Menguak Tambang Ilegal di Lumajang

28 Februari 2025 10:50 28 Feb 2025 10:50

Thumbnail Menguak Tambang Ilegal di Lumajang Watermark Ketik
Ilustrasi tambang ilegal di Lumajang yang diduga kuat masih berlangsung sampai saat ini. (Foto: Fatah/Ketik.co.id)

KETIK, LUMAJANG – Inilah Lumajang. Tambang illegal bisa berlangsung di siang bolong. Tanpa izin usaha, tanpa membayar pajak dan obral hasil tambang.

Sejumlah pengusaha tambang resmi seringkali bertemu pemerintah menyampaikan keluhannya terkait tambang illegal ini, namun sampai sekarang masih tetap berlangsung. 

Tampak Depan Mata, Tambang Ilegal Aman-aman Saja

Parahnya lagi, hasil tambang pasir yang seharusnya disertai dengan pembayaran pajak ini, para pelaku tambang illegal ini dengan bebas melenggang dengan hasil tambangnya.

“Ini benar-benar sudah parah. Mereka secara terbuka menambang secara illegal menggunakan mesin sedotan. Tidak memperhatikan kelestarian lingkungan, tanpa izin dan tanpa membayar pajak. Pokoknya benar-benar gaya bebas mereka,” kata salah seorang pemilik usaha tambang yang namanya minta tidak dimediakan, Jumat (28/5/2025). 

Ketika media ini mencoba menelusuri kepada sejumlah sumber yang dekat lokasi tambang menyebutkan, para pemilik mesin sedot pasir ini di antaranya beroperasi di desa Jugosari Kecamatan Candipuro Lumajang.

“Setahu saya di Desa Jugosari saja ada sekitar 60 sampai 70 mesin sedot pasir yang setiap hari beroperasi. Tapi ya begitulah mereka aman-aman saja, alasannya susah mencari pekerjaan lain,” kata salah seorang tokoh masyarakat desa Jugosari.

Ketika ditanya apakah Aparat Penegak Hukum (APH) dalam hal ini kepolisian di Lumajang tidak tahu terhadap tambang illegal ini, warga tersebut enggan berkomentar lebih jauh.

“Kalau mau disebut tidak tahu, penambangan ini kan siang hari pak. Kalau mau disebut tahu kok dibiarkan, jadi tidak paham saya mereka tahu atau tidak,” ujarnya kemudian.

Sementara sejumlah penambang berizin yang beroperasi di Desa Jugosari hanya bisa pasrah dengan keadaan ini.

“Bagaimana lagi pak, capek kita menyampaikan kesana kemari, nyatanya mereka ya aman-aman saja,” urainya. 

Pasir Diobral Murah karena Tak Bayar Pajak

Bicara soal tambang ilegal di Lumajang sebenarnya merupakan kisah lama yang selalu terulang. Di Lumajang pernah terjadi peristiwa berdarah akibat tambang illegal.

Peristiwa terbunuhnya Salim Kancil 10 tahun silam, merupakan peristiwa terbesar dalam sejarah tambang ilegal.

Salim Kancil yang dengan berani melawan tambang ilegal harus meregang nyawa dibunuh di jalanan oleh mafia tambang yang melibatkan mantan Kepala Desa Selok Awar-Awar pada tanggal 26 September 2015 silam.

Namun rupanya peristiwa besar yang ramai hingga seluruh penjuru tanah air, tak membuat pelaku tambang ilegal menghentikan ulah penambang illegalnya.

Kondisi ini mempengaruhi harga pasir, yang mau tidak mau diikuti oleh para penambang yang legal dan berizin.

“Normalnya kita menjual pasir 400 ribu per truk. Karena kita harus bayar alat berat, bayar pajak, ada kewajiban reklamasi, ada CSR bahkan harus membayar pungutan untuk perbaikan jalan yang dilalui tambang. Mereka bebas dari semua itu, tinggal sedot saja, dan mereka hanya menjual 200 ribu saja per truk,” kata para penambang yang berizin.

Mau tidak mau, para penambang yang berizin resmi harus menyesuaikan dengan harga yang biasanya mereka tetapkan.

“Kita tidak bisa menjual dengan harga walau harus membayar pajak, karena kalau kita jual dengan harga yang mahal, mereka pasti memilih yang illegal karena harganya lebih murah,” kata penambang berizin lainnya.

Kondisi ini menjadikan pengusaha tambang yang legal ikut menjual murah pasirnya dengan harga yang sama, walaupun resikonya keuntungan yang mereka dapatkan tak sebesar yang diharapkan.

“Kami hanya bisa berharap aturan ditegakkan, agar penambangan ilegal ini tidak semakin merajalela, apalagi berpotensi merusak lingkungan,” pungkas pengusaha tambang di Lumajang. 

Negara Dirugikan

Masih dari hasil penelusuran media ini dari sejumlah sumber dari desa Jogosari Kecamatan Candipuro Lumajang memperoleh informasi satu mesin sedotan pasir yang menggunakan mesin diesel, dalam satu hari bisa mendapatkan 5 truk pasir. 

Kata tokoh masyarakat setempat asal ada pembeli yang datang, mereka bisa mendapatkan 5 truk pasir dalam sehari, bahkan bisa lebih.

Jika ada 70 mesin sedot pasir yang beroperasi, ada 350 truk sehari hanya dari mesin sedot pasir ini.

“Mereka bisa mendapatkan 5 truk sehari. Bisa saja kurang, tapi rata-ratanya segitu,” kata  warga desa Jugosari Kecamatan Candipuro Lumajang.

Maka jika 5 truk sehari dikalikan dengan jumlah mesin sedot yang ada, dalam sehari bisa 350 truk, atau setara dengan 10.500 truk dalam satu bulan.

“Coba kalikan 10.500 truk dalam satu bulan tersebut dengan pajak pasir yang per-truknya Rp 35 ribu, Maka pendapatan dari pajak yang hilang bisa mencapai Rp 367.500.000 perbulan," kata salah seorang pengusaha mencoba menghitung kerugian pajak dari tambang pasir ilegal ini.

Masak sih sebesar ini potensi kerugian negara tapi penegak hukum seperti tidak tahu dengan tambang illegal ini.

“Kalau kami dari tambang yang resmi dan berizin tetap komitmen untuk mematuhi aturan, tapi semuanya rusak karena tambang ilegal ini. Kami juga heran, Pemkab sebenarnya memiliki check point di beberapa titik untuk memastikan pasir yang keluar sudah disertai dengan pajak, namun faktanya mereka tetap lolos dari pajak,” katanya kemudian.

Ini hanya soal pajak, dalam hal penyediaan solar sudah pasti mereka dengan alasan kebutuhan “wong cilik”, diduga juga menggunakan solar subsidi yang seharusnya tak boleh digunakan oleh usaha tambang. 

Sebebas inikah semuanya terjadi di Lumajang? Ikuti catatan kami berikutnya.

Siapa saja yang bermain sebenarnya. Bagaimana mereka bisa lolos dari pajak saat melalui chek point yang ditempatkan Badan Pengelola Pajak dan Retribusi Daerah (BPRD) Lumajang. Ikuti catatan kami berikutnya. (bersambung)

Tombol Google News

Tags:

Harga pasir diobral Tambang Lumajang Tambang Ilegal Tambang pasir Pasir Lumajang Pemkab Lumajang Tambang Pasir Ilegal