangunan akan kehilangan ruh utamanya.

Peleburan bukan jawaban atas kompleksitas birokrasi. Budaya tak bisa digabung begitu saja ke dalam kerangka kerja teknokratik yang sempit. Budaya harus diberi ruang—ruang untuk tumbuh, berkembang, dan dihargai sebagai bagian penting dari wajah Bondowoso itu sendiri. Jangan biarkan Bondowoso tumbuh megah tanpa akar. Budaya bukan beban birokrasi, melainkan napasnya. (*)

*) Mohammad Hairul adalah Kepala SMPN 1 Curahdami, Bondowoso, Jawa Timur, dan Kandidat Doktor Bidang Kajian Diaspora Bahasa dan Budaya Masyarakat Pandhalungan.

**) Isi tulisan di atas menjadi tanggung jawab penulis

***) Karikatur by Rihad Humala/Ketik.co.id

****) Ketentuan pengiriman naskah opini:

  • Naskah dikirim ke alamat email [email protected].
  • Berikan keterangan OPINI di kolom subjek
  • Panjang naskah maksimal 800 kata
  • Sertakan identitas diri, foto, dan nomor HP
  • Hak muat redaksi. (*)

Tombol Google News

Tags:

Mohammad Hairul pemerintah kabupaten bondowoso peleburan kebudayaan Kebijakan Pemerintah opini Dinas Pariwisata kebudayaan