KETIK, BLITAR – Dunia persilatan kembali tercoreng oleh ulah sejumlah oknum anggotanya. Kepolisian Resor (Polres) Blitar berhasil mengungkap kasus pengeroyokan yang terjadi pada Sabtu malam, 25 Mei 2025, di wilayah Kanigoro, Kabupaten Blitar. Dari hasil penyelidikan, enam orang diamankan, dan dua di antaranya resmi ditetapkan sebagai tersangka.
Kasat Reskrim Polres Blitar, AKP Momon Suwito, mengungkapkan bahwa kasus ini merupakan buntut dari konflik yang melibatkan dua kelompok perguruan silat yang selama ini diketahui kerap berselisih.
“Dari enam orang yang kami amankan, dua orang telah kami tetapkan sebagai tersangka karena terbukti secara langsung melakukan tindak kekerasan. Sisanya masih kami periksa sebagai saksi,” ujar AKP Momon dalam keterangan pers pada Sabtu 7 Juni 2025.
Kedua tersangka tersebut adalah M.R.N.W. (17), seorang pelajar asal Desa Minggirsari, Kanigoro, dan A.A.H. (20), karyawan swasta dari Desa Sukorejo. Keduanya diketahui merupakan bagian dari perguruan silat yang tengah berseteru dengan kelompok korban.
Empat saksi lainnya yang turut diamankan adalah A.D.A. (16) dan M.A.Y. (21) dari Kecamatan Talun, A.G.W. (18) serta M.S.A. (19) dari Kecamatan Sutojayan. Meski tidak terlibat langsung dalam pemukulan, keberadaan mereka di lokasi kejadian menjadi bagian penting dalam proses penyidikan.
Polisi juga menyita sejumlah barang bukti dari tangan para pelaku, antara lain tiga unit telepon seluler, dua buah helm, dua sepeda motor Honda Vario (merah dan hitam), serta satu buah KTP untuk keperluan identifikasi.
Dari hasil pemeriksaan, diketahui bahwa insiden ini bukan terjadi secara spontan, melainkan merupakan lanjutan dari ketegangan yang telah berlangsung lama antarperguruan. Perselisihan tersebut akhirnya meledak dalam bentuk kekerasan fisik.
“Ini bukan insiden mendadak. Akar masalahnya adalah konflik lama antaranggota perguruan. Kami sedang mendalami motif dan pihak-pihak lain yang mungkin turut terlibat dalam perencanaan maupun pemicu konflik,” tambah AKP Momon.
Proses hukum pun kini berjalan. Mengingat usia M.R.N.W. masih di bawah 18 tahun, polisi berkoordinasi dengan Balai Pemasyarakatan (Bapas) guna menjamin proses hukum sesuai dengan ketentuan perlindungan anak. Sedangkan A.A.H., yang telah dewasa, langsung ditahan dan dijerat Pasal 170 KUHP tentang pengeroyokan secara bersama-sama, yang ancamannya mencapai lima tahun penjara.
Insiden ini menjadi ujian serius terhadap komitmen moral dan hukum yang telah disepakati oleh perwakilan seluruh perguruan silat se-Jawa Timur dalam deklarasi bersama yang ditandatangani di Kota Madiun pada 27 Mei 2025 hanya dua hari setelah insiden di Kanigoro terjadi.
Deklarasi tersebut memuat sembilan poin penting, antara lain menjaga nama baik organisasi, tidak menyalahgunakan atribut perguruan, membubarkan komunitas liar, serta mendukung penegakan hukum secara tegas terhadap anggotanya yang melanggar hukum.
Kapolres Blitar, AKBP Arif Fazlurrahman, melalui Kasat Reskrim menyampaikan bahwa pihaknya tidak akan memberikan toleransi terhadap segala bentuk kekerasan, terlebih jika mengatasnamakan organisasi.
“Tidak ada ruang bagi kekerasan dalam bentuk apa pun di wilayah hukum kami. Siapa pun pelakunya, termasuk yang membawa nama perguruan, akan kami tindak sesuai hukum yang berlaku,” tegasnya.
AKBP Arif juga mengimbau kepada seluruh masyarakat Blitar, khususnya para anggota perguruan silat, untuk tidak terprovokasi dan menahan diri agar konflik tidak makin meluas.
Pihak kepolisian juga mengingatkan akan pentingnya peran media sosial dalam mempengaruhi eskalasi konflik. Dalam deklarasi Madiun, seluruh perguruan sepakat membentuk tim patroli siber di masing-masing akun resmi untuk menangkal berita hoaks dan provokasi.
“Kami harap masing-masing perguruan benar-benar menjalankan fungsi pengawasan di ranah digital. Karena sering kali, konflik diperparah oleh kabar bohong yang sengaja disebar untuk memecah belah,” ucap AKP Momon.
Di tengah situasi yang mulai memanas, Polres Blitar berkomitmen menuntaskan kasus ini secara adil dan terbuka. Mereka juga membuka ruang dialog dengan tokoh masyarakat dan tokoh perguruan untuk memperkuat komunikasi dan mencegah konflik serupa terjadi kembali. (*)