Hari Pendidikan Nasional 2025

Mematangkan Kemampuan Kolaboratif, Bukan Sekadar Akademik

2 Mei 2025 06:38 2 Mei 2025 06:38

Thumbnail Mematangkan Kemampuan Kolaboratif, Bukan Sekadar Akademik
Oleh: Dr. Yayan Sakti Suryandaru, S.Sos., M.A.*

Pendidikan dasar dan menengah di Indonesia tengah memasuki babak baru di bawah Kabinet Prabowo-Gibran. Sejumlah kebijakan strategis telah diluncurkan, mulai dari penggantian Ujian Nasional (UN) dengan Tes Kompetensi Akademik (TKA), pengembalian sistem penjurusan di SMA, pengurangan bobot mata pelajaran, hingga penambahan mata pelajaran koding dan kecerdasan buatan (AI) di SD-SMA. Tidak ketinggalan, sistem penerimaan murid baru (SPMB) juga mengalami perubahan signifikan.

Kebijakan ini cukup membingungkan para orang tua. Ganti menteri baru, mesti kebijakannya juga baru. Tetapi menurut hikmat penulis, terdapat satu pemahaman yang harus dimiliki oleh orangtua murid, kegagalan di TKA tidak berarti “kiamat” bagi anak didik.

Manusia dibekali kemampuan akademik dan kemampuan kolaboratif. Biasanya, anak yang memiliki kemampuan akademik, tidak terlalu berhasil dalam kemampuan kolaboratif (kerjasama kelompok). Mereka biasanya bersifat soliter (sendirian) dan tidak terbiasa kerja kelompok. Sebaliknya, anak yang memiliki kemampuan kolaboratif tidak terlalu bagus dalam kemampuan akademik.

Situasi ini harus dipahami oleh orang tua dan anak didik. Kegagalan dalam kemampuan akademik, bukanlah akhir dari segalanya. Kemampuan akademiknya mungkin rata-rata, tetapi sangat bagus di kemampuan kolaboratif. Inilah yang harus dipupuk oleh anak didik jika ingin berhasil dalam pendidikannya. Ini harus menajdi pemahaman kita semua agar pendidikan di tanah air bisa sukses.

Polemik Kebijakan Baru

Pemberlakuan kebijakan baru ini, dinilai tidak menghargai kerja keras para guru, terutama guru di tingkat SD dan SMP. Usaha selama enam atau tiga tahun, dikalahkan oleh tes tulis (TKA) selama sehari. Jadi meskipun “dicibir” sebagai nilai “sedekah”, penilaian guru sepanjang proses pembelajaran dianggap lebih fair daripada tes tulis (TKA).

Di tingkat SMA, dikembalikan lagi penjurusan IPA, IPS, dan Bahasa. Ini kebijakan lama tapi baru. Pada prinsipnya, penulis tidak mempersoalkan penjurusan. Yang terpenting, anak didik memiliki pilihan atas dirinya, bahwa dirinya lebih mampu dalam aspek kolaboratif atau aspek akademik.

Jadi meskipun di tingkat SMA, dia tidak harus hanya memiliki kemampuan akademik. Tetapi bisa memilih mengolah keunggulan kolaboratif. Ini untuk mempersiapkan anak didik untuk berhasil dalam kehidupan nyata di masyarakat.

Pendidikan dasar dan menengah kita terlalu dibebani oleh muatan yang berlebihan. Anak didik hanya dipersiapkan menjadi penghapal-penghapal  semata. Dia mungkin lebih hapal pada pelajaran yang dipelajarinya tetapi kemampuan soft skill-nya kurang terasah. Sangat menyedihkan, jika “anak pintar” ini kelak tidak berhasil hidup di tengah masyarakat. Dia mungkin pintar secara akademik, tetapi tidak bisa hidup bersosialisasi di masyarakat.

Hal ini sangat kontradiktif dengan pernyataan Wakil Presiden Gibran Rakabuming Raka dalam video monolog berjudul Generasi Muda, Bonus Demografi dan Masa Depan Indonesia yang diunggah di Kanal Youtube-nya pada 19 April 2025. Wapres menyatakan jumlah 208 juta penduduk Indonesia berada dalam usia produktif yang merupakan bonus demografi bagi negara ini. Pemerintah RI harus mempersiapkan demografi yang besar ini setara dengan kualitas yang dihasilkannya.

Kita harus mengantisipasi AI (artificial intelligence/kecerdasan buatan) akan menggantikan kemampuan manusia. Ada beberapa profesi yang hilang akibat perkembangan AI ini. Pembelajaran tidak perlu kelas, tidak perlu guru, mencari tahu segala hal bisa didapatkan lewat AI.

Kemampuan mengelola AI ini harus disiapkan sejak dini. Makanya Kementerian Dikdasmen menetapkan Koding-AI Jadi Mata Pelajaran Pilihan SD-SMA di dalam kurikulumnya. Hal ini merupakan bentuk kebijakan yang peka terhadap kondisi kekinian. Kita akan tertinggal jauh dari negara lain, jika tidak mengantisipasi hal ini sejak awal.

Agenda ke Depan      

Kementerian Dikdasmen memiliki peran strategis dalam membangun pemahaman orangtua bahwa pendidikan tidak semata-mata berfokus pada pencapaian akademik, melainkan juga pada pengembangan kemampuan kolaboratif siswa. Dalam era yang semakin kompleks dan dinamis, dunia kerja dan masyarakat menuntut generasi muda yang tidak hanya cerdas secara intelektual, tetapi juga mampu bekerja sama, berkomunikasi, dan beradaptasi dengan berbagai situasi. Oleh karena itu, penting bagi orangtua untuk memahami bahwa anak-anak mereka akan dibekali dengan dua pilar utama, yaitu kemampuan akademik dan kolaboratif

Siswa harus diberikan ruang untuk memilih dan mengembangkan potensi terbaiknya, baik dalam ranah akademik maupun kolaboratif. Tidak semua anak memiliki keunggulan di bidang akademik, dan hal ini bukanlah alasan untuk merasa rendah diri. Justru, apresiasi dan penghargaan perlu diberikan kepada siswa yang menunjukkan keunggulan dalam kemampuan kolaboratif, seperti kepemimpinan, kerja tim, dan kemampuan menyelesaikan masalah bersama. Dengan demikian, sekolah dan orangtua dapat mendorong tumbuhnya lingkungan belajar yang inklusif, adil, dan menghargai keberagaman potensi anak.   

Sekolah bukannya lembaga bimbingan belajar (LBB) yang hanya mempersiapkan anak didiknya bisa mengerjakan soal-soal ujian dengan cara yang mudah, cepat, dan benar. Pengambil kebijakan baru Dikdasmen setidaknya harus mengingat hal ini agar sekolah dan LBB tidak berbenturan tugasnya. Biarkan LBB dengan formula praktisnya, sekolah lebih mempersiapkan anak didik dengan kemampuan kolaboratif dan kemampuan akademik lewat proses pembelajaran di kelas.

Dengan sinergi yang tepat antara kebijakan, sekolah, dan orangtua, pendidikan dasar dan menengah di Indonesia dapat menghasilkan generasi yang tidak hanya pintar secara akademik, tetapi juga siap berkontribusi dalam masyarakat yang kompleks dan berubah cepat. Wallahu Al’am Bishawab. (*)

*) Dr. Yayan Sakti Suryandaru, S.Sos., M.A. adalah Dosen di Departemen Ilmu Komunikasi-Universitas Airlangga, Surabaya dengan konsentrasi kajian Jurnalisme. Selain melakukan kegiatan tridharma perguruan tinggi, penulis aktif mempublikasikan beragam hasil riset dan hasil pengamatan sosial di sejumlah jurnal ilmiah dan media massa.       

**) Isi tulisan di atas menjadi tanggung jawab penulis

***) Karikatur by Rihad Humala/Ketik.co.id

****) Ketentuan pengiriman naskah opini:

  • Naskah dikirim ke alamat email [email protected].
  • Berikan keterangan OPINI di kolom subjek
  • Panjang naskah maksimal 800 kata
  • Sertakan identitas diri, foto, dan nomor HP
  • Hak muat redaksi. (*)

Tombol Google News

Tags:

Hardiknas Hari pendidikan Yayan Sakti Suryandaru Pendidikan dasar menengah